Husen Muhammad
Curhat | 2025-03-31 23:09:25
Belakangan ini, tagar #KaburAjaDulu ramai menghiasi lini masa media sosial, mencerminkan keinginan banyak anak muda Indonesia untuk mencari peluang di luar negeri, baik untuk studi maupun pekerjaan. Fenomena ini memicu perdebatan apakah ini sekadar tren yang akan berlalu, atau justru sinyal dari masalah yang lebih dalam?
Dilansir dari Kompas, Senin (31/3/2025), fenomena tagar #KaburAjaDulu yang viral di media sosial mencerminkan keinginan masyarakat, terutama generasi muda, untuk mencari peluang yang lebih baik di luar negeri, baik dalam hal pendidikan maupun karier.
Gambar menunjukkan viralnya tagar #KaburAjaDulu di platform media sosial X. (Sumber: Twitter atau X)
Awalnya, tren ini merebak di platform media sosial X, di mana banyak pengguna menyertakan #KaburAjaDulu dalam unggahan mereka. Tagar ini tidak sekadar menjadi tren, tetapi juga sebuah seruan bagi anak muda untuk mempertimbangkan pilihan belajar, bekerja, atau bahkan menetap di luar negeri.
Maraknya penggunaan tagar ini dikaitkan dengan sejumlah faktor, seperti mahalnya biaya pendidikan di dalam negeri, minimnya lapangan pekerjaan, serta rendahnya tingkat upah. Akibatnya, banyak warganet menjadikan #KaburAjaDulu sebagai wadah berbagi informasi mengenai peluang studi dan karier di luar negeri.
Selain mencerminkan keresahan terhadap kondisi domestik, tren ini juga menjadi ajang berbagi pengalaman dan kiat sukses bagi mereka yang telah lebih dulu meniti jalan di luar negeri. Berbagai informasi mengenai lowongan kerja, beasiswa, kursus bahasa, hingga kisah hidup di negeri orang pun ramai dibagikan melalui tagar ini.
Ketika “Kabur” Menjadi Pilihan Menarik
Banyak faktor yang membuat anak muda semakin tertarik untuk mencari kehidupan di luar negeri. Globalisasi telah membuka akses yang lebih luas terhadap peluang studi dan pekerjaan di berbagai negara. Kemudahan informasi, keberadaan beasiswa, serta tingginya permintaan tenaga kerja di beberapa sektor di luar negeri semakin mempermudah langkah mereka untuk "kabur" dan mencoba peruntungan di negara lain.
Selain itu, negara-negara maju sering kali menawarkan sistem pendidikan yang lebih berkualitas, lingkungan kerja yang lebih profesional, serta jenjang karier yang lebih jelas dan menjanjikan. Tak heran jika banyak generasi muda mulai berpikir, "Kenapa harus bertahan jika ada kesempatan yang lebih baik di luar sana?"
Refleksi dari Masalah di Dalam Negeri
Namun, di balik euforia ingin "kabur," fenomena ini juga menjadi cerminan dari tantangan besar yang dihadapi generasi muda di Indonesia. Beberapa faktor yang sering dikeluhkan adalah tingginya biaya pendidikan, minimnya lapangan kerja, serta rendahnya upah yang dianggap tidak sebanding dengan beban kerja yang harus ditanggung. Banyak lulusan perguruan tinggi merasa sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka, sementara di sisi lain, mereka harus menghadapi ketidakpastian ekonomi dan biaya hidup yang semakin meningkat.
Tak hanya itu, dukungan terhadap inovasi dan pengembangan riset di dalam negeri masih tergolong minim. Banyak ide kreatif dan inovatif dari anak muda yang akhirnya terbengkalai karena kurangnya fasilitas, investasi, atau perhatian dari pemerintah dan industri. Alhasil, mereka lebih memilih mencari tempat yang bisa memberikan apresiasi dan peluang lebih besar untuk berkembang.
Dampak Jangka Panjang: Brain Drain yang Mengkhawatirkan
Jika fenomena #KaburAjaDulu terus berlanjut tanpa ada solusi konkret, Indonesia bisa menghadapi fenomena brain drain, yaitu ketika talenta-talenta terbaik lebih memilih bekerja dan berkarya di luar negeri ketimbang di tanah air. Ini tentu bisa berdampak negatif dalam jangka panjang, karena negara kehilangan sumber daya manusia unggul yang seharusnya bisa berkontribusi bagi pembangunan.
Beberapa negara seperti India dan Tiongkok pernah mengalami tantangan serupa, tetapi mereka berhasil menarik kembali para profesionalnya dengan kebijakan yang lebih mendukung, seperti peningkatan kesejahteraan, ekosistem inovasi yang lebih baik, serta peluang karier yang kompetitif. Indonesia pun perlu belajar dari pengalaman tersebut agar dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi anak muda untuk berkembang dan berkontribusi di dalam negeri.
Tren Sesaat atau Krisis yang Harus Dihadapi?
Pada akhirnya, #KaburAjaDulu bukan sekadar tren media sosial yang akan menghilang begitu saja. Fenomena ini menjadi refleksi nyata dari keresahan anak muda terhadap kondisi ekonomi, pendidikan, dan dunia kerja di Indonesia. Jika akar permasalahan tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin keinginan untuk "kabur" akan semakin meluas dan berdampak besar bagi masa depan bangsa.
Sebagai anak muda yang ingin suaranya didengar, saya melihat situasi ini semakin memudarkan semangat banyak individu terutama generasi muda, untuk membangun dan mengembangkan karier di dalam negeri. Minimnya dukungan terhadap hilirisasi inovasi turut memperburuk keadaan, sebab berbagai gagasan dan karya inovatif sering kali tidak dapat diimplementasikan secara optimal dalam kehidupan masyarakat. Akibatnya, potensi besar yang dimiliki justru tidak tersalurkan dengan baik, menghambat pertumbuhan sektor industri serta perkembangan sumber daya manusia di dalam negeri.
Jadi, apakah #KaburAjaDulu hanya sekadar tren, atau sebenarnya sebuah tanda krisis yang perlu segera diatasi? Jawabannya terletak pada bagaimana pemerintah, dunia industri, dan masyarakat secara keseluruhan bersinergi untuk menciptakan perubahan yang lebih baik bagi generasi penerus. Jika Indonesia ingin maju, maka membangun lingkungan yang mendukung dan memberikan harapan bagi anak muda adalah langkah yang tak bisa ditunda lagi.
Muhammad Husen, Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.