REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan Implementasi dari Rencana Penyediaan Usaha Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034 diperkirakan memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional. Salah satunya dengan menciptakan lebih dari 1,7 juta lapangan kerja baru.
Bahlil menjelaskan, peluang ini tersebar di berbagai tahap proyek, mulai dari perencanaan, konstruksi, hingga operasional, termasuk sektor manufaktur pendukung. "EBT menjadi kontributor utama serapan tenaga kerja, sejalan dengan arah transisi menuju sistem energi yang lebih ramah lingkungan," kata Menteri ESDM, dalam konferensi pers di kantornya di Jakarta, Senin (26/5/2025).
Dokumen RUPTL ini, jelas Bahlil, merupakan komitmen konkret pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan listrik yang andal, berkelanjutan, dan berbasis energi bersih. Dokumen ini diharapkan menghadirkan kepastian iklim investasi sekaligus menjadi penanda arah baru (grand design) pembangunan ketenagalistrikan nasional selama satu dekade mendatang.
"Hal ini sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada 2029 serta mendorong penciptaan lapangan kerja baru," ujar Bahlil.
RUPTL PLN ini juga menyasar daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Melalui Program Listrik Desa (Lisdes), pemerintah menargetkan elektrifikasi untuk 5.758 desa yang belum teraliri listrik, dengan pembangunan pembangkit berkapasitas 394 MW dan penyambungan listrik ke sekitar 780 ribu rumah tangga. Program ini ditujukan untuk memastikan seluruh warga, termasuk di pelosok negeri, bisa menikmati layanan listrik 24 jam penuh.
"Arahan Bapak Presiden Prabowo Subianto agar di desa-desa yang belum ada listrik agar segera kita pasang. Jadi kita akan lakukan ini sampai 2029 selesai dan mulai dari sekarang bertahap kita lakukan,” kata Bahlil.
Menteri ESDM menjelaskan penyusunan dokumen RUPTL ini sejalan dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). RUPTL PLN 2025–2034 juga menjadi fondasi penting dalam upaya Indonesia mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Secara keseluruhan, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 GW hingga 2034. Dari total ini, sekitar 76 persen kapasitas akan berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT) dan sistem penyimpanan energi seperti baterai dan pumped storage. Pada lima tahun pertama, akan dibangun pembangkit sebesar 27,9 GW—yang terdiri dari 9,2 GW berbasis gas, 12,2 GW dari EBT, 3 GW untuk sistem penyimpanan, dan 3,5 GW pembangkit batubara yang sudah dalam tahap penyelesaian konstruksi.
Memasuki lima tahun kedua, fokus bergeser ke pengembangan EBT dan penyimpanan energi sebesar 37,7 GW atau 90 persen dari total kapasitas yang direncanakan. Sisanya sebesar 3,9 GW masih berasal dari pembangkit berbasis fosil seperti batubara dan gas.
Jenis pembangkit energi terbarukan yang akan dikembangkan yaitu tenaga surya (17,1 GW), angin (7,2 GW), panas bumi (5,2 GW), hidro (11,7 GW), dan bioenergi (0,9 GW). Selain itu, energi baru seperti nuklir mulai diperkenalkan dengan pembangunan dua unit reaktor kecil di Sumatera dan Kalimantan, masing-masing berkapasitas 250 MW.
Untuk mendukung distribusi dan keandalan sistem, pembangunan infrastruktur kelistrikan juga diperkuat. Pemerintah menargetkan jaringan transmisi sepanjang hampir 48.000 kilometer sirkuit (kms) dan gardu induk dengan kapasitas total 108.000 MVA, yang akan tersebar di seluruh Indonesia—dari Sumatera hingga Papua.
"Semua desain ini, kalau jaringannya sudah mampu kita lakukan, tidak ada lagi masalah terhadap pembangkit yang kita akan bangun untuk energi baru terbarukan itu. Karena selama ini kalau kita bangun, tidak ada jaringannya, kasihan PLN bayar take or pay-nya 80 persen itu. Kita harus dukung penuh dengan memasang jaringan,” jelas Bahlil.
Dari sisi investasi, RUPTL PLN ini membuka peluang senilai Rp 2.967,4 triliun, yang akan digunakan untuk pembangunan pembangkit, jaringan transmisi, distribusi, dan program listrik desa. Sekitar 73 persen dari total kapasitas pembangkit direncanakan berasal dari skema kemitraan dengan pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP), sementara sisanya akan dikelola oleh Grup PT PLN.