Syahrial, S.T
Sastra | 2024-10-26 23:30:32
Sepatu putihnya sudah tidak seputih dulu. Bercak-bercak cokelat tanah menghiasi bagian depan, hasil dari berbagai kegagalan yang telah ia lalui. Romi memandangi sepatunya sambil duduk di tangga depan SMA tempat dia bersekolah, sekolah yang telah menjadi saksi bisu perjalanannya selama dua tahun terakhir. Tahun pelajaran akan segera berakhir, dan ia masih belum bisa membanggakan apapun kepada orangtuanya.
Di tangannya tergenggam selembar kertas hasil ujian Fisika. Angka merah 45 tercetak besar di pojok kanan atas, dilingkari dengan spidol merah seolah ingin menegaskan kegagalannya. Ini adalah ujian ketiga yang ia gagal dalam semester ini. Pak Aspan, guru Fisikanya, bahkan sudah tidak lagi memberi komentar pedas. Hanya helaan napas panjang dan gelengan kepala yang ia terima tadi.
Angin sore bermain dengan helaian rambut hitamnya yang mulai memanjang. Di kejauhan, ia bisa mendengar suara teman-temannya yang sedang berlatih basket di lapangan belakang sekolah. Dulu, ia juga bagian dari tim itu. Sebelum nilai-nilainya anjlok dan orangtuanya memaksa ia fokus pada pelajaran. Tapi nyatanya, setelah berhenti basket pun nilainya tidak kunjung membaik.
Rama ingat kata-kata Pak Hamdan, guru BK-nya, minggu lalu. "Setiap orang punya jatah gagalnya masing-masing, Romi. Yang penting adalah bagaimana kita bangkit dari kegagalan itu." Saat itu ia hanya mengangguk sopan, tidak benar-benar mencerna maksudnya. Tapi sore ini, duduk sendirian dengan kertas ujian di tangan, kata-kata itu mulai meresap ke dalam pikirannya.
Di rumah, pigura-pigura berisi piagam dan medali adiknya berjajar rapi di dinding ruang tamu. Prestasi demi prestasi yang diraih Dina seolah menjadi tamparan keras baginya. Bahkan kemarin, adiknya yang masih SMP itu baru saja memenangkan pelajar teladan tingkat provinsi. Sementara ia? Jangankan pelajar teladan, ujian biasa pun ia gagal.
Langit mulai memerah ketika Romi akhirnya bangkit dari tangga. Ia melipat kertas ujiannya dan memasukkannya ke dalam tas. Ada rasa letih yang berbeda hari ini. Bukan letih karena gagal, tapi letih karena terlalu takut gagal. Selama ini ia selalu membandingkan dirinya dengan orang lain - dengan Dina, dengan teman-temannya yang selalu mendapat nilai bagus, dengan ekspektasi orangtuanya.
Dalam perjalanan pulang, kakinya membawanya ke lapangan basket tempat ia dulu sering berlatih. Suara decitan sepatu dan pantulan bola masih terdengar. Beberapa junior yang ia kenal melambai padanya. Romi tersenyum, melepas tas sekolahnya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia bergabung dalam permainan.
Tentu saja, tampilannya tidak sebagus dulu. Beberapa kali bolanya meleset, operannya tidak tepat sasaran, dan staminanya cepat habis. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Kali ini ia tidak takut gagal. Ia membiarkan dirinya melakukan kesalahan, belajar lagi dari awal, dan menikmati prosesnya.
Matahari hampir tenggelam ketika ia akhirnya pulang. Keringat membasahi seragamnya, tapi ada senyum tipis yang tak lepas dari wajahnya. Mungkin ini yang dimaksud Pak Hamdan. Mungkin memang benar setiap orang punya jatah gagalnya masing-masing, dan lebih baik menghabiskan jatah itu ketika masih muda.
Sesampainya di rumah, bukannya langsung masuk, Romi duduk sejenak di teras. Ia mengeluarkan kertas ujiannya lagi, memandangi angka merah itu sekali lagi. Kali ini tanpa rasa takut atau malu. Ini hanya satu dari sekian kegagalan yang harus ia lalui. Yang penting adalah bagaimana ia bangkit setelahnya.
Keesokan harinya, untuk pertama kalinya sejak lama, Romi mengangkat tangan di kelas Fisika. Jantungnya berdebar kencang saat mengacungkan tangan ke udara. "Saya ingin mencoba menjawab, Pak," ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar. Pak Aspan mengangguk dan mempersilakannya berbicara. "Menurut saya, gaya gravitasi yang bekerja pada benda ini sebesar 9,8 Newton ke bawah," jawab Romi sambil menunjuk diagram di papan tulis. Beberapa teman sekelasnya berbisik-bisik, tapi ia memberanikan diri untuk tetap fokus.
"Jawabanmu hampir benar, Romi. Kamu hanya perlu mengalikan dengan massa bendanya," Pak Aspan menanggapi dengan nada yang hangat. "Tapi Bapak sangat menghargai keberanianmu untuk mencoba." Romi tersenyum kecil mendengar respons gurunya itu. Meski jawabannya tidak sepenuhnya benar, setidaknya ia sudah berani mencoba. Pak Aspan tersenyum melihatnya, seolah mengerti bahwa muridnya ini akhirnya mulai menemukan keberaniannya. "Terus berlatih ya, Romi. Bapak yakin kamu bisa lebih baik lagi," tambah Pak Aspan sambil menepuk pundak Romi sebelum melanjutkan pelajaran.
Di rumah, ia mulai menata kamarnya yang berantakan. Di sudut meja belajarnya, ia menempelkan secarik kertas bertuliskan kata-kata Pak Hamdan. Bukan sebagai pengingat akan kegagalannya, tapi sebagai pengingat bahwa kegagalan adalah bagian dari proses pendewasaan.
Semester itu, Romi tidak mendadak menjadi juara kelas. Nilai-nilainya masih naik turun, dan ia masih sering membuat kesalahan. Tapi ada yang berbeda dalam caranya memandang kegagalan. Ia tidak lagi membiarkan rasa takut menguasainya. Karena pada akhirnya, lebih baik menghabiskan jatah kegagalan di masa muda, ketika masih ada banyak waktu untuk bangkit dan mencoba lagi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.