Muhammad Mufti Faiq Kamal
Sejarah | 2024-10-26 22:34:20
Pancasila sebagai pedoman negara lahir dari respon terhadap kebutuhan untuk menciptakan dasar filosofis bagi negara Indonesia yang merdeka. Oleh karenanya, Bung Karno, atau Soekarno, sebagai proklamator dan Presiden pertama Indonesia, menekankan pentingnya pancasila sebagai dasar falsafah negara. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, yang kemudian dikenal sebagai pidato "Lahirnya Pancasila," Soekarno menggambarkan pancasila sebagai dasar negara yang dirumuskan berdasarkan nilai-nilai yang sudah ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Salah satu ungkapan Bung Karno yang terkenal terkait Pancasila adalah sebagai berikut: "Pancasila adalah dasar falsafah negara yang tidak hanya untuk Indonesia, tetapi juga sebagai sumbangan Indonesia kepada dunia." Dari ungkapan tersebut, Bung Karno melihat pancasila sebagai prinsip yang universal, tidak hanya relevan untuk Indonesia, tetapi juga bisa menjadi solusi bagi dunia dalam mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Ini berindikasi juga bahwa pancasila sebagai falsafah yang menjadi landasan moral, etis, dan politik dalam penyelenggaraan negara.
Ini bermakna bahwa Pancasila bukan sekadar konsep ideal, tetapi tentu berimplikasi nyata dalam membentuk prinsip-prinsip tadi, yang pada akhirnya mengemukakan adanya lima sila tersebut. Walaupun kelima nilai itu menjadi teks ideal pancasila, namun sifatnya yang multitafsir membuatnya relevan diimplikasikan sampai saat ini.
Spiritualitas yang Mengkorelasikan Agama dan Negara
Pancasila tidak mendirikan negara berdasarkan agama tertentu, namun mengakui pentingnya peran agama dalam kehidupan berbangsa, sebagaimana tercermin dalam sila pertama, "Ketuhanan yang Maha Esa." Negara Indonesia adalah negara yang religius, namun tidak berbasis pada satu agama.
Dasar falsafah ini mengimplikasikan negara yang berkewajiban menjamin kebebasan beragama dan melindungi hak-hak warga untuk menjalankan ritual ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Tindakan intoleransi dan radikalisme yang mengancam kerukunan beragama bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Bentuk yang relasional ini-pun membuat negara tidak memposisikan diri sebagai lembaga yang mengatur urusan agama, tetapi juga tidak tidak mengabaikan peran agama dalam kehidupan sosial dan politik. Hal ini menciptakan hubungan yang harmonis antara negara dan institusi keagamaan.
Panduan Moral dan Etika Pemerintahan yang Humanis
Pancasila memberikan pedoman etika bagi penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya. Pemerintah diharapkan menjunjung tinggi prinsip keadilan, kejujuran, dan kemanusiaan dalam setiap tindakannya, sebagaimana tercermin dalam sila kedua, "Kemanusiaan yang adil dan beradab."
Landasan ini menjadi kritik terhadap pemimpin negara dan pejabat publik saat ini dimana kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat serta korupsi yang merajalela. Harapan sesungguhnya pada nilai ini adalah terwujudnya pemimpin dan pejabat publik yang bekerja dengan integritas dan bertanggung jawab untuk kesejahteraan rakyat, serta menolak korupsi dan tindakan yang merugikan rakyat dan hak-hak mereka.
Persatuan Dalam Pluralitas
Pancasila berperan sebagai pedoman untuk menjaga persatuan dan kesatuan di tengah kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, ras, dan golongan. Sila ketiga, "Persatuan Indonesia," menekankan pentingnya menjaga kebhinekaan dalam bingkai persatuan.
Tantangan-tantangan yang nantinya mengancam nilai persatuan, seperti diskriminasi, separatisme, atau intoleransi, sudah semestinya dilawan. Negara wajib menjamin kebebasan beragama dan melindungi hak-hak warga negara yang berbeda-beda latar belakangnya. Prinsip persatuan dalam keberagaman ini menjadikan Pancasila sebagai pedoman untuk menciptakan harmoni di tengah-tengah masyarakat yang multikultural. Hal ini menciptakan ikatan sosial yang kuat di antara warga negara.
Dasar Demokrasi Indonesia
Pancasila, melalui sila keempat, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan," menegaskan bahwa sistem demokrasi di Indonesia harus berlandaskan musyawarah dan mufakat. Ini berbeda dari demokrasi liberal yang hanya menekankan suara mayoritas.
Dasar filosofis ini berimplikasi terhadap pengambilan keputusan politik, baik di pemerintahan pusat maupun daerah, harus didasarkan pada musyawarah dan mufakat, bukan pada dominasi mayoritas atau pemaksaan kehendak. Demokrasi di Indonesia juga harus memperhatikan aspirasi semua golongan masyarakat dan bukan karena kepentingan individual atau komunal tertentu saja.
Pemerataan Kesejahteraan Sebagai Bentuk Keadilan Sosial
Pancasila dalam sila kelima, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," menuntut negara untuk menciptakan kondisi di mana setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam hal kesejahteraan dan keadilan sosial, tanpa memandang latar belakang ekonomi atau sosial.
Ketika problematika ketimpangan sosial dan ekonomi yang terjadi, kebijakan ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan harus diarahkan untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Negara bertanggung jawab untuk melindungi yang lemah dan memajukan kesejahteraan umum seperti adanya upaya distribusi sumber daya dan kekayaan secara adil, sehingga semua rakyat Indonesia, tanpa terkecuali, dapat menikmati hasil pembangunan dan kesejahteraan.
Secara keseluruhan, Pancasila sebagai falsafah negara menjadi fondasi dari segala aspek kehidupan di Indonesia, baik dalam konteks sosial, politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Nilai-nilai Pancasila tidak hanya menjadi panduan bagi pemerintah, tetapi juga harus diinternalisasi oleh seluruh masyarakat sebagai pedoman dalam berkehidupan sehari-hari. Partisipasi kita sebagai masyarakat dengan menginternalisasikan nilai-nilai tersebut akan menjadi tolak ukur kemajuan negara sebagai sumbangsih kepada dunia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.