REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, agama merupakan salah satu masalah utama konflik, meski tidak selalu menjadi masalah paling utama. Menurut dia, memang ada faktor ekonomi atau politik, tetapi faktor agama tidak bisa diabaikan.
"Kita ingat bahwa zionisme itu mengklaim hak kepemilikan tanah itu berdasar wacana agama," ujar kiai yang biasa dipanggil Gus Yahya ini dalam diskusi panel "Humanitarian Islam dan Pendekatan Agama terhadap Perdamaian di Timur Tengah" yang digelar di Kantir PBNU, Jakarta Pusat, Jumat (22/11/2024).
Karena itu, menurut Gus Yahya, wawasan keagamaan di tingkat masyarakat harus menjadi salah satu target pembenahan untuk mengatasi problem konflik secara lebih utuh.
"Pemerintah Mesir dan Israel, misalnya, bisa saja menjalin kesepakatan sebagaimana pernah terjadi, tapi kalau masyarakatnya belum di-address (diatasi permasalahannya, red), akan muncul perlawanan dari dalam terhadap pemerintah yang bersepakat itu," jelas dia.
Diskusi panel juga menghadirkan Luhut Binsar Panjaitan sebagai pembicara kunci. Dalam pidatonya, Ketua Dewan Ekonomi Nasional Indonesia ini menyampaikan, aktif di berbagai forum global guna menyuarakan perdamaian dunia, mulai dari Konferensi Islam Asia Afrika di 1965 hingga kerja sama pada G20 atas Religion of Twenty (R20).
"PBNU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dan dunia harus me-lead dalam upaya perdamaian Timur Tengah, dengan menggunakan pendekatan humanitarian Islam dan lintas agama, melibatkan berbagai pihak," kata Luhut.
Dengan anggota lebih dari 100 juta, menurut dia, NU telah mencapai 18 kali lipat dari Ikhwanul Muslimin di Mesir. Dengan demikian, NU memiliki kekuatan politik yang besar, termasuk dalam penentuan arah politik nasional.
Luhut juga memaparkan bahwa konflik Timur Tengah berpotensi memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dan target pembangunan lainnya. Ekspor, kata dia, berpotensi menurun akibat perlambatan ekonomi dunia. Sedangkan impor meningkat seiring peningkatan harga komoditas, terutama minyak.
"Inflasi berpotensi meningkat akibat kenaikan harga impor dan BBM. Konsumsi rumah tangga menurun akibat peningkatan inflasi. Meningkatnya ketidakpastian mendorong capital outflow dan menurunkan minat investasi global," jelas dia.
Menurut Luhut, di tengah berbagai tantangan yang ada, ekonomi dunia, termasuk Indonesia tidak bisa menanggung beban yang lebih besar lagi dari dampak perang, termasuk perang di Timur Tengah.
Penyelesaian perang yang lama dan potensi meluasnya skala perang di Timur Tengah berdampak signifikan tidak hanya terhadap ekonomi yang terlibat atau di kawasan, tetapi juga ekonomi dunia, melalui peningkatan harga minyak, terganggunya rantai pasokan dunia, dan turunnya pertumbuhan ekonomi.
Luhut menambahkan, dampak negatif yang sama dapat dirasakan oleh Indonesia, yang berpotensi mengganggu pencapaian target pertumbuhan dan pembangunan yang sangat dibutuhkan untuk mencapai target pemerintahan Presiden Prabowo maupun Visi Indonesia Emas 2045.
Indonesia sebagai negara dengan demokrasi muslim terbesar di dunia, baik secara populasi maupun ukuran ekonomi, menurut Luhut, harus dapat memainkan peran yang aktif dalam upaya perdamaian di Timur Tengah.
Diskusi ini juga dihadiri narasumber, seperti rohaniawan Katolik yang juga profesor filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara Franz Magnis Suseno SJ, CEO Center for Shared Civilization Values (CSCV) C Holland Taylor, Staf Ahli Kementerian Luar Negeri Muchsin Shihab, dan rohaniawan Protestan Martin Lukito Sinaga. Forum ini juga dihadiri Direktur Eksekutif Institute for Humanitarian Islam Yaqut Cholil Qoumas.