Lebaran dan Kompetisi Konsumeristik

1 day ago 9
Dok. KemenagDok. Kemenag

TOPNEWS62.COM, Lebaran, yang juga dikenal sebagai Idulfitri, memiliki tempat khusus di hati umat Islam. Setelah sebulan berpuasa, hari yang penuh kegembiraan ini dipenuhi dengan perayaan, hubungan keluarga, dan berbagai tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, di tengah makna spiritual dan sosial Lebaran, ada peningkatan konsumerisme yang nyata. Seolah-olah momen sakral ini telah berkembang menjadi pasar yang kompetitif, yang dipengaruhi oleh campuran dinamika sosial dan ekonomi.

Kapitalisme dan Budaya Konsumerisme

Dalam perspektif teori sosial, Jean Baudrillard dalam karyanya "The Consumer Society" (1970) menyoroti bahwa konsumsi kini bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan, tetapi juga berfungsi sebagai cara untuk membangun identitas sosial. Contohnya, saat Lebaran, membeli pakaian baru, menyajikan makanan berlimpah, dan pulang kampung dengan kendaraan terbaru bukan sekadar kebutuhan, melainkan simbol status yang menunjukkan keberhasilan seseorang.

Teori Pierre Bourdieu tentang "distinction" semakin memperkuat pandangan ini, menjelaskan bagaimana konsumsi menjadi alat untuk membedakan diri secara sosial. Masyarakat kelas menengah dan atas cenderung meningkatkan konsumsi mereka untuk membedakan diri dari kelompok lain. Hal ini sangat terlihat dalam perayaan Lebaran, di mana individu berlomba-lomba membeli pakaian bermerek, menyajikan hidangan mewah, dan berbagi sedekah yang sering kali dijustifikasi menjadi THR kepada keluarga.

Media dan Komodifikasi Lebaran

Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa media dan industri periklanan berperan besar dalam memperkuat perilaku konsumtif ini. Dengan berbagai iklan yang muncul di televisi, media sosial, dan platform e-commerce, masyarakat terus-menerus diserbu dengan pesan-pesan yang mendorong mereka untuk berbelanja. Dalam teori ekonomi politik media yang dikemukakan oleh Dallas Smythe, audiens bukan hanya sekadar penerima informasi, tetapi juga produk yang dijual kepada pengiklan. Jadi, perhatian masyarakat terhadap iklan dan kampanye promosi menjadi komoditas utama yang menggerakkan roda ekonomi berjalannya konsumsi saat Lebaran.

Tren belanja online yang semakin populer juga membuat akses ke barang-barang konsumtif menjadi lebih mudah. Diskon besar menjelang Lebaran, flash sale, dan layanan cicilan tanpa bunga menjadi strategi utama yang semakin mendorong masyarakat untuk berbelanja. Seringkali, demi memenuhi ekspektasi sosial tertentu, banyak orang rela berutang hanya untuk memastikan perayaan Lebaran mereka terlihat "sempurna" di mata orang lain.

Kompetisi Sosial dalam Perayaan Lebaran

Selain faktor ekonomi dan media, norma sosial juga berperan besar dalam persaingan konsumeristik saat Lebaran. Teori interaksi simbolik yang diajukan oleh Erving Goffman menggambarkan kehidupan sosial sebagai sebuah panggung teater, di mana individu berusaha menampilkan citra diri yang ideal di depan orang lain. Dalam konteks Lebaran, ini berarti menunjukkan bahwa seseorang telah mencapai keberhasilan ekonomi melalui pilihan pakaian, kendaraan, atau bahkan oleh-oleh yang dibawa saat mudik. T

idak hanya itu, ada juga tekanan sosial untuk memberikan sumbangan, yang menjadi bagian dari kompetisi ini dan sering kali tidak sejalan dengan pemenuhan hak-hak dasar. Masyarakat merasa perlu memberikan "sumbangan" yang lebih besar kepada keluarga besar atau lingkungan sekitar untuk menunjukkan keberhasilan finansial mereka. Sayangnya, bagi sebagian orang, hal ini justru menjadi beban ekonomi yang berat, terutama jika mereka harus memaksakan diri dengan berutang atau mengorbankan kebutuhan jangka panjang demi memenuhi ekspektasi sosial tersebut.

Mengembalikan Esensi Lebaran

Perlu perenungan mendalam terhadap makna sebenarnya dari Lebaran. Dalam ajaran Islam, kesederhanaan sangat ditekankan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk saat merayakan hari-hari besar keagamaan. Seharusnya, makna sejati Lebaran tidak terletak pada seberapa banyak yang kita miliki atau belanjakan, melainkan pada bagaimana kita memperkuat hubungan silaturahmi, berbagi dengan sesama, dan meningkatkan ketakwaan kita.

Sebagai bagian dari masyarakat, penting bagi kita untuk membangun kesadaran kolektif agar tidak terjebak dalam kompetisi konsumsi yang berlebihan. Mengedukasi diri sendiri dan orang lain tentang pentingnya hidup sesuai dengan kemampuan finansial serta menekankan nilai-nilai kebersamaan yang lebih mendalam bisa menjadi langkah awal untuk mengurangi dampak negatif dari budaya konsumtif saat Lebaran. Apalagi di tengah-tengah efisensi anggaran negara yang terjadi saat ini.

Pada akhirnya, Lebaran seharusnya menjadi momen untuk kembali kepada kesederhanaan dan kebersamaan, bukan sekadar ajang perlombaan dalam mengonsumsi barang dan jasa. Dengan mengutamakan kembali nilai-nilai spiritual dan sosial di atas kepentingan material, kita bisa merayakan Lebaran dengan lebih bermakna, tanpa terjebak dalam siklus kompetisi konsumeristik yang tak ada habisnya. Hadaanallahu wa iyyakum ajmain. Wallahulmuwafiq ilaa aqwami thariiq. Wassalam.

Penulis : Fadhly Azhar (Petugas Pesantren Ramah Anak pada Direktorat Pesantren)

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |