Mata Dibayar, Privasi Terjual: Generasi Mandiri Harus Melek Risiko Data Biometrik

4 hours ago 2

Oleh: Anton, Dekan Fakultas Teknologi Informasi Universitas Nusa Mandiri (UNM)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam beberapa hari terakhir, jagat digital Indonesia diramaikan oleh antrean panjang warga yang bersedia memindai iris mata demi imbalan uang tunai hingga Rp 800 ribu dari sebuah aplikasi bernama World App.

Di balik iming-iming keuntungan instan, tersembunyi persoalan yang jauh lebih besar: ancaman terhadap keamanan dan hak atas data pribadi.

World App merupakan bagian dari proyek global Worldcoin, yang mengusung konsep penciptaan identitas digital berbasis biometrik, khususnya iris mata. Lewat teknologi pemindaian, data biometrik pengguna diolah menjadi identitas digital yang disebut World ID.

Meski diklaim aman dan terenkripsi, pendekatan ini memicu kekhawatiran mendalam karena iris mata bukan sekadar citra visual, melainkan bagian dari identitas biologis yang tak tergantikan.

Berbeda dengan kata sandi atau alamat surel yang bisa diubah kapan saja, data biometrik seperti iris mata bersifat permanen dan tidak dapat direset.

Jika sampai disalahgunakan, individu akan mengalami dampak jangka panjang yang tidak bisa diatasi dengan sekadar penggantian akun.

Sejumlah pakar keamanan digital, seperti Pratama Persadha, menegaskan kebocoran data biometrik berpotensi menyebabkan penyalahgunaan identitas seumur hidup. Ini bukan sekadar pelanggaran privasi, melainkan ancaman terhadap hak asasi digital.

Di tengah derasnya arus teknologi dan penetrasi aplikasi digital, Generasi Mandiri—termasuk mahasiswa Universitas Nusa Mandiri (UNM) yang merupakan bagian dari kelompok muda paling terpapar digital—perlu memiliki kewaspadaan ekstra.

Kecakapan digital hari ini tidak lagi cukup jika tidak dibarengi literasi keamanan data yang kuat. Banyak aplikasi saat ini tampak legal dan menarik secara fungsional tetapi menyembunyikan celah besar dalam hal perlindungan data.

Mereka memanfaatkan minimnya kesadaran digital masyarakat untuk mengumpulkan data dalam skala besar termasuk data biometrik seperti wajah, suara, sidik jari, dan kini iris mata.

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah menghentikan sementara aktivitas World App di Indonesia. Tindakan ini patut diapresiasi sebagai langkah preventif. Namun secara regulatif, kita masih menghadapi tantangan serius.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi memang sudah disahkan, tetapi implementasinya masih belum maksimal karena belum tersedianya peraturan turunan dan otoritas pengawas yang kuat.

Dalam konteks ini, pengumpulan data biometrik oleh pihak swasta tetap menjadi aktivitas yang sangat berisiko.

Sebagai Dekan di Universitas Nusa Mandiri, yang dikenal luas sebagai Kampus Digital Bisnis, saya ingin mengajak mahasiswa, dosen, dan seluruh sivitas akademika mulai menempatkan isu perlindungan data pribadi sebagai bagian penting dari kecerdasan digital.

Dunia digital menawarkan peluang besar untuk pertumbuhan dan inovasi, tetapi juga membawa tantangan baru yang tak kalah serius. Salah satu tantangan terbesar adalah menjaga identitas digital agar tidak terjerat aplikasi yang menjual kenyamanan dengan harga mahal: yaitu privasi kita sendiri.

Kemandirian digital bukan hanya soal bisa membuat aplikasi atau memahami machine learning, tetapi juga menyangkut kemampuan bersikap kritis terhadap layanan digital yang kita gunakan.

Generasi Mandiri harus menjadi generasi yang sadar bahwa data pribadi bukan komoditas dan privasi bukan hal remeh yang bisa ditukar dengan uang tunai. Terlebih lagi ketika data yang diminta adalah sesuatu yang tak bisa diubah seumur hidup.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |