Oleh : Mauluddin Anwar; Ketua Tim Pengarah Mushaf Nusantara, Ketua Bidang Kontak Kelembagaan Lemka
Indonesia berpotensi melahirkan mushaf-mushaf dengan ciri khas lokalitas. Perlu dukungan para penguasa atawa kaum empunya.
"Kalau cuma membuat Quran yang biasa, tinggal meniru saja. Tapi kita akan membuat mushaf yang lain daripada yang lain, bahkan yang terindah daripada semua Quran yang sudah ada."
Presiden Soeharto menyampaikan pesannya pada Presentasi Mushaf Istiqlal (MI) di Gedung Bina Graha, Jakarta, 28 September 1993. Dalam sambutannya pak Harto menegaskan, MI harus menunjukkan jati diri bangsa, dengan corak iluminasi yang menggambarkan budaya yang bhineka, tapi tetap tunggal ika. Dan untuk menunjukkan dukungannya pada proyek MI, Presiden Soeharto pun membubuhkan huruf ba dalam basmalah pada surat Al-Fatihah.
Proyek MI dimulai usai pelaksanaan Festival Istiqlal I, akhir 1991. Mengutip laporan penulis pada majalah Gatra edisi 4 Desember 1995, studi konsep, khususnya desain iluminasi MI, berlangsung selama dua tahun. Terpilihlah ragam hias dari 42 lingkungan budaya di 27 provinsi. Penggarapan desain iluminasi dipimpin AD Pirous, seniman dan pelukis kaligrafi, melibatkan 39 desainer -- termasuk ahli komputer untuk mempertepat presisi dan pola desain. Sedangkan penulisan khat (kaligrafi) dipimpin Faiz Abdurrazaq, putra almarhum KH Abdurrazaq al-Muhilli -- tokoh kaligrafi Indonesia, melibatkan lima kaligrafer.
Sesuai pesan Pak Harto, corak iluminasi MI menampilkan ragam hias dan kekayaan tradisi ornamentasi dari pelosok Nusantara. Sedangkan pewarnaan MI menghadirkan paduan harmonis nuansa gelap dan temaram wilayah pedalaman dengan warna cerah bertabur emas kawasan pesisir.
Pada halaman-halaman penting seperti ummul quran (surat Al-Fatihah), nishful quran (pertengahan Al-Quran yang ditandai walyatalatthaf), dan surat terakhir An-Nas, ornamentasinya mengacu pada motif- motif floral yang sangat dominan di pelosok Nusantara. Yaitu motif pucuk rebung atau tumpal, bunga melati, dan anggrek, dalam balutan warna emas, biru, hijau, dan merah yang dominan.
Adapun khat (kaligrafi) MI mengacu pada ketentuan Mushaf Standar Indonesia, yaitu khat Naskhi. Sedangkan Khat Tsuluts digunakan hanya untuk penulisan nama surat.
MI yang terdiri dari 970 halaman berukuran 123 x 88 cm, dan menghabiskan biaya Rp 1,25 miliar (nilai saat itu), diresmikan Presiden Soeharto pada pembukaan Festival Istiqlal II, 23 September 1995. Kehadiran MI seperti mengisi 35 tahun kekosongan penulisan mushaf di Indonesia, menyusul peresmian Mushaf Pusaka oleh Presiden Soekarno pada 1960.
Tergerus Kehadiran Mesin Cetak
Menurut Ali Akbar, peneliti mushaf dan iluminasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), tradisi penyalinan dan penulisan mushaf di Indonesia masih bertahan hingga akhir abad ke-19. Dalam catatan Ali, jelang awal abad ke-20 masih ditemukan beberapa mushaf yang ditulis di kawasan Sulawesi Selatan. Namun seiring kedatangan mesin cetak, wilayah nusantara mulai dibanjiri Alquran cetakan, khususnya dari India, yang secara perlahan menggeser kebiasaan penulisan mushaf secara manual.
Ali menambahkan, kondisi itu berlangsung hingga muncul gagasan penulisan Mushaf Pusaka yang dilontarkan Abu Bakar Aceh pada acara kenegaraan peringatan Nuzulul Quran tahun 1948 di Istana Kepresidenan Yogyakarta. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta menyambut antusias gagasan itu, bahkan bersedia menorehkan huruf pertama pada basmalah surat Al-Fatihah.
Namun, kondisi Indonesia yang masih muda dan dihadapkan pada berbagai tantangan - mulai dari kelangkaan kertas hingga konflik politik, membuat proses penulisan Mushaf Pusaka tertunda. Bung Karno baru bisa meresmikan mushaf berukuran 65 x 120 cm itu pada Peringatan Nuzulul Quran tahun 1960.
“Praktis sejak itu terjadi kekosongan penulisan mushaf, sebelum Presiden Soeharto meresmikan Mushaf Istiqlal, 35 tahun kemudian” kata Ali.
Andil Para Penguasa
Menurut Direktur Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka), Didin Sirojuddin, kehadiran Mushaf Istiqlal seperti menghidupkan kembali tradisi penulisan mushaf dengan sentuhan iluminasi yang menggambarkan semangat kebhinekaan dan kebangsaan.
Andil Presiden Soekarno pada Mushaf Pusaka dan Presiden Soeharto pada Mushaf Istiqlal, mengingatkan pada besarnya peran penguasa dalam menggerakkan tradisi penulisan mushaf yang memang berbiaya tinggi. Sepanjang sejarah peradaban Islam, penulisan mushaf dengan bubuhan desain ornamentasi dan stilasi, senantiasa melibatkan para penguasa.
Sultan Sya’ban, seorang penguasa Dinasti Mamluk -- meliputi kawasan Mesir hingga Suriah saat ini misalnya, memprakarsai penulisan ratusan mushaf dalam berbagai ukuran. Dan sejarah peradaban Islam mencatat, puncak keemasan seni penulisan dan iluminasi mushaf, terjadi pada periode Dinasti Mamluk, khususnya era Sultan Sya’ban (1363-1376).
Menurut Didin, menyusul peresmian Mushaf Istiqlal oleh Presiden Soeharto, lahirlah mushaf-mushaf berskala daerah maupun nasional, yang dibiayai para kepala daerah atau pemerintahan provinsi.
“Sebut saja Mushaf Sundawi, Mushaf Jakarta, Mushaf Kalimantan Barat, dan Mushaf Al Bantani. Semuanya dibiayai para kepala daerah, atau pemerintah provinsi,” ujar Didin. Ada juga Mushaf Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwono X, namun kaligrafi teks ayatnya dimodifikasi dari Mushaf Madinah karya Usman Toha.
Ada lagi yang lebih unik, yakni Alquran Al-Akbar yang berbahan kayu Tembesu. Alquran berukuran 177x144x2,5 cm dan berjumlah 630 halaman ini dibentuk dengan ukiran khas Sumatera Selatan bernuansa emas. Presiden Susilo B. Yudhoyono meresmikan Alquran ukiran kayu itu pada Januari 2012 di Palembang. Namun peneliti BRIN Ali Akbar tidak memasukkan Alquran Al-Akbar dalam kategori manuskrip Alquran, melainkan Alquran ukir berbahan kayu.
Pemantik Mushaf Bercorak Lokal
Pada peringatan Nuzulul Quran tahun ini, sekaligus memperingati ulang tahun ke-40 Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka), telah hadir Mushaf Nusantara (MN) yang diresmikan Menteri Agama Nasaruddin Umar. MN mencatatkan dua rekor MURI sekaligus, sebagai Mushaf dengan penulis terbanyak (365 kaligrafer), ditulis serentak dari 29 provinsi dalam durasi hanya 10 jam, juga sebagai mushaf dengan corak iluminasi nusantara terbanyak (106 motif).
Didin, pimpinan Pesantren Kaligrafi Lemka Sukabumi, sekaligus inisiator penulisan MN menegaskan, kehadiran MN telah mengisi kekosongan tradisi penulisan mushaf di tanah air, setidaknya dalam satu dekade terakhir.
Didin berharap, prestasi yang ditorehkan Mushaf Nusantara bakal menggairahkan kembali tradisi menulis mushaf, khususnya di berbagai daerah. Sehingga kelak bakal muncul mushaf-mushaf dengan seni iluminasi yang menonjolkan keagungan budaya lokal dalam balutan keindonesiaan.