REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute
Rencana efisiensi anggaran tahun 2025 diperintahkan oleh Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tanggal 22 Januari 2025. Inpres langsung ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan dengan Surat Edaran nomor S-37/MK.02/2025 pada 24 Januari 2025. Target efisiensi adalah memangkas belanja hingga Rp 306,69 triliun.
Selama tiga pekan proses penyusunan rencana ternyata terjadi banyak dinamika, sehingga dilakukan rekonstruksi efisiensi. Sebelumnya, Kementerian dan Lembaga diminta menghitung sendiri serta berkomunikasi dengan mitra komisi di DPR. Terpaksa kemudian dilakukan koordinasi langsung oleh Menteri Keuangan dan Sekretariat Negara dengan pemaparan alokasi baru bagi seluruh K/L.
Rekonstruksi anggaran yang baru belum memiliki payung hukum dan dipublikasi resmi, dikemukakan lagi rencana tambahan. Bahkan, rencana baru oleh Presiden Prabowo dipidatokan pada acara partai tanggal 15 Februari. Disampaikan adanya tiga putaran pemangkasan anggaran, yang menghemat anggaran hingga Rp 750 triliun.
Pada saat hampir bersamaan, telah dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. RPJMN dilengkapi dengan lampiran berisi analisis pemerintah tentang kondisi terkini kehidupan bernegara, termasuk bidang ekonomi. Salah satu substansi isi penting adalah proyeksi berbagai indikator ekonomi, sebagai target dan arah kebijakan pemerintahan Prabowo hingga 2029.
Salah satu kelompok indikator adalah sasaran fiskal, seperti: pendapatan, belanja, keseimbangan primer, defisit dan pembiayaan. Sasaran fiskal RPJMN 2025-2029 dinyatakan dalam persen atas Produk Domestik Bruto (PDB). Sasaran Belanja Negara pada tahun 2029 disajikan dalam rentang, yakni 16,20-20,50 persen, atau dengan nilai tengah sebesar 18,35 persen dari PDB.
Target rasio belanja RPJMN ini lebih tinggi dibanding realisasi era 2015-2024, yang rata-rata hanya 15,40 persen dari PDB. Bahkan, rata-rata era prapandemi (2015-2019) hanya 14,98 persen dari PDB. Artinya, pemerintahan Prabowo merencanakan kenaikan belanja yang lebih tinggi tiap tahunnya dibanding era Jokowi.
Belanja Negara terdiri dari dua kelompok, yaitu Belanja Pemerintah Pusat (BPP) dan Transfer Ke Daerah (TKD). Sasaran BPP pada 2029 dalam rentang 11,79-15,01 persen, atau dengan nilai tengah sebesar 13,40 persen dari PDB.
Target rasio BPP pada RPJMN ini lebih tinggi dibanding realisasi era 2015-2024, yang rata-rata hanya 15,40 persen dari PDB. Bahkan, rata-rata era prapandemi (2015-2019) hanya 14,98 persen dari PDB. Artinya, pemerintahan Prabowo juga merencanakan kenaikan lebih tinggi dibanding era Jokowi.
Sasaran TKD pada tahun 2029 dalam rentang 4,41 persen - 5,49 persen, atau dengan nilai tengah sebesar 4,95 persen dari PDB. Target rasio TKD pada RPJMN ini lebih tinggi dibanding realisasi era 2015-2024, yang rata-rata hanya 4,87 persen dari PDB. Bahkan, rata-rata paska prapandemi (2020-2024) hanya 4,37 persen dan 3,90 persen pada 2024.
Berdasar sasaran pada RPJMN 2025-2029, pemerintahan Prabowo merencanakan kenaikan TKD lebih tinggi dibanding BPP. Jika terealisasi nilai tengah sasaran, maka porsi TKD atas total Belanja Negara sedikit meningkat, dari 25,77 persen menjadi 26,98%.
Porsi alokasi anggaran ke Daerah yang direncanakan sedikit meningkat tersebut belum signifikan untuk membalik arah kebijakan era kedua Jokowi. Era pertama Jokowi sempat meningkatkan porsi TKD, dari 32,28 persen (2014) menjadi 35,20 persen (2019). Setelahnya menurunkan porsi secara signifikan tiap tahun, hingga hanya sebesar 25,77 persen pada 2024.
Perlu diketahui, bahwa Perpres ditandatangani pada 10 Februari 2025, namun berbagai perhitungan indikator sebagian besar selesai disusun pada akhir Desember. Bahkan data realisasi APBN 2024 pun masih bersifat prakiraan saat itu.
Secara kedudukan hukum, RPJMN mestinya lebih tinggi dibanding Inpres, apalagi hanya Surat Edaran Menkeu. Terlebih lagi, belum jelas kedudukan hukum pidato Presiden Prabowo Subianto pada acara Partai Gerindra. Padahal dari uraian di atas saja tampak bahwa Inpres dan Surat Edaran tidak bersesuaian dengan sasaran RPJMN.
Ide besar efisiensi anggaran patut didukung, karena sudah disadari sejak lama adanya inefisiensi APBN. Akan tetapi, prosedur yang benar, transparan dan berdasar pertimbangan teknokratis harus tetap dijaga. Sejauh ini, arah kebijakan fiskal pemerintahan Prabowo justeru menjadi kurang jelas.