Resiliensi Perempuan Adat Balik Sipaku dan IKN Nusantara

22 hours ago 16

Oleh: Ani Soetjipto, pengajar senior di HI FISIP UI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi masyarakat adat, tanah bukan sekedar asset ekonomi, melainkan, identitas , spiritualitas dan sumber utama kehidupan yang telah menopang generasi selama berabad abad. Namun di tengah gemuruh deru pembangunan proyek strategis nasional seperti IKN Nusantara , kepemilikan tanah yang menjadi basis ruang hidup masyarakat adat semakin tergerus , dampaknya dirasakan memukul lebih keras bagi kelompok rentan dalam komunitas adat yaitu perempuan adat. 

Lemahnya pengakuan hukum adat atas wilayah adat yang memicu konflik berkepanjangan berdampak pada kelompok paling rentan di komunitas masyarakat yakni perempuan, bahkan perempuan adat kerap berada dalam situasi terjepit antara kepentingan negara dan aturan adat sehingga mengalami diskriminasi berlapis 

Syamsiah adalah salah satu perempuan adat suku Balik yang kami temui pada kunjungan lapangan di siang yang terik di tempat tinggalnya di di Kampung Paser Lokdam atau Kampung Sepaku pada tanggal 18 Juli 2025 .  

Di rumahnya yang berdampingan dengan kebun garapannya yang tersisa setelah tanahnya dirampas oleh pembangunan proyek IKN Nusantara , dengan logat adat yang kental, Syamsiah berkeluh kesah panjang tentang kehidupannya setelah datang nya pembangunan proyek strategis nasional ( PSN) pembangunan Ibu Kota Nusantara yang baru , yang tidak jauh dari tempat tinggalnya di ring 1 IKN yaitu kawasan Balik Sipaku, kecamatan Sipaku… 

Syamsiah adalah perempuan yang berjuang di garis depan menolak penggusuran tanah miliknya. Spanduk dipasang di depan rumahnya dan di halaman warga dan beberapa titik yang dekat dengan fasilitas umum di kampung Sipaku lama. Syamsiah bersama para perempuan adat dan didampingi ketua adat Balik dan warga adat menolak penggusuran situs sejarah , penggusuran kampung dan menolak relokasi. Syamsiah memiliki sedikit lahan untuk berkebun, itupun bersengketa karena disebut masuk lahan HGU, katanya 

“Kami takut sekali diambil tanah kami, disini rumah kami, tempat turun temurun kami, situs sejarah kami, kubur orang tua kami. Kalau kami pergi dari ini, itu semua situs sejarah dan kubur orang tua pasti hancur, pemerintah pasti tidak akan mau tahu, ujarnya 

Hidup suku balik tergantung erat dengan alam dan sungai. Hutan dan sungai tempat penuhi segala keperluan dari ekonomi, sosial maupun budaya. Hutan dan sungai merupakan ruang hidup mereka. ‘ Kalau alam hancur, hancur juga manusianya” ujar syamsiah 

Pandi suami Syamsiah, dengan lantang juga menyatakan menolak penggusuran” . Saya tidak mau meninggalkan sejarah untuk anak cucu, jika orang tua mereka menjadi sampah di tanah sendiri” . Dengan alasan itu Syamsiah dan suaminya Pandi tetap bertahan, meski Sebagian warga lain sudah merelakan lahannya untuk pembangunan IKN.. silahkan lanjutkan pembangunan IKN tapi jangan sentuh tanah kami-   

Dahlia adalah perempuan adat dari suku balik yang juga kami temui di warung kopi sederhana yang menjadi tempat usahanya desa bumi harapan atau yang biasa disebut sepaku 4 di tengah proyek pembangunan infrastruktur pembangunan jalan tol yang hingar bingar dilalui truk lalu lalang tiada henti 24 jam tiap hari di tengah jalan tanah di pinggiran kota yang masih rusak berlubang dan bergelombang.  

Sebelumnya Dahlia berladang membantu suaminya, namun sekarang ladang mereka sudah tidak ada karena tergusur pembangunan proyek IKN. “Dulu kami berladang, karena ladang sudah tidak ada sekarang kami jualan sembako kecil kecilan. Hanya rumah ini yang tersisa. Jika besok besok diambil pemerintah kami tidak tahu mau makan apa besok. 

Setiap hari Dahlia selalu dihantui rasa cemas berlebihan, tidak bisa tidur memikirkan nasib keluarga jika digusur. Pemerintah menawarkan ganti untung untuk lahannya .Sayangnya untung yang dimaksud tidak sesuai dengan harapan yang ada di benaknya. 

Dahlia dengah pedih juga bertutur tentang penyingkiran masyarakat adat Balik sipaku . menurutnya ruang hidup mereka menyempit, tanah diambil paksa oleh pihak IKN melalui berbagai janji 

“Hidup kami tertekan mereka bilang akan membuat tempat usaha untuk kami yang terdampak, tapi itu hanya akal akalan tidak ada buktinya. Janji mereka hanya kedok untuk menguasai tanah kami. Setelah tanah dikuasai tidak ada pengakuan terhadap pemilik tanah yang sebenarnya” 

Dahlia juga mengungkapkan ketimpangan akses terhadap lapangan kerja di IKN. Penerimaan kerja di IKN menuntut syarat yang sulit dipenuhi pemuda adat setempat dengan tingkat pendidikan yang minim. Syaratnya harus lulus S1. Padahal sebagian besar pemuda pemudi adat hanya lulusan SD atau SMP. Kami disuruh bersaing dengan yang punya segalanya 

“Pendidikan dan ekonomi kami terbatas sejak dulu. Tapi kami Bahagia. Kami tidak pernah kelaparan. Kami tidak pernah dimiskinkan.”   

“Sampai hari ini kami percaya bahwa pembangunan IKN tidak akan membawa kehidupan yang lebih baik bagi kami. Justru kami merasa sebagai penonton diatas tanah sendiri- menyaksikan orang lain sukses dan kaya- sementara kami kehilangan segalanya” 

Dampak pembangunan IKN sangat terasa apalagi ibu rumah tangga. Kami menggantungkan ekonomi keluarga dari kebun, sekarang kebun sudah tidak ada, malah sekarang rumah saya akan digusur , ujar Dahlia. Rumah dahlia berdekatan dan dekat pintu masuk titik NOL IKN, masuk dalam Kawasan inti IKN.  

Pembangunan IKN tidak saja merusak kebun ladang dan sungai ruang hidup mereka tapi juga mengganggu aktivitas sehari hari penduduk. Perempuan menjadi pihak yang paling merasakan dampak perubahan itu karena mereka kan istri dan ibu yang dikonstruksikan mengurusi rumah tangga. “Ketika sumber air berkurang karena dibangun intake untuk mendukung air IKN, perempuan yang merasakan lebih dulu susahnya mencari air untuk keperluan masak , cuci dan mandi “ , ujar Harianto pemuda adat Balik 

Kerentanan, pengabaian dan diskriminasi seperti yang digambarkan dalam narasi ibu Dahlia, ibu Syamsiah dan diamini oleh pak Pandi dan Harianto tergambar lewat data statistik yang memperlihatkan pembangunan SDM Perempuan provinsi Kalimantan Timur berada di posisi ke 26 dari 34 propinsi. Indek pemberdayaan gender di kabupaten Penajam Paser Utara tahun 2022 menempati posisi ke 9 dari 10 kabupaten kota Prov Kaltim ( BPS kabupaten PPU) 

Akses terhadap hak dasar seperti Pendidikan Kesehatan sangat terbatas. Mayoritas dari mereka tidak dapat mengenyam Pendidikan Menengah apalagi Pendidikan Tinggi. Begitu pula dengan aspek kesehatan akses terhadap hak kesehatan mendasar seperti kontrasepsi juga minim. Dampak dari kerentanan berlapis, mengungkung mereka .  

Satu hal yang pasti mereka melawan marginalisasi tersebut mulai dari pengorganisasian- mengorganisir diri dalam wadah perempuan adat dan kelompok tani untuk mengadvokasi kepentingan mereka , hingga mengajukan petisi dan menempuh jalur hukum untuk mempertahankan hak hak nya atas tanah/dan wilayah adat mereka. 

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |