Sejarah Islam di Nusantara: Waktu Masuknya, Pengaruh Politik dan Mazhab, serta Kritik terhadap Teori Gujarat

2 weeks ago 28

Image Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Sejarah | 2025-02-25 07:07:08

Ilustrasi sejarah Islam di Nusantara. (Sumber: AI Chatgpt)

Pendahuluan

Perkembangan Islam di Nusantara Indonesia merupakan salah satu topik penting dalam kajian sejarah keagamaan yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, pemikiran Ahmad Mansur Suryanegara di dalam Api Sejarah Jilid I telah memberikan wawasan mendalam mengenai bagaimana agama Islam bisa masuk dan berkembang di wilayah ini, serta bagaimana faktor-faktor politik dan sosial telah mempengaruhi proses tersebut.[1]

Dalam artikel singkat ini, kami akan menguraikan secara komprehensif temuan dalam bukunya Suryanegar, khususnya yang mengenai perkembangan Islam di Nusantara, dengan menyoroti aspek waktu masuknya Islam, perbedaan antara masuk dan perkembangan agama Islam, peran mualafnya para raja, serta pengaruh kekuasaan politik Islam baik dari dalam maupun luar Indonesia.

Waktu Masuknya Islam ke Nusantara

Ahmad Mansur Suryanegara menekankan pentingnya membedakan antara waktu masuknya Islam dan masa perkembangan Islam di Nusantara. Menurutnya, Islam sudah dikenal oleh bangsa Indonesia jauh sebelum terbentuknya kekuasaan politik Islam yang signifikan.[2]

Sebagai gambaran, Kesultanan Samudra Pasai di Sumatra didirikan pada tahun 1275 M, sedangkan Kerajaan Hindu Majapahit didirikan pada tahun 1294 M. Fakta ini menunjukkan bahwa Islam telah memasuki Nusantara lebih awal dibandingkan dengan kebangkitan dari Majapahit. Oleh karena itu, Suryanegara sangat mengkritik pendapat yang menyatakan bahwa Islam baru masuk ke Nusantara setelah keruntuhan Majapahit pada tahun 1478 M.

Perbedaan antara Masuk dan Perkembangan Islam

Suryanegara membedakan antara waktu di mana Islam pertama kali dikenal di Nusantara dan waktu di mana Islam berkembang menjadi kekuatan politik yang dominan. Masuknya Islam terjadi ketika agama ini mulai dikenal oleh masyarakat melalui para pedagang-pedagang Muslim yang melakukan transaksi di pasar, mirip dengan proses masuknya agama Hindu dan Buddha.[3]

Pada tahap ini, Islam belum membangun kekuasaan politik seperti kesultanan. Lain halnya dengan masa perkembangan Islam, fase ini ditandai dengan terbentuknya kesultanan-kesultanan Islam yang memiliki kekuasaan politik, seperti Kesultanan Leran di Gresik dan Kesultanan Samudra Pasai.[4]

Dalam konteks Leran Gresik, sebuah makam menjadi bukti awal masuknya Islam di Jawa. Makan tersebut ditemukan atas nama Maimun pada tahun 1082 M. Lokasi makam adalah di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Nama Leran atau Liran tersebut adalah nama sebuah tempat di Persia. Itulah makam Fatimah binti Maimum kemudian dikenal dengan nama Batu Leran dan memiliki batu nisan yang bertuliskan huruf Arab.[5]

Pendirian Kesultanan Islam Sebelum Runtuhnya Majapahit

Kesultanan-kesultanan Islam di Indonesia dapat ditelusuri sejarahnya, ternyata berdiri sebelum keruntuhan kekuasaan Majapahit. Kesultanan Samudra Pasai, misalnya, didirikan 19 tahun lebih awal daripada berdirinya Majapahit. Ini membuktikan bahwa Islam sudah memiliki basis kekuasaan politik yang kuat di beberapa wilayah Nusantara sebelum Majapahit runtuh secara keseluruhan. Dengan demikian, perkembangan Islam di Nusantara tidak bisa dikaitkan secara langsung dengan keruntuhan Majapahit, melainkan telah berlangsung secara bertahap dan berkesinambungan.

Mualafnya Raja Hindu Menjadi Sultan Islam

Dalam proses penyebaran Islam, terdapat fenomena “mualaf” besar-besaran dari raja-raja Hindu menjadi penganut Islam. Proses mualaf ini sering kali disertai dengan perubahan struktur kekuasaan politik, di mana istilah “raja” diubah menjadi “sultan” ataupun “sunan”.

Meskipun demikian, kekuasaan raja tersebut tetap diakui oleh rakyatnya. Bedan hanya bukan lagi disebut sebagai “Raja”, melainkan dalam bentuk Sultan yang sah. Menurut sejarawan orientalis J. C. van Leur, mualafnya para raja Hindu ini didorong oleh motif politik, yakni upaya para raja untuk menyesuaikan diri dengan arus perubahan sosial dan politik yang semakin dipengaruhi oleh Islam di tengah-tengah rakyat.

Motif Politik dalam Penyebaran Islam

Ahmad Mansur Suryanegara menyoroti bahwa proses mualafnya para raja tidak semata-mata didasarkan pada keyakinan spiritualitas mereka, melainkan juga dipengaruhi oleh motif politik. Raja-raja yang sebelumnya menganut Hindu-Buddha menyadari bahwa Islam telah menjadi “arus bawah yang kuat” dan memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakatnya.

Dengan memilih memeluk Islam dan sepenuhnya berpihak kepada Islam, para raja berharap dapat mempertahankan dan memperkuat posisi kekuasaannya di tengah rakyat yang telah terpengaruh oleh Islam. Dengan kata lain, ini bagian dari upaya “penyelamatan diri” dari ancaman politik eksternal seperti imperialisme Barat.

Peran Kekuasaan Politik Islam dalam Penyebaran Islam

Kekuasaan politik Islam memainkan peran krusial dalam penyebaran Islam di Nusantara. Kesultanan-kesultanan Islam tidak hanya menjadi pusat kekuasaan politik, tetapi juga pusat penyebaran ajaran Islam melalui program-program pembangunan masjid, pesantren, dan pasar.

Selain itu, kekuasaan politik Islam juga mendorong pembentukan struktur sosial yang lebih egaliter, mengingat Islam tidak mengenal kasta seperti dalam sistem Hindu. Hal ini menjadikan Islam sebagai agama yang menjadi “kekuatan pembebas” oleh masyarakat Nusantara, yang pada akhirnya mempercepat penyebaran agama tersebut.

Pengaruh Kekuasaan Politik Islam di Luar Indonesia terhadap Nusantara

Suryanegara juga menyoroti pengaruh kekuasaan politik Islam di luar Indonesia, khususnya di Timur Tengah dan India, terhadap perkembangan Islam di Nusantara. Kekuasaan politik Islam, seperti Khulafaur Rasyidin, Daulah Umayyah, Daulah Abbasiyah, dan Kesultanan Turki, telah memberikan contoh model pemerintahan yang diadopsi oleh kesultanan-kesultanan di Nusantara.

Begitu pula, interaksi dan kerja sama antara kekuasaan Islam di Timur Tengah dengan kekuasaan di Cina, seperti Dinasti Genghis Khan dan Dinasti Ming, turut memperkuat posisi Islam di Asia Tenggara. Pengaruh ini terlihat dari peningkatan jumlah masjid, pesantren, dan pasar Islam di berbagai wilayah Nusantara.

Perdebatan Mazhab Syafi’i dan Syi’ah di Samudra Pasai

Dalam perkembangan Islam di Nusantara, terdapat perbedaan mazhab yang dianut oleh masyarakat. Menurut catatan Ibnu Battutah yang berkunjung ke Kesultanan Samudra Pasai pada tahun 1345 M, ia mengatakan bahwa masyarakat di Samudra Pasai menganut Mazhab Syafi’i, sedangkan di Gujarat, India, berkembang Mazhab Syi’ah.

Perbedaan ini menjadi dasar kritik Prof. Dr. Buya Hamka terhadap teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari Gujarat. Suryanegara mendukung pandangan Buya Hamka bahwa Islam dibawa langsung oleh para wirausahawan dari Mekah, bukan melalui Gujarat, mengingat perbedaan mazhab yang signifikan antara kedua wilayah tersebut dengan yang ada di Samudra Pasai.

Kritik terhadap Periodisasi Sejarah Belanda dan Teori Gujarat

Ahmad Mansur Suryanegara mengkritik periodisasi sejarah yang dibuat oleh para orientalis, khususnya sejarawan Belanda, yang cenderung memundurkan waktu masuknya Islam ke Nusantara hingga setelah keruntuhan Majapahit. Ia juga menolak teori dari Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui Gujarat.

Kritik Suryanegara ini didasarkannya pada bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Islam ternyata sudah dikenal dan berkembang di Nusantara jauh sebelum Majapahit itu runtuh, serta adanya perbedaan mazhab yang tidak sejalan dengan teori Gujarat.

Selain itu, Suryanegara juga menyebutkan bahwa pemerintah kolonial Protestan Belanda selalu menerapkan strategi divide and rule yang didasarkan pada persepsi anti-Islam. Inilah yang kemudian menyebabkan historiografi mereka cenderung menurunkan peran Islam dalam sejarah Indonesia dan menekankan pada Hinduisme dan Neerlandosentrisme.

Referensi

[1] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ed. oleh Nia Kurniawati, Anni Rosmayani, dan Rakhmat Gumilar, Rev., Api Sejarah (Bandung: Suryadinasti, 2014), https://books.google.co.id/books?id=0AMxDwAAQBAJ.

[2] Sejarah dan Sosial, “Teori Mekah: Kisah Masuknya Agama Islam ke Indonesia,” Kumparan, 10 April 2023, https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/teori-mekah-kisah-masuknya-agama-islam-ke-indonesia-20BN4YShHmG.

[3] Ilham Choirul Anwar, “5 Teori Masuknya Islam ke Indonesia, Apa Saja?,” Tirto.id, 8 November 2023, https://tirto.id/teori-masuknya-islam-ke-indonesia-sejarah-dan-penjelasannya-f8pm.

[4] Ilham Choirul Anwar, “Teori-Teori Masuknya Islam ke Indonesia Beserta Tokohnya,” Tirto.id, 20 September 2021, https://tirto.id/teori-teori-masuknya-islam-ke-indonesia-beserta-tokohnya-gjaP.

[5] Rahma Indina Harbani, “Sejarah Masuknya Islam di Pulau Jawa, Diketahui Lewat Bukti Makam,” Detik.com, 28 September 2021, https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5743653/sejarah-masuknya-islam-di-pulau-jawa-diketahui-lewat-bukti-makam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |