Studi CELIOS Ungkap Potensi Pajak Progresif Rp 524 Triliun per Tahun

1 day ago 6

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Economic and Law Studies (CELIOS) merilis studi yang menunjukkan penerapan berbagai instrumen pajak progresif dapat menambah penerimaan negara hingga Rp 524 triliun per tahun. Potensi tersebut dihitung dari peninjauan ulang insentif pajak tak tepat sasaran sebesar Rp 137,4 triliun, pajak kekayaan Rp 81,6 triliun, pajak karbon Rp 76,4 triliun, pajak produksi batubara Rp 66,5 triliun, pajak windfall profit sektor ekstraktif Rp 50 triliun, dan pajak keanekaragaman hayati Rp 48,6 triliun.

Tambahan penerimaan juga bisa berasal dari pajak digital Rp 29,5 triliun, kenaikan tarif pajak warisan Rp 20 triliun, pajak capital gain Rp 7 triliun, pajak kepemilikan rumah ketiga Rp 4,7 triliun, serta cukai minuman berpemanis Rp 3,9 triliun.

Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, menyebut hambatan utama bukan pada teknis, melainkan politik. “Angka-angka itu masuk akal secara teknis, tetapi tidak secara politik. Jadi, satu-satunya cara kita bisa memecah kebuntuan ini adalah jika orang mulai memahami bahwa ada sistem alternatif di luar sana. Bahwa ada cara alternatif untuk mengumpulkan pajak, bahwa kita sebenarnya tidak menghadapi krisis anggaran. Saat ini, diskusinya terhenti pada aspek pemangkasan anggaran, yang malah bisa memukul ekonomi pemerintah daerah karena banyak item efisiensi yang tidak tepat sasaran,” ujarnya dalam launching riset “Dengan Hormat Pejabat Negara: Jangan Menarik Pajak seperti Berburu di Kebun Binatang” yang diikuti secara daring, Selasa (12/8/2025).

Media menilai reformasi pajak progresif jauh lebih strategis dibanding pemangkasan belanja. “Kita sering bicara soal berapa besar bantuan untuk orang miskin, tetapi jarang membahas bagaimana negara secara langsung dan tidak langsung memberi ‘tunjangan perusahaan’ kepada korporasi kaya melalui celah pajak,” ucapnya.

Ia menjelaskan, studi menunjukkan penutupan celah pajak dan penataan tarif secara progresif bukan hanya menambah penerimaan negara, tetapi juga menggerakkan ekonomi masyarakat. Menurutnya, masalah utama yang dihadapi publik bukan kekurangan uang, melainkan kurangnya kemauan politik untuk memperbaiki sistem perpajakan.

Peneliti CELIOS, Jaya Darmawan, menilai pajak progresif di sektor lingkungan berpotensi menjadi sumber penerimaan negara alternatif. Menurutnya, langkah ini tak hanya meningkatkan penerimaan secara signifikan, tetapi juga memperkuat keadilan fiskal yang selama ini dipertanyakan masyarakat.

“Bahkan, dalam aspek kerusakan lingkungan yang memiliki eksternalitas negatif tinggi, terdapat instrumen pajak biodiversity loss yang bisa menekan kehilangan keanekaragaman hayati kita sekaligus menambah penerimaan pajak hingga Rp 48,6 triliun,” ujarnya.

Peneliti CELIOS lainnya, Galau D. Muhammad, menegaskan hambatan terbesar ada pada keberanian politik. Menurutnya, pendekatan teknis sangat dimungkinkan untuk memitigasi double taxation dalam adopsi pajak progresif alternatif ini.

“Kebutuhan hari ini tak lain adalah keberanian politik untuk merancang sistem perpajakan yang berkeadilan. Titik awal bisa dimulai dengan meninjau ulang insentif pajak yang selama ini diberikan kepada korporasi besar. Upaya menggeser insentif pajak yang tak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja akan efektif menutup kebocoran anggaran mencapai Rp 137,4 triliun,” jelasnya.

CELIOS dalam studi ini mendorong agar pajak progresif menjadi agenda prioritas nasional. Reformasi pajak, menurut lembaga itu, hanya akan bermakna jika dibarengi transparansi, pembenahan data, dan penguatan kapasitas lembaga perpajakan, sehingga negara tidak kehilangan momentum memperbaiki sistem fiskal.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |