Waspada Kanker Ovarium: Pembunuh Senyap Perempuan Indonesia, Sering Terlambat Dideteksi

9 hours ago 6

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kanker ovarium sering kali dijuluki "pembunuh senyap" karena karakteristik gejalanya yang tidak spesifik, membuatnya kerap terdeteksi pada stadium lanjut. Padahal, penyakit ini telah menjadi ancaman serius, menduduki peringkat ketiga sebagai kanker terbanyak pada perempuan di Indonesia  sebagaimana diungkapkan oleh Data Global Cancer Observatory (GLOBOCAN) 2022.

Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan jumlah kasus kanker ovarium tertinggi di dunia, dengan catatan 15.130 kasus baru setiap tahunnya. menurut Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi, Konsultan Onkologi,dr Muhammad Yusuf, Sp.OG (K) Onk, mengatakan angka yang mengkhawatirkan ini menunjukkan rendahnya tingkat kesadaran dan edukasi masyarakat mengenai penyakit ini. “Ini mencerminkan masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai kanker ovarium, serta terbatasnya edukasi seputar faktor risikonya. Melihat kondisi tersebut, sangat penting bagi kita untuk bersama-sama meningkatkan kesadaran akan kanker ovarium, termasuk pemahaman terhadap ancamannya dan edukasi kepada masyarakat, terutama perempuan, mengenai pentingnya deteksi dini kesehatan reproduksi. Edukasi yang berkelanjutan kepada masyarakat, khususnya perempuan, sangat penting guna menekan laju pertumbuhan kasus dan meningkatkan kualitas penanganan secara menyeluruh,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id pada Senin (28/7/2025).

Beberapa faktor diketahui dapat meningkatkan kemungkinan seorang perempuan terkena kanker ovarium. Ini termasuk riwayat keluarga, khususnya jika ada kerabat tingkat pertama (seperti ibu atau saudara kandung) yang pernah menderita penyakit serupa. Riwayat reproduksi juga berperan, seperti menstruasi yang dimulai terlalu dini, tidak pernah hamil, atau menopause yang terjadi pada usia yang lebih tua dari rata-rata.

Selain itu, faktor genetik, seperti mutasi pada gen BRCA1/BRCA2 (Breast Cancer Gene) atau kelainan pada mekanisme perbaikan DNA (misalnya Homologous Recombination Deficiency/HRD), serta obesitas dan risiko yang meningkat seiring bertambahnya usia, turut menjadi pemicu yang perlu diwaspadai. Meskipun tidak ada jaminan 100 persen untuk mencegah kanker ovarium, gaya hidup sehat terbukti dapat membantu mengurangi risikonya.

Langkah-langkah preventif yang bisa dilakukan meliputi menjaga berat badan ideal, menjalankan pola makan yang sehat dan seimbang, memilih kontrasepsi oral atau Pil KB, berhenti merokok, dan menghindari terapi hormon yang tidak diperlukan. Kebiasaan-kebiasaan ini tidak hanya bermanfaat untuk pencegahan kanker ovarium tetapi juga mendukung kesehatan reproduksi perempuan secara menyeluruh.

Namun, tantangan terbesar dalam penanganan kanker ovarium terletak pada deteksi dininya. Hingga kini, belum ada metode skrining yang benar-benar akurat dan dapat diandalkan untuk mendeteksi penyakit ini pada tahap awal. Meskipun pemeriksaan seperti transvaginal ultrasound dan tes darah CA-125 tersedia, keduanya lebih berfungsi sebagai opsi pendukung.

Data dari American Cancer Society dan National Cancer Institute menunjukkan bahwa sebagian besar kasus kanker ovarium baru terdeteksi ketika sudah memasuki stadium lanjut. Hal ini disebabkan karena gejala awal yang cenderung ringan, tidak spesifik, dan sering diabaikan, seperti perut kembung, nyeri panggul, serta gangguan pencernaan.

Dalam sesi edukasi bertajuk “Kanker Ovarium: Bahaya Tersembunyi yang Harus Diwaspadai”, dia mengatakan kanker ovarium merupakan penyebab kematian tertinggi dari seluruh kanker ginekologi. Mayoritas pasien kanker ovarium baru terdiagnosis pada stadium 3 atau 4 akibat gejala awal yang tidak spesifik sehingga penanganan medis umumnya sudah memerlukan tindakan operasi atau kemoterapi. "Terlebih, risiko kekambuhan setelah kemoterapi awal pun sangat tinggi, yaitu mencapai 70 persen dalam tiga tahun pertama,” ujarnya.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |