Oleh : Iskandarsyah Siregar, Kepala Pusat Studi Ketahanan Nasional
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pagi tadi saya ngobrol-ngobrol santai (tapi serius) dengan seorang senior, yang juga merupakan purnawirawan TNI bintang empat. Saya ingat sekali pertama kali bertemu dengan beliau, 7 tahun lalu, adalah saat beliau mencari saya (melalui teman saya yang lain), dan akhirnya mengundang saya untuk berdiskusi di kediamannya. Dalam diskusi saat itu, beliau menghujani saya dengan pertanyaan-pertanyaan kritis seputar konsep ketahanan nasional, pertahanan semesta, dan implementasi ideal dari ideologi Pancasila. Saat itu saya sempat bertanya balik kenapa beliau mencari dan bertanya pada saya. Jawaban beliau saat itu sangat “aneh”, yaitu: “Karena Anda yang memegang ilmunya dan kami yang melaksanakannya.”
Beliau bilang, pagi ini ia menghubungi saya karena merasa resah melihat dunia keilmuan di Indonesia terasa semakin sedikit memberikan kontribusi nyata pada permasalahan-permasalahn bangsa dan negara. Efeknya, pernyataan-pernyataan keilmuan semakin tidak dihargai di tanah air yang dibangun oleh para ilmuan ini. Orang-orang tak berilmu lebih bising dan seolah mendominasi dalam ruang-ruang publik. Bahkan beliau menyampaikan bahwa sebenarnya Presiden Prabowo turut menantikan intervensi keilmuan dalam pembentukan dan kontrol kebijakan pemerintahannya. Disampaikan bahwa presiden jauh lebih percaya perspektif keilmuan daripada perspektif politis. Tapi oase itu tak kunjung datang. Hal inilah yang sebenarnya telah lama meresahkan batin dan pikiran saya dan menuntun saya menulis tulisan ini.
Di tengah berbagai krisis yang melanda negeri ini—baik krisis ekonomi, sosial, maupun politik—kita kerap terlupa bahwa krisis terbesar yang sesungguhnya sedang kita hadapi adalah krisis pada sektor yang seharusnya menjadi cahaya penerang jalan bangsa: Ilmu. Ketika pendidikan kehilangan arah dan makna, ketika ilmu tidak lagi dijadikan kiblat dan penasihat dalam mengambil kebijakan dan merancang masa depan, maka sesungguhnya seluruh aspek kehidupan bangsa berada dalam ancaman. Maka, menata kembali dunia pendidikan harus menjadi prioritas utama, jika bangsa ini ingin mencari jalan keluar sejati dari berbagai krisis yang mengancam kedaulatannya.
Pendidikan Sejati: Antara Makna dan Kenyataan
Pertanyaan mendasar yang harus kita jawab bersama adalah: seperti apa sebenarnya dunia pendidikan itu seharusnya? Pendidikan bukanlah sekadar proses transfer pengetahuan atau keterampilan teknis semata. Apalagi hanya soal validasi status atau sertifikasi semata. Hal ini jauh lebih besar dari itu semua. Pendidikan adalah proses pemanusiaan, implementasi keilmuan, pembentukan karakter, dan penanaman nilai-nilai luhur yang menjadikan individu yang cerdas secara intelektual, arif dalam bertindak, jernih dalam berpikir, dan luhur dalam bertutur juga bertindak.
Namun kenyataan hari ini menunjukkan bahwa dunia pendidikan kita cenderung bergerak ke arah yang sangat pragmatis. Dalam banyak kasus, ilmu dan pengetahuan bukan lagi menjadi variabel utama dalam menilai atau mengelola sebuah institusi pendidikan. Justru, variabel politis dan hitung-hitungan untung-rugi material lebih sering menjadi penentu arah kebijakan. Inilah yang perlahan tapi pasti merusak kesejatian dan marwah ilmu pengetahuan itu sendiri.
Mazhab Baru: Industrialisasi dan Validasi Semu
Dua hal yang paling jelas terasa pada masa-masa sekarang di dalam dunia pendidikan adalah kecenderungan industrialisasi dan obsesi terhadap validitas semu. Lembaga pendidikan berubah menjadi korporasi. Cash flow menjadi parameter utama kesuksesan. Maka lahirlah program-program materialistik: kelas khusus, jalur khusus, program paralel, bahkan "layanan pendidikan premium" yang tidak lain hanyalah cara halus untuk mengomersialisasi ilmu pengetahuan.
Akreditasi juga menjadi alat ukur utama, bahkan tidak jarang menjadi satu-satunya, untuk menilai kualitas. Padahal, akreditasi seharusnya hanyalah akibat dari proses pembelajaran dan pengembangan keilmuan yang berjalan dengan baik. Kualitas pembelajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat seharusnya menjadi prioritas utama. Di perguruan tinggi, semestinya tiga pilar utama—tridharma perguruan tinggi—menjadi pusat perhatian: riset yang bermutu, pengabdian masyarakat yang nyata, dan pembelajaran yang memerdekakan pikiran.
Belum lagi ide membangun kemegahan infrastruktur yang dijadikan halaman muka dan tampilan utama sebuah lembaga pendidikan. Persis seperti paradigma industrialisasi dan pencitraan. Ini sangat berbahaya bagi mentalitas dunia pendidikan dan para penghuninya.
Membenahi Diri: Sistem dan Persona
Maka, bagaimana seharusnya lembaga pendidikan membenahi diri? Jawabannya terletak pada dua hal: perbaikan sistem dan pembangunan kualitas persona. Sistem yang dibangun oleh lembaga pendidikan harus benar-benar mendukung peningkatan kualitas keilmuan. Anggaran dan sumber daya terbesar haruslah diarahkan pada penyelenggaraan penelitian, pengabdian masyarakat, dan kegiatan pembelajaran.
Selanjutnya adalah soal penghargaan terhadap insan akademik itu sendiri. Kompensasi, baik material maupun nonmaterial, harus diberikan berdasarkan kepakaran dan produktivitas keilmuan. Berikan peran utama dan tempat terhormat kepada mereka yang aktif di ruang-ruang keilmuan: yang meneliti, memublikasikan karya ilmiah, menyampaikan opini ilmiah, mengabdi ke daerah-daerah terpencil, dan yang menghidupkan kelas dengan pembelajaran yang berkualitas.
Mereka inilah yang sebenarnya menjadi pondasi kekuatan sebuah institusi pendidikan. Mereka inilah yang seharusnya duduk di posisi-posisi strategis lembaga keilmuan. Sebab hanya mereka yang memiliki perspektif keilmiahan yang sanggup menggiring lembaga ilmiah tetap berada pada jalur dan ruh sejatinya.
Bukankah Tuhan pun memilih seorang pemimpin dengan mempertimbangkan ilmunya, seperti yang Dia katakan: "Allah telah memilihnya (Thalut menjadi raja) kamu dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik." Begitupun Nabi Muhammad mengatakan bahwa: “Ketika suatu urusan diserahkan kepada yang tidak berilmu, maka tunggulah kehancuran.” Jadi, serahkan urusan Lembaga keilmuan kepada para ilmuan. Itu rumus ilmu pastinya. Biarlah si politisi dan si pedagang mendampingi untuk urusan-urusan kontekstualnya saja. Jangan sampai terbalik.
Majelis Ilmu, Bukan Pabrik Sertifikat
Kita harus kembali menyadari bahwa institusi pendidikan adalah majelis ilmu, bukan pabrik sertifikat atau produsen gelar akademik. Jangan karena pragmatisme sesaat, kita merusak nilai-nilai luhur dari ilmu pengetahuan yang sesungguhnya sangat mulia. Percayalah, jika nilai-nilai keilmiahan sebuah lembaga pendidikan teruji secara alamiah, maka tanpa promosi atau pencitraan yang berlebihan pun, orang-orang akan datang dengan sendirinya untuk masuk dan mengambil manfaat disana.
Lihatlah bagaimana Oxford, MIT, atau University of Malaya mengembangkan kualitas keilmuan dan adab secara konsisten dan sederhana. Mereka tidak membangun menara gading tanpa isi. Mereka membangun jiwa dari dalam. Adapun sebaliknya, lembaga pendidikan yang hanya mengandalkan status dan pencitraan, alih-alih menarik minat pencari ilmu, justru makin dijauhi dan mendapat preseden buruk. Karena para pencari ilmu yang sejati memahami bahwa yang menentukan kualitas bukanlah status administratif, melainkan ruh keilmuan dan karakter manusia-manusia di dalamnya.
Menata Ulang Peran Ilmuwan dan Akademisi
Sudah waktunya kita semua sadar. Sudah saatnya ilmuwan dan akademisi mengambil kembali peran sentral dalam menentukan arah kebijakan bangsa. Bukan berarti mereka harus turun ke panggung politik praktis, tetapi mereka harus menjadi penasihat utama, sumber pertimbangan yang murni, dan penjaga nurani bangsa.
Bangsa ini tidak akan menemukan jalan keluar sejati dari krisis multidimensi jika para ilmuwannya terus dimarjinalkan, dan lembaga pendidikannya terus dikooptasi oleh kepentingan pragmatis. Ilmu dan pendidikan harus kembali dimuliakan. Hanya dengan cara itu kita bisa membangun bangsa yang kokoh, adil, dan berdaulat.
Semoga kesadaran ini segera tumbuh, dan semoga dunia pendidikan kita kembali menjadi cahaya, bukan bayangan. Menjadi pengarah, bukan pengikut. Menjadi pembebas, bukan penakluk. Karena hanya melalui pendidikan yang sejati, kita bisa keluar dari semua ancaman dan menemukan arah sejati bagi kedaulatan bangsa dan negara kita tercinta, Indonesia.
Jadi, berilah jalan bagi mereka yang berilmu untuk memuliakan perannya. Seperti yang Tuhan sampaikan: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."