Belanja Negara Kurang Mendukung Pertumbuhan Ekonomi, Kok Bisa?

6 hours ago 6

Oleh : Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute

REPUBLIKA.CO.ID,

Belanja Negara selama semester satu 2025 sebesar Rp 1.016,3 triliun, yang merupakan 28,1 persen dari rencana APBN 2025 sebesar Rp 3.621,3 triliun. Pemerintah sendiri memprakirakan (outlook) Belanja Negara setahun mencapai Rp 3.527,51 triliun atau 97,4 persen dari target. Alami peningkatan 4,99 persen dibanding realisasi tahun 2024 yang sebesar Rp 3.359,77 triliun.

Outlook memperlihatkan penurunan belanja sebesar Rp 93,81 triliun dari target, terkesan seolah sesuai opini Pemerintah mengenai efisiensi anggaran. Kebijakan efisiensi yang dimulai dari Instruksi Presiden No.1/2025 dan ditindaklanjuti Keputusan Menteri Keuangan. Namun, besarnya masih jauh dari target efisiensi yang Rp 306,69 triliun.

Padahal, sempat diberitakan luas rencana efisiensi Presiden Prabowo Subianto yang dipaparkan pada acara Partai Gerindra tanggal 15 Februari 2025. Dijelaskan tentang tiga putaran pemangkasan anggaran yang nilai totalnya mencapai Rp 900 triliun. Antara lain disebut penyisiran sebesar Rp 300 triliun dari pos Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, pemangkasan anggaran hingga ke satuan sembilan sebesar Rp 308 triliun, dan yang berasal dari laba BUMN sebesar Rp 300 triliun.

Wacana paparan Prabowo itu tidak ditindaklanjuti dalam kebijakan dan narasi kemudian, antara lain karena tidak sesuai penyebutan item (numenklatur) APBN yang biasa dikenal. Wacana selanjutnya tetap merujuk pada Inpres senilai Rp 306,69 triliun. Terdiri atas anggaran belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 256,1 triliun dan Transfer ke Daerah sebesar Rp 50,59 triliun.

Salah satu yang cukup mengherankan adalah belum adanya keputusan dan publikasi resmi tentang kebijakan efisiensi anggaran, meski diberitakan beberapa alokasi yang baru. Postur APBN tidak alami perubahan, dan masih menjadi acuan persentase realisasi dalam rilis APBN Kita hingga akhir Mei.

Pemberitaan tentang alokasi terbaru berbagai Kementerian dan Lembaga (K/L) memang beredar di media, namun bukan bersumber dokumen resmi. Kadang ada pernyataan bahwa blokir telah dibuka untuk pos-pos tertentu. Tidak bisa dihindari kesan publik dan terutama pelaku usaha bahwa hal itu lebih ditentukan oleh negosiasi para pihak, bukan berdasar rencana belanja yang terukur.

Outlook Belanja Negara 2025

Baru pada dokumen laporan pelaksanaan APBN semester pertama tahun anggaran 2025 disajikan prakiraan (outlook) tentang belanja berdasar kelompok, jenis belanja serta alokasi K/L. Bisa dikatakan sebagai pencerminan rincian “postur belanja” setelah efisiensi. Tentu masih terdapat kemungkinan perubahan lagi dalam pelaksanaan semester kedua.

Belanja Pemerintah Pusat (BPP) semester satu sebesar Rp 1.003,57 triliun atau 37,1 persen dari rencana APBN 2025 yang Rp 2.701,44 triliun. Outlook hingga akhir tahun mencapai Rp 2.663,44 triliun atau 98,6 persen.

Menariknya, belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebagai komponen dari BPP yang ditargetkan dipangkas justru jauh melebihi rencana APBN. Outlook-nya sebesar Rp 1.275,6 triliun atau 109,9 persen dari rencana yang sebesar Rp 1.160,1 triliun.

Sebagian besar belanja K/L memang “dipangkas” sehingga diprakirakan (outlook) lebih rendah dari rencana. Termasuk K/L yang sebenarnya memiliki program prioritas atau sekurangnya dinarasikan demikian. Diantaranya: Kementerian Pertanian, Perindustrian, Pekerjaan Umum, Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Perhubungan, dan Kesehatan.

Salah satu informasi yang beredar luas selama ini adalah bertambahnya alokasi belanja program Makan Bergizi Gratis (MBG) melalui Badan Gizi Nasional (BGN). Akan tetapi mungkin karena berbagai kendala teknis dalam realisasi, proyeksi realisasi tidak seheboh yang diviralkan. Dari rencana semula Rp 71 triliun hanya menjadi Rp 116,65 triliun.

Salah satu yang bukannya dipangkas melainkan melonjak adalah Kementerian Pertahanan, dari Rp 166,26 triliun diprakirakan realisasinya mencapai Rp 247,53 triliun. Penyebabnya adalah program Modernisasi Alustsista, Non Alustsista, dan Sarpras Pertahanan, dari Rp 69,57 triliun menjadi Rp 146,38 triliun. Kemungkinan sebagian program baru ditambahkan dan karena kenaikan harga atau biaya.

Menariknya juga ditengah sebagian K/L mengalami pemangkasan, beberapa diantaranya bertambah cukup signifikan dalam outlook. Diantaranya: DPR, dari Rp 6.690,3 miliar menjadi Rp 9.964,7 miliar; Badan Intelejen Negara, dari Rp 7.0949,7 miliar menjadi Rp 15.444,8 miliar; Kementerian Keuangan, dari Rp53,20 triliun menjadi Rp 71,46 triliun; POLRI juga meningkat, dari Rp 126,62 triliun menjadi Rp 138,55 triliun.

Sementara itu, Transfer ke Daerah (TKD) semester satu terealisasi sebesar Rp 402,47 triliun atau 43,8 persen dari rencana APBN 2025. Outlook-nya sebesar Rp864,06 triliun, atau 93,9 persen dari rencana yang sebesar Rp 919,87 triliun. Terdapat pemangkasan hingga Rp 55,81 triliun atau hampir sesuai target Inpres.

Dengan demikian, kecenderungan sentralisasi anggaran yang telah dimulai era Jokowi berlanjut pada tahun pertama era Prabowo. Porsi TKD atas total Belanja Negara pada 2014 mencapai 32,38 persen dan turun menjadi 25,70 persen pada 2024. Jika dihitung dari besaran outlook 2025, maka porsinya akan turun menjadi 24,49 persen.

Belum lagi soal alokasi dana untuk program Koperasi Desa Merah Putih (KMP) yang memang tidak dialokasikan oleh APBN 2025 karena inisiasi baru pemerintahan Prabowo. Sejauh ini, KMP mencapai tahap pembentukan di ribuan desa atau kelurahan. Dijelaskan biayanya dan modal awal operasional diambil dari Dana Desa.

Jika Dana Desa yang merupakan bagian dari TKD dipakai, maka akan mengurangi alokasi untuk keperluan lainnya. Sangat mungkin, dampak pengganda bagi perekonomian lokal akan lebih kecil pada saat awal atau tahun 2025 ini. Pembentukan dan persiapan koperasi jelas belum berdampak besar dan mengganti dampak alokasi sebelumnya.

Secara umum, penulis menilai prakiraan pemerintah sendiri (outlook) APBN 2025 mengindikasikan kebijakan belanja yang tidak terarah dan kurang berorientasi mengatasi kondisi perekonomian yang sedang lesu. Amat jauh dari narasi kebijakan fiskal ekspansif atau peran sebagai “shock absorber” yang dikedepankan Kementerian Keuangan.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |