
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Di tengah kecanggihan odol rasa semangka dan sikat elektrik berjuta rpm, hadir satu benda sederhana: siwak, yang diam-diam mengandung mukjizat sunnah dan sains.
Saya kira tak ada orang yang betul-betul siap menerima kritik, apalagi dari anak kecil yang belum bisa membedakan antara kejujuran dan kesopanan. Tapi kadang, dari lisan polos mereka, kita bisa bercermin lebih jernih.
Anak perempuan saya baru saja pulang dari mengajar kursus di sebuah rumah mewah di Jakarta.
Dengan semangat, ia duduk di samping saya, ingin bercerita. Tapi sebelum kalimat lengkap terlontar, saya melihat ada kegelisahan di matanya.
Baca juga: Senator Jakarta Dorong Sejumlah Kebijakan Progresif Terkait 32 Persen Tarif Trump
Bukan karena murid sulit diatur atau jalanan macet. Tapi, katanya, karena satu momen kecil yang membekas: seorang santri kecil menghindarinya diam-diam, sementara yang lebih kecil justru lebih berani berkata jujur, “Sis, mulut Sis kok bau tidak enak.”
Tak ada yang lebih telak daripada itu. Ia mengaku tertunduk malu. Saya hanya terdiam, mendengar ceritanya. Karena saya tahu, apa yang dialaminya bukan hanya memalukan, tapi juga menyakitkan —terutama ketika kita sendiri tak menyadarinya.
Sejak hari itu, anak saya rutin menggunakan siwak. Dan saya harus akui, sejak saat itu pula, aroma tak sedap dari napasnya lenyap seperti ditelan bumi. Ia kembali percaya diri, dan saya pun kembali bisa mendengar ceritanya dari jarak dekat.
Yang menarik, kisah itu terjadi hanya berselang dua pekan setelah saya menghadiri acara penganugerahan gelar Guru Besar bidang ilmu kedokteran gigi untuk Prof Dr Ahmad Syaify di Universitas Gadjah Mada, di kota pelajar Yogyakarta.
Baca juga: Pertamina dan Dekranas Dorong UMKM Perempuan Melek AI
Acara itu tak main-main: hadir para rektor dari berbagai perguruan tinggi, tokoh-tokoh publik seperti Mahfud MD, Butet Kartaredjasa, hingga para ulama dan budayawan.
Di tengah orasinya, Prof. Syaify menyampaikan sesuatu yang membuat saya tertegun lebih dalam. Ia mengutip hadits Nabi Muhammad Saw: “Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali wudhu.” Juga hadits lain: “Siwak membuat mulut bersih dan mendatangkan ridha Allah.”
Dalam suasana ilmiah itu, sabda Nabi Muhammad Saw tak hanya terdengar religius, tapi juga rasional. Ia menjadi penghubung antara ilmu kedokteran gigi modern dan warisan spiritual Islam yang telah terbukti ampuh sejak 1.500 tahun lalu.
Pertanyaan yang muncul kemudian cukup mengganggu rasa ingin tahu saya: apakah siwak benar-benar efektif? Atau jangan-jangan ini hanya “romantisme sunnah” semata? Mengapa umat tak memakai siwak?
Baca juga: Isu Gibran Berkantor di Papua Tidak Berkorelasi dengan Isu Pemakzulannya
Saya pun menyelam ke lautan pustaka ilmiah. Saya blusukan ilmu mulai dari PubMed sampai SCOPUS, dari Google Scholar hingga ketemu jurnal _BMC Oral Health_ edisi Desember 2021.
Di situ Haslinda Ramli dkk. mengkaji ratusan literatur, dan menyimpulkan bahwa siwak terbukti efektif dalam mengurangi plak dan menjaga kesehatan periodontal. Bahkan dalam beberapa _randomized controlled trial,_ hasilnya lebih unggul dibanding sikat gigi biasa.
Dan lebih mengejutkan lagi: siwak itu, secara teknis, adalah gabungan dari odol dan sikat gigi. Ia punya kandungan alami seperti flavonoid dan alkaloid, yang bersifat antibakteri, selain tannin yang membantu merapatkan jaringan gusi. Bahkan siwak mengandung silika alami, yang berfungsi sebagai abrasif lembut.
Jadi, jika Anda memakai siwak, itu setara dengan memakai odol antibakteri dan sikat gigi sekaligus dalam satu gerakan sederhana. Dengan biaya murah, karena Anda tak perlu beli odol. Bahkan, menurut WHO sendiri, siwak diakui sebagai alat pembersih gigi yang efektif secara mekanis.
Baca juga: Di Depok, Realisasi PBB 2025 Triwulan II Capai 180 Persen
Tapi, ada tapi-nya. Seperti semua yang baik di dunia ini, siwak juga punya “sisi gelap”. Beberapa penelitian mencatat bahwa siwak yang digunakan secara berlebihan atau dengan teknik yang keliru dapat menyebabkan gingival recession, alias gusi turun seperti harga saham saat resesi.
Masalahnya bukan pada siwaknya, tapi pada cara pakainya. Ada yang menggosok terlalu keras, ada pula yang menggunakan siwak kering, atau tidak diganti selama berminggu-minggu. Akibatnya, bukannya sehat, malah makin banyak keluhan di mulut, dan terkesan kumuh.
Kuncinya adalah edukasi. Siwak perlu digunakan dengan teknik yang benar. Sama seperti cara memakai sikat gigi, siwak harus digerakkan dengan lembut, menyilang arah gigi, dan ujungnya selalu segar (dipotong secara berkala).
Yang menarik lagi adalah bagaimana siwak bukan hanya urusan gigi, tapi juga lisan —dan bahkan batin. Ia membersihkan bukan hanya mulut, tapi juga mengingatkan kita untuk menjaga apa yang keluar darinya: kata-kata.
Baca juga: Catatan Cak AT: Penuaan Menular
Karena sejujurnya, dalam budaya kita, bau mulut lebih destruktif daripada bau badan. Orang bisa memaklumi keringat, tapi mulut bau? Orang akan menjauh perlahan sambil pura-pura mengikat tali sepatu.
Maka, menjaga mulut bukan hanya soal kesehatan, tapi juga soal empati sosial. Dan siwak menjadi alat sederhana untuk menjaga lisan tetap harum secara harfiah dan batiniah.
Lebih jauh, bayangkan jika siwak dijadikan program nasional. Bukankah lebih murah dibanding program fluoridasi massal? Ketimbang APBN kita habis untuk iklan "senyum sehat dengan pasta gigi biru", kenapa tidak kita kampanyekan "senyum sunnah, mulut harum ridha Allah"?
Atau, bayangkan kurikulum Merdeka Belajar yang menambahkan pelajaran "Kebersihan Lisan Nusantara", dengan siwak sebagai alat praktik. Siapa tahu, generasi muda lebih jujur, lebih sopan, dan tentu saja, lebih wangi.
Baca juga: Menugaskan Wapres Gibran Berkantor di Papua Perlu Pertimbangan Matang
Walhasil, anak saya telah membuktikan siwak efektif menyikat bau mulut. Sebuah batang kecil dari pohon Salvadora persica bisa mengubah aroma, kepercayaan diri, bahkan mungkin takdir sosial seseorang. Dari pengalaman pribadi hingga podium akademik, siwak hadir sebagai jembatan antara tradisi dan sains, antara sunnah dan kesehatan publik.
Jadi, bau mulut itu bisa disikat hilang. Tapi hanya jika kita punya keberanian untuk mendengar kejujuran, dan kesadaran untuk berubah. Dan perubahan itu, ternyata bisa dimulai dari sebatang kayu.
Bagi saya, mulut itu seperti taman. Jika tak dirawat, ia bisa menjadi kuburan bagi kata-kata yang baik. Tapi dengan siwak, taman itu kembali mekar. Harum. Dan insya Allah, penuh berkah. (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 10/7/2025