Oleh : Darmawan Sepriyossa, wartawan senior
Setiap tahun, lebih dari 200.000 warga Indonesia menunaikan ibadah haji. Di antara mereka, mayoritas menunaikan haji tamattu’, yang menurut tuntunan syariat wajib membayar dam berupa penyembelihan kambing di Tanah Haram. Artinya, ada ratusan ribu ekor kambing yang disembelih setiap musim haji oleh jemaah Indonesia. Sayangnya, sebagian besar daging dari penyembelihan ini hanya menumpuk dan kurang dimanfaatkan secara optimal di Arab Saudi—negara yang secara ekonomi tak kekurangan daging.
Di sisi lain, Indonesia masih berjuang menghadapi masalah kronis seperti stunting yang menyerang 21,5 persen balita (SSGI 2022), kemiskinan ekstrem di sejumlah wilayah, serta ketimpangan pangan bergizi, terutama di wilayah-wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Bukankah ironi jika jutaan kilogram daging hasil ibadah rakyat Indonesia tak kembali ke negeri yang sangat membutuhkannya?
Persoalan Lama, Solusi Terbuka
Secara fiqih, memang ada pendapat kuat yang menegaskan bahwa dam harus disembelih di wilayah Haram (Makkah dan sekitarnya). Hal ini merujuk pada firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 196, “...ia wajib menyembelih korban yang mudah didapat…” dan hadits Nabi SAW: “Seluruh hari tasyriq adalah waktu penyembelihan” (HR Ahmad).
Namun, tujuan dam bukan sekadar memotong kambing, melainkan menebus kekurangan ibadah sekaligus memberikan manfaat kepada fakir miskin. Jika daging-daging itu tidak termanfaatkan di Arab Saudi karena distribusinya tidak efisien atau terjadi penumpukan, bukankah justru nilai kemanfaatan sosialnya menjadi hilang?
Imam Abu Hanifah membolehkan pemindahan sebagian bentuk ibadah kurban ke wilayah lain dengan alasan maslahat. Bahkan, Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin pernah menekankan bahwa inti ibadah adalah membumikan nilai-nilai sosial, bukan berhenti pada simbol fisik semata. Maka, spirit fikih sosial inilah yang seharusnya membuka ruang ijtihad untuk mengembalikan daging-daging dam ke Indonesia.
Belajar dari Pakistan dan Bangladesh
Langkah konkret telah dilakukan oleh negara-negara Muslim lain. Pakistan dan Bangladesh, misalnya, telah bekerja sama dengan otoritas Arab Saudi untuk mengolah daging dam menjadi daging olahan dalam bentuk pouch yang tahan lama. Data dari skema kerja sama tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 153.000 ekor kambing dam diproses dan menghasilkan lebih dari 3 juta pouch daging. Daging tersebut kemudian dikirim kembali ke negara asal untuk didistribusikan kepada fakir miskin dan anak-anak yang rentan stunting.
Indonesia pun sudah memulai. Pada 2023, sekitar 3.000 kambing dam dari petugas haji diolah menjadi 60.000 pouch rendang dan dikirim ke tanah air untuk disalurkan kepada masyarakat rentan. Tapi jumlah ini tentu sangat kecil dibandingkan total potensi jamaah haji kita. Kuota Haji Reguler RI yang jumlahnya 221.000 bisa mencapai 250.000 per tahun jika diakumulasi dengan visa swasta atau haji khusus, furoda, ziarah, dan igomah)
Hambatan dan Peluang
Tantangan utamanya adalah kejumudan pemahaman fikih, birokrasi antarnegara, dan risiko penyalahgunaan dana atau hewan fiktif dalam proses pemotongan. Tapi semua itu bisa diatasi.
Pengawasan ketat dapat dilakukan dengan sistem QR code dan audit digital, sebagaimana dilakukan oleh Islamic Development Bank dalam skema Adahi. Teknologi blockchain bahkan bisa diterapkan untuk melacak seluruh rantai pasok, dari penyembelihan hingga distribusi di desa-desa tertinggal. Kerja sama multilateral juga penting, agar proses ini tidak melibatkan satu negara saja, melainkan otoritas haji, BPKH, dan lembaga zakat nasional.
Dari segi biaya, harga rata-rata seekor kambing dam adalah SAR 240 (sekitar Rp1 juta), dan satu ekor kambing bisa menghasilkan 20 pouch daging olahan. Artinya, 200.000 dam jemaah Indonesia bisa menghasilkan 4 juta paket daging siap santap—cukup untuk menjangkau jutaan keluarga miskin Indonesia jika dimobilisasi dengan tepat.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR Thabrani). Hadis ini seharusnya menjadi pijakan dalam setiap kebijakan ibadah, termasuk dam. Daging dari darah dam yang ditumpahkan di tanah kaya seharusnya bisa dialihkan manfaatnya ke tanah air yang masih berlumur kemiskinan.
Adakah maslahat dari menumpuk daging-daging sembelihan di tengah negeri kaya, sementara di tanah kelahiran para penyembelih itu, anak-anak kekurangan zat besi dan protein?
Sudah saatnya pemerintah Indonesia memperjuangkan secara resmi dan terstruktur kerja sama dam haji ini. Bukan hanya agar lebih bermanfaat, tapi juga agar dana umat yang dikelola BPKH tidak berhenti di ritual, tapi sampai ke sosial.
Jika Pakistan dan Bangladesh bisa, mengapa Indonesia tidak?