Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) RUZKA INDONESIA -- Kota Depok selalu punya cara untuk membuat saya berhenti sejenak dan bertanya: kota seperti apa yang sedang kita tinggali hari ini? Sebuah kota tak pernah berdiri dari ruang hampa; ia tumbuh dari sejarah, ruang, manusia, dan pilihan-pilihan—baik pilihan rakyatnya maupun pilihan para pengambil kebijakan.
Depok adalah contoh paling jelas tentang bagaimana sebuah wilayah berubah begitu cepat hingga nyaris kehilangan jejak yang pernah menghidupinya.
Ketika membaca kembali data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok, saya merasa seperti melihat album foto lama yang mulai memudar. BPS mencatat lahan sawah Depok masih berjumlah 135 hektare pada 2021, tetap di angka yang sama pada 2022, kemudian menyusut menjadi 124 hektare pada 2023, dan akhirnya hanya tersisa 61 hektare pada 2024. Dalam tiga tahun saja, lebih dari separuh sawah di Depok hilang.
Angka itu tidak sekadar statistik. Di balik setiap hektare sawah yang hilang, ada cerita: tentang warga kampung yang kehilangan mata pencaharian, tentang petani yang harus alih profesi, tentang ibu-ibu yang dulu setiap pagi menyusuri pematang sawah untuk mencari daun singkong, tentang anak-anak yang bermain di pematang, tentang burung-burung kecil yang dulu hinggap di galengan. Semua itu perlahan lenyap, digantikan deretan tembok rumah cluster dan ruko-ruko yang dibangun tanpa jeda.
Bagi saya, hilangnya lahan sawah itu bukan hanya perubahan fisik kota—tetapi perubahan jiwa kota.
Depok dan Jejak yang Nyaris Terhapus
Padahal, sejarah Depok adalah sejarah tentang ruang yang “membebaskan”. Cornelis Chastelein, pejabat VOC yang membeli wilayah Depok pada awal 1700-an, mendirikan tanah partikelir yang sangat unik pada masanya.
Ia membebaskan budak-budaknya, memberikan hak tanah, lalu membiarkan komunitas itu tumbuh menjadi masyarakat Depok Lama. Depok bukan hanya tanah, ia adalah rumah bagi orang-orang yang merdeka.
Tetapi hari ini, Depok tidak lagi menghuni ketenangan masa lampau itu. Ia berubah menjadi kota yang dihuni lebih dari dua juta orang, kota penyangga Jabodetabek yang menanggung beban mobilitas, beban migrasi, beban ekonomi, dan beban pembangunan yang kian melaju.
Kota yang Berlari Tanpa Menengok
BPS Kota Depok mencatat struktur ekonomi Depok hari ini juga telah bergeser drastis. Ada tiga sektor yang mendominasi perekonomian kota:
• Industri Pengolahan – 29,16%
• Perdagangan Besar & Eceran; Reparasi Mobil & Sepeda Motor – 20,96%
• Konstruksi – 20,72%
• Totalnya mencapai 70,84% dari PDRB Depok 2024.
Bandingkan dengan pertanian yang hanya menyisakan 1,35%. Ini bukan sekadar ketimpangan, ini adalah lonceng tanda bahwa Depok resmi meninggalkan identitas lamanya sebagai kota agraris.
Jika Depok adalah manusia, saya membayangkannya sebagai seseorang yang sedang tumbuh terlalu cepat—tinggi badannya naik pesat, tapi napasnya tersengal-sengal. Pertumbuhan yang tidak diberi waktu untuk memahami dirinya sendiri.
Statistik Perubahan Penggunaan Lahan. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Urbanisasi: Ketika Kota Menjadi Magnet
Dalam teori urbanisasi klasik, ada istilah urban sprawl—perluasan kota yang meluas, tak sepenuhnya terkendali, dan biasanya menelan ruang-ruang hijau. Depok mengalami hal itu dengan presisi nyaris sempurna. Pertumbuhan penduduk, kebutuhan perumahan, dan tarikan ekonomi Jakarta menjadikan Depok sebagai kota tidur (bedroom city), kota jasa, dan kota hunian kelas menengah.
Teori lain yang relevan adalah Concentric Zone Theory—kota berkembang membentuk lingkaran-lingkaran konsentris dari pusat ke pinggir. Dalam konteks Jabodetabek, Jakarta adalah pusat, dan Depok menjadi lingkaran luar yang menampung limpahan penduduk dan aktivitas urban.
Konsekuensinya?
• Ruang hijau menyempit
• Lahan agraris ditekan
• Ekonomi bergeser ke arah jasa, perdagangan, dan konsumsi
• Budaya lokal terpinggirkan oleh urban lifestyle
Depok menjadi kota yang tumbuh bukan dari perencanaan jangka panjang semata, tetapi dari dorongan kebutuhan hari ini: kebutuhan rumah, akses kerja, transportasi, dan mobilitas.
Humanisme dalam Angka
Tapi mari kita turunkan diskusinya ke manusia yang tinggal di kota ini.
Apa yang terjadi pada warga asli Depok ketika sawah-sawah mereka berubah menjadi kompleks perumahan?
Banyak dari mereka yang akhirnya menjadi pekerja informal, pedagang kecil, atau karyawan swasta. Anak-anak mereka tumbuh bukan dengan mengenal tanah, tetapi mengenal jalan raya. Pagi mereka bukan lagi berisi suara burung, tapi suara klakson dan deru motor.
Ada yang bilang ini modernisasi. Bagi saya, ini lebih dari itu—ini transformasi relasi manusia dengan ruang hidupnya.
Kota yang baik memberi ruang bagi manusianya untuk tumbuh. Pertanyaannya adalah: apakah Depok hari ini masih menyediakan ruang itu?
Masa Depan Depok: Antara Beton dan Kebutuhan untuk Bernapas
Saya tidak menolak pembangunan. Kota harus tumbuh. Depok harus berkembang, dan itu adalah keniscayaan. Tetapi pembangunan yang tidak memberi ruang bagi alam dan sejarah pada akhirnya hanya menciptakan kota yang penuh—namun kosong secara identitas.
Jika ada satu pesan dari data BPS Kota Depok yang paling kuat, itu adalah ini:
Depok sedang menuju masa depan yang sangat urban, tetapi masa depan itu tidak boleh dibiarkan tumbuh tanpa arah.
Struktur Ekonomi di Depok. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
Depok butuh:
• Ruang hijau yang lebih luas
• Kebijakan tata ruang yang melindungi sisa lahan pertanian
• Pengembangan ekonomi lokal berbasis komunitas
• Infrastruktur yang tidak hanya mengejar kecepatan, tetapi juga kualitas hidup
Karena kota bukan hanya soal gedung, bukan hanya soal angka produk domestik regional bruto (PDRB), bukan hanya soal nilai investasi. Kota adalah soal manusia dan ruang hidupnya.
Depok mungkin tumbuh terlalu cepat, tapi belum terlambat untuk memperlambat langkah dan merapikan arah. Data BPS Kota Depok bukan hanya laporan statistik—itu adalah alarm yang berbunyi, mengingatkan bahwa pembangunan tanpa kendali dapat menghapus identitas kota.
Hari ini, Depok berdiri di persimpangan: menjadi kota hunian yang sekadar padat dan penuh, atau menjadi kota yang tumbuh dengan kesadaran, keseimbangan, dan keberlanjutan.
Pilihan itu milik kita semua—pemerintah, warga, dan mereka yang mencintai Depok sebagaimana saya mencintainya: dengan rasa ingin kota ini tumbuh, tetapi tidak kehilangan dirinya. (***)
Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior

7 hours ago
3
































