Dilema Seorang Guru: Mengajar Iman atau Mengasuh Anjing?

2 weeks ago 21

Image Naufal Syafiq

Kisah | 2025-02-28 17:48:28

Ilustrasi mengasuh anjing, sumber foto: https://pixabay.com/vectors/dogs-people-silhouette-sunset-295137/

Di hadapan Allah, setiap rezeki adalah ujian. Tapi di hadapan perut yang keroncongan, ujian itu terasa seperti hukuman.”

Suatu malam, di meja makan yang hanya diisi sepiring nasi dan tempe goreng, Rizki menatap anak-anaknya yang lahap mengunyah tanpa keluhan. Ia menarik napas panjang, menghitung dalam hati, sudah berapa kali ia harus berkata pada istrinya, "Sabarlah, Tuhan pasti mencukupi." Tapi entah kenapa, kali ini ia ragu, apakah kesabaran bisa mengenyangkan perut besok pagi?

Sejak kecil, hidup Rizki tak jauh dari kitab-kitab dan lantunan ayat suci. Ia lulusan pesantren yang melanjutkan studi di STAI Imam Syafi’i Cianjur. Setelah lulus, ia menjadi guru agama di sebuah sekolah menengah dekat rumahnya. Hari-harinya sederhana—mengajar, beribadah, dan menjalani hidup dengan penuh ketawakalan.

Namun, segalanya berubah ketika Laras hadir.

Laras, perempuan sederhana dengan hati seluas langit. Ia tak meminta lebih dari apa yang ada, selalu bersyukur, dan berbicara selembut embun pagi. Sejak menikah dengannya, hidup Rizki bukan lagi sekadar rutinitas. Ada kehangatan, ada ketenangan, ada seseorang yang mengingatkannya bahwa cinta juga bagian dari ibadah.

Kini, setiap harinya bukan hanya tentang mengajar dan beribadah, tapi juga tentang merawat cinta yang tumbuh dalam ketulusan.

Di sebuah sekolah kecil yang jauh dari gemerlap kota, Rizki melangkah dengan penuh semangat setiap pagi. Bangunannya memang sederhana, tanpa gerbang megah atau fasilitas mewah, tetapi bagi Rizki, sekolah ini lebih dari sekadar tempat kerja ini adalah rumah kedua.

Alih-alih merasa terbebani, ia justru semakin bersemangat. Setiap senyum murid-muridnya adalah bahan bakar yang membuatnya terus melangkah.

Pagi itu, suasana kelas masih dipenuhi bisik-bisik murid baru yang saling berkenalan. Beberapa ada yang sudah akrab, sementara yang lain tampak canggung. Di depan kelas, seorang guru muda tersenyum melihat wajah-wajah baru yang duduk rapi di bangku mereka.

Pak Rizki: "Selamat pagi, anak-anak! Bagaimana perasaan kalian di hari pertama sekolah ini?"

Beberapa murid menjawab dengan semangat, tetapi ada satu anak di pojok yang hanya diam dan menunduk. Pak Arif memperhatikannya, lalu mendekat dengan senyum ramah.

Pak Rizki: "Halo, namamu siapa?"

Anak itu sedikit terkejut, lalu menjawab dengan suara pelan.

Rian: "Saya Rian, Pak."

Pak Rizki: "Rian, kamu terlihat sedikit tegang. Gugup, ya?"

Rian mengangguk pelan. "Iya, Pak. Saya belum punya teman di sini."

Pak Rizki tertawa kecil.

Pak Rizki:"Ah, itu wajar. Sebentar lagi kamu pasti punya banyak temen yan..

Rian mengangukkan kepala dihiasi dengan senyuman kecilnya, yang itu menjadikan Rian tidak lagi gugup.

Setiap pagi, Rizki melangkah ke sekolah dengan semangat yang sama seperti matahari yang tak pernah lelah terbit. Ruang kelas menjadi dunianya, tempat kata-kata menjelma ilmu dan senyum murid-muridnya menjadi bahan bakar semangatnya.

Waktu berputar tanpa terasa. Pukul 14.00, bel sekolah berdering seperti gong kemenangan bagi para siswa. Mereka berhamburan keluar gerbang, membawa tawa dan cerita yang akan mereka bagi di rumah. Debu beterbangan di jalan setapak saat langkah-langkah kecil itu berlomba dengan angin.

Tak lama kemudian, satu per satu guru pun meninggalkan sekolah. Papan tulis penuh coretan mulai sepi, kursi-kursi yang tadi riuh kini hanya diam. Rizki menghela napas, menatap bangunan itu sekali lagi sebelum beranjak pulang. Hari ini mungkin sudah usai, tapi esok akan ada cerita baru yang menunggunya.

“Dek, mas datang..” suara Rizki di ruang tamu sambil membawa bingkisan di tanganya.

“Iyaa, sebentar ya mas..”Laras di dapur sedang membuatkan kopi untuk suami tercinta.

Harmonisnya kehidupan sepasang suami istri itu bagaikan senja yang tak pernah mengkhianati fajar, begitu pula cinta mereka, menyala dalam lembutnya kesetiaan, menghangat dalam sejuknya pengertian. Mereka bukan sekadar dua insan yang berjalan beriringan, melainkan dua jiwa yang berpadu dalam irama kehidupan, menjalin harmoni dalam setiap hembusan waktu.

Namun dibalik itu semua ada hal yang membuat kehidupan sedikit terhambat, ya, ekonomi. Disuatu hari Laras yang tak pernah memberanikan diri untuk bertanya terkait kondisi keuangan mereka, tapi kali ini ia mencoba untuk berani, bukan tanpa alasan, hanya saja memang keadaan yang memaksanya.

“Mas, Laras mau tanya sesuatu... boleh?” suaranya pelan, ragu-ragu.

Rizki menurunkan cangkirnya, menatap sang istri dengan dahi berkerut. “Boleh, dek. Tumben serius begini, ada apa?”

Laras menarik napas, menata kata-kata di kepalanya. Lalu, dengan hati-hati, ia berkata, “Mas... tadi siang Bu Siti datang. Uang belanja bulan ini hampir habis... dan masih ada tunggakan uang sekolah Raka yang harus dibayar.”

Keheningan sejenak mengisi ruang itu, hanya terdengar detak jam dinding yang terasa semakin lambat. Rizki menghela napas, menatap ke luar jendela. Ia tahu, esok harus ada cara, harus ada solusi. Karena bagi mereka, menyerah bukan pilihan.

"Aku tahu, Dek... Maafkan aku. Gajiku bulan ini hanya cukup untuk bayar listrik dan keperluan lain. Aku sudah coba mencari tambahan, tapi belum ada yang bisa aku lakukan selain mengajar."

Laras: ("tersenyum tipis, meski matanya tampak sendu")

"Aku paham, Mas. Aku hanya kasihan sama Raka. Minggu depan ujian, tapi kalau belum bayar SPP, dia bisa dikeluarkan dari daftar peserta."

Rizki: ("menghela napas panjang, menggenggam tangan istrinya")

"Aku akan cari jalan, Dek. Aku akan coba bicara dengan kepala sekolah, siapa tahu ada kebijakan untuk menunda pembayarannya. Kalau masih kurang, mungkin aku bisa mengajar mengaji di rumah-rumah sepulang sekolah."

Laras: ("mengangguk pelan, suaranya tetap lembut meski menyimpan kekhawatiran")

"Aku percaya, Mas. Kita sudah melewati banyak hal bersama, ini pun pasti bisa kita lewati. Aku hanya ingin melihat Raka tetap sekolah dengan tenang."

"Dalam kesunyian malam, doa mereka bertaut. Mungkin esok masih penuh ketidakpastian, tetapi mereka percaya, Tuhan tak akan membiarkan mereka berjalan tanpa cahaya."

Pagi itu, Rizki melangkah ke sekolah Raka, berharap ada keringanan. Di ruangan kepala sekolah, ia mendengar keputusan berat. Pak Kepala Sekolah menatapnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. “Baik, Rizki. Kami beri waktu satu bulan. Jika dalam waktu itu SPP belum bisa dibayar... kami terpaksa mengambil keputusan sulit.” Waktu berjalan cepat, tapi tambahan pemasukan tak kunjung datang. Seminggu berlalu dalam kegelisahan.

Lalu, tiba-tiba, ponsel Raka bergetar. Sebuah pesan dari teman lama. Mungkinkah ini jalan keluar yang mereka cari?

“Riz, giamana kabar?, denger-denger kamu sedang mencari kerja tambahan ya ?” panggilan WhatsApp masuk di handphone Riz.

“Alhamdulillah baik Ren ” Rizki dengan nada sedikit agak terkejut.

Lalu Rizki langsung lanjut bertanya “kok ksmu bisa tahu ren ?”

“Apa sih yang saya ga tahu haha” gaya reno yang dulu masih sama sampai sekarang.

“Gimana nih, iya atau ngga ? kalo iya saya mau nawarin sesuatu ke kamu Riz” lanjut Reno.

“Iya nih Ren, emang apa yang mau kamu tawarin Ren ?”

“Gini Riz, saya sekarang kerja menjadi pengasuh Anjing di kota Jakarta, dan kebetulan ini lagi dibutuhin satu personil lagi secara cepat” terang Reno.

“Kalo masalah upah, disini jauh lebih besar Riz, bahkan dua kali lipat dari upah mu yang sekarang” begitulah kiranya penjelasan Reno yang cukup detail.

Mendengar tawaran dari sahabat lamanya, Rizki termenung dan berada diambang kebingungan. Akankah dia harus meniggalkan kerjaan yang mulianya dengan kebutuhan hidup yang juga tak kunjung terpenuhi, atau ia memilih tawaran Reno tadi yang sudah pasti kehidupanya akan terjamin dari upah yang akan diterimanya.

Rizki yang tak mau gegabah mengambil keputusan, ia langsung berdiskusi bersama sang istri terkait hal ini.

Rizki : “Dek, mas tadi siang dapet tawaran dari sahabat mas terkait pekerjaan”

Laras : “Pekerjaan apa itu mas? Dan dimana tempatnya?”

Rizki : “Menjadi pengasuh Anjing, tempatnya di Jakarta dek dan upahnya itu dua kali lipat dari kerjaan mas yang sekarang”

Hati Laras secara spontan tersentak, entah harus bahagia atau sedih ketika mendengarnya, karena ia bingung dengan keadaan yang sekarang. Menjadi seorang guru adalah kerjaan yang mulia, akan tetapi keadaan semakin lama semakin tersudutkan.

“Kalo aku sih terserah mas aja, baiknya gimana dengan melihat kondisi kita yang sekarang ini ” lanjut laras berbicara sterus terang.

Namun, di balik keputusan itu, Rizki sadar bahwa hidup tak hanya soal mempertahankan idealisme, tetapi juga tentang menjalankan tanggung jawab terhadap keluarga. Meski pilihan itu mungkin menuai pandangan miring, ia tetap melangkah dengan keyakinan bahwa takdir terkadang membawa manusia pada jalan yang tak terduga, namun penuh makna.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |