REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI tengah mengkaji ulang skema subsidi pupuk menyusul temuan pemborosan dalam pengadaan pupuk bersubsidi selama periode 2020–2022. Salah satu fokus utama adalah mengevaluasi sistem perhitungan subsidi yang saat ini berbasis harga pokok penjualan (HPP) ditambah margin.
“Termasuk dalam hal ini perhitungan harga pokok pupuk bersubsidi. Karena saat ini, berdasarkan PMK Nomor 68 Tahun 2016, perhitungan subsidi didasarkan pada HPP ditambah margin dibandingkan dengan harga pasar,” ujar Ketua BAKN DPR RI Andreas Eddy Susetyo kepada Republika, Senin (2/6/2025).
Menurut Andreas, skema cost plus ini tidak memberikan insentif bagi produsen untuk menekan biaya produksi. Padahal, efisiensi sangat dibutuhkan agar produsen bisa berinvestasi dalam peremajaan pabrik.
“Pabrik pupuk jadi tidak memiliki insentif untuk melakukan revitalisasi,” katanya.
Ia mencontohkan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang memiliki pabrik tua dan membutuhkan pasokan gas lebih besar, sehingga menyebabkan HPP lebih tinggi dibandingkan anak usaha lain dengan fasilitas yang lebih baru dan efisien.
Andreas menjelaskan, kajian BAKN masih berlangsung dan bisa saja mengarah pada perubahan kebijakan subsidi guna mendorong efisiensi industri pupuk nasional. “Dengan adanya kajian dan penelaahan secara mendalam, ujungnya adalah apakah diperlukan perubahan kebijakan untuk mencapai tujuan tersebut,” ujarnya.
Ia juga menyoroti potensi efisiensi melalui pengalihan sebagian anggaran subsidi untuk investasi dalam revitalisasi pabrik pupuk. “Kami melakukan penelaahan secara mendalam. Kalau pemerintah ingin melakukan revitalisasi pabrik pupuk, maka dibutuhkan investasi. Apakah investasi itu bisa diambil dari sebagian anggaran subsidi yang selama ini mencapai Rp 47 triliun? Kalau sebagian dana subsidi dialihkan untuk revitalisasi, itu juga bagian dari efisiensi. Hitung-hitungannya sedang kami selesaikan,” jelasnya.
Selain skema penganggaran, BAKN juga menelaah aspek akuntabilitas dalam perencanaan, pengadaan, dan penyaluran pupuk bersubsidi. Seluruh aspek dikaji secara menyeluruh dengan melibatkan kementerian teknis serta pelaku industri.
“Temuan BPK kami telusuri lebih dalam hingga ke akar penyebabnya. Jika diperlukan, akan dilakukan perubahan kebijakan,” ujar Andreas.
Sebelumnya, BPK menyoroti pengalokasian pupuk urea bersubsidi yang dilakukan PT Pupuk Indonesia. Dari total pemborosan belanja subsidi pupuk sebesar Rp 2,92 triliun, sekitar Rp 2,83 triliun disebabkan oleh pengalokasian urea yang tidak mempertimbangkan kapasitas produksi masing-masing anak perusahaan.
“Sebesar Rp 2,83 triliun berasal dari pengalokasian pupuk urea bersubsidi oleh PT Pupuk Indonesia yang belum sepenuhnya mempertimbangkan kapasitas produksi operasional anak perusahaan produsen pupuk,” demikian pernyataan BPK.
Menurut BPK, kebijakan alokasi produksi pupuk bersubsidi masih lebih condong kepada produsen dengan biaya produksi tertinggi, sementara produsen dengan biaya produksi lebih rendah justru difokuskan untuk memproduksi pupuk nonsubsidi. BPK pun merekomendasikan agar Dewan Komisaris PT Pupuk Indonesia memberikan peringatan dan arahan kepada direktur utama serta direktur pemasaran perusahaan.
Vice President Komunikasi Korporat PT Pupuk Indonesia (Persero), Cindy Sistyarani, menyatakan pihaknya menghargai temuan BPK dan berkomitmen menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan. Ia menilai temuan tersebut menunjukkan pentingnya revitalisasi pabrik lama serta pembangunan pabrik baru untuk meningkatkan efisiensi produksi.
“Temuan BPK menunjukkan bahwa inefisiensi disebabkan oleh usia pabrik-pabrik yang sudah tua,” ungkap Cindy.
Ia menambahkan, ruang untuk berinvestasi di sektor pupuk sangat terbatas, terutama dalam hal revitalisasi pabrik lama. “Karena itu, diperlukan kebijakan dan skema baru yang dapat mendorong efisiensi serta mendukung keberlanjutan industri pupuk nasional,” ujarnya.