REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Laboratorium karbon digital dinilai menjadi infrastruktur penting untuk memperkuat akurasi pengukuran emisi dan meningkatkan integritas pasar karbon nasional. Dorongan pembentukan fasilitas ini mengemuka dalam forum Carbon Digital Conference (CDC) 2025 yang berlangsung di Bandung pada 8–10 Desember 2025.
CDC 2025 digelar dengan fokus pada integrasi teknologi digital untuk memperbaiki mekanisme pengukuran, pelaporan, dan verifikasi atau Measurement, Reporting, Verification (MRV) emisi. Kegiatan ini menghadirkan lebih dari 450 peserta dari 10 negara, melibatkan pemerintah, akademisi, industri, serta pelaku teknologi iklim.
Ketua Umum Indonesia Carbon Trade Association (IDCTA) Riza Suarga menyatakan forum tersebut menjadi ruang konsolidasi berbagai pemangku kepentingan dalam memperkuat pasar karbon domestik. “CDC 2025 bukan hanya sebuah konferensi, tetapi forum kolaborasi yang mempertemukan seluruh pemangku kepentingan dalam rantai nilai karbon. Kami bangga acara ini berjalan sukses dan menjadi wadah untuk menyampaikan kebijakan, regulasi, serta inovasi yang akan memperkuat integritas pasar karbon Indonesia,” kata Riza dalam siaran pers, Kamis (11/12/2025).
Gagasan pembentukan laboratorium karbon digital menjadi salah satu rekomendasi utama CDC 2025. Menurut Riza, fasilitas tersebut diperlukan untuk memperkuat kemampuan nasional dalam MRV emisi gas rumah kaca serta meningkatkan akurasi dan transparansi data. Ia menilai, sistem data yang lebih presisi akan membantu Indonesia mencapai target penurunan emisi sekaligus memperkuat posisi dalam kerja sama internasional. “Laboratorium karbon digital juga akan membantu meningkatkan kemampuan Indonesia dalam mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan iklim yang efektif, serta meningkatkan kerja sama internasional dalam mengatasi perubahan iklim,” kata Riza.
Komitmen percepatan inovasi tersebut ditegaskan melalui penandatanganan Komitmen Bersama antara Pemerintah Kota Bandung dan Indonesia Carbon Trade Association. Riza menyebut, kerja sama ini menjadi landasan pengembangan teknologi karbon digital di tingkat kota, termasuk pengujian model laboratorium karbon digital. Menurut dia, keberadaan fasilitas tersebut akan meningkatkan akuntabilitas data emisi dan memperkuat kebijakan iklim berbasis sains.
Sebagai knowledge partner, PwC Indonesia juga menekankan urgensi peningkatan kualitas kredit karbon melalui standar global. “Pemerintah telah menunjukkan progres yang signifikan tahun ini dengan ditandatanganinya Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan beberapa negara dan organisasi pengembang standar internasional. Kini saatnya seluruh ekosistem pemerintah, penyedia pembiayaan, pengembang proyek, hingga pelaku pasar melanjutkan upaya tersebut untuk membangun kredit karbon berkualitas tinggi di Indonesia,” ujar Partner dan Sustainability Leader PwC Indonesia Yulianna Sudjonno
Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menyampaikan kesiapan Bandung sebagai lokasi uji coba laboratorium karbon digital pertama di Indonesia. “Ini adalah kesempatan emas bagi Kota Bandung untuk membuka diri sebagai living lab bagi para pelaku industri karbon digital. Bandung dapat dimanfaatkan sebagai ruang prototyping teknologi. Jika prototipe berhasil, kami tinggal memperbesar kapasitasnya agar Bandung dikenal sebagai kota lahirnya Carbon Digital Economy,” ujarnya.
Farhan menjelaskan, pengembangan skema ekonomi karbon penting bagi Bandung mengingat keterbatasan ruang terbuka hijau (RTH) akibat tingginya densitas penduduk. Ia menyebut potensi pemanfaatan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) seluas 600–700 hektare sebagai natural capital yang dapat mendukung penerapan ekonomi karbon di masa depan. Menurutnya, CDC 2025 menandai perubahan arah pembangunan Bandung dari pendekatan konservatif ke model ekonomi hijau berbasis teknologi digital dan insentif karbon.

2 hours ago
3































