
Oleh Ratna Puspita
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya (UPJ)
Beberapa waktu lalu, sebuah video yang menyayat hati beredar di media sosial. Video itu merekam detik-detik setelah seekor anak gajah mati tertabrak truk di Jalan Raya Timur-Barat, Perak, Malaysia, pada 11 Mei 2025.
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
Pada video tersebut, seekor induk gajah berdiri di samping truk besar yang bagian depannya penyok akibat tabrakan. Induk gajah menempelkan kepalanya di samping truk. Lampu truk yang menyala menjadi sumber cahaya pada jalanan yang gelap.
Di bawah truk tersebut, tubuh anak gajah yang telah mati tergeletak. Induk gajah tampak enggan meninggalkan anaknya, sehingga menunjukkan perilaku berduka yang mendalam. Video tersebut membuat banyak orang ikut merasakan kesedihan gajah yang harus kehilangan anaknya setelah mengandung selama 22 bulan.
Tragedi itu tak berakhir di sana. Beberapa hari kemudian, induk gajah kembali ke lokasi kejadian. Induk gajah yang terlihat berjalan tanpa arah di Jalan Raya Gerik-Jeli, Perak, Malaysia.
Seperti dilansir The Strait Times, Departemen Perlindungan Satwa Liar dan Taman Nasional Perak mengerahkan petugas untuk mengevakuasi induk gajah tersebut ke daerah yang lebih aman. Proses evakuasi dilakukan dengan menggunakan obat penenang dan kendaraan berpenggerak empat roda. Induk gajah diperkirakan berusia antara 25 hingga 27 tahun dengan berat sekitar 2,2 ton.
Dalam banyak budaya, gajah lebih dari sekadar hewan besar. Ia merupakan simbol kekuatan, kebijaksanaan, dan kemampuan mengingat. Peribahasa "elephants can remember" atau "gajah selalu ingat" lahir dari keyakinan bahwa gajah memiliki daya ingat yang luar biasa.
Penelitian ilmiah mendukung kenyataan bahwa gajah memiliki ingatan tajam dan empati tinggi. Dalam jurnal “Innovating to Solve a Novel Puzzle”, Sarah L Jacobson dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa gajah liar Asia memiliki kemampuan belajar, berinovasi, dan mengingat jalur migrasi atau lokasi sumber air selama bertahun-tahun. Mereka mengenali sesama gajah atau manusia setelah lama berpisah, dan menunjukkan perilaku berduka ketika kehilangan anggota kawanan.
Dengan otak besar dan struktur sosial kompleks, gajah bukan hanya “hewan yang ingat”, tetapi juga “hewan yang merasa”. Mereka mengenang bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga karena mereka punya ikatan dan perasaan yang kuat.
Gagasan tentang ingatan gajah tidak hanya hadir dalam dunia nyata, tetapi juga hidup dalam budaya populer. Dalam film animasi Inside Out (2015) yang diproduksi oleh Pixar, ada karakter bernama Bing Bong, teman imajiner masa kecil tokoh utama, Riley. Bing Bong memiliki belalai seperti gajah.
Meski bukan karakter utama, Bing Bong meninggalkan kesan mendalam. Saat Riley mulai melupakannya, Bing Bong tetap setia, bahkan mengorbankan dirinya agar Riley bisa kembali bahagia. Ia mengucapkan kata-katanya yang ikonik, "Take her to the moon for me, okay?". Pernyataan ini menyiratkan perasaan tentang kehilangan, kenangan, dan pengorbanan.
Bing Bong, seperti gajah, tak mudah melupakan. Ia menjadi lambang dari apa yang tertinggal saat manusia terus tumbuh dan... melupakan.
Begitu pula dalam novel Elephants Can Remember (1972) karya Agatha Christie. Di sana, “gajah” menjadi metafora untuk orang-orang yang menyimpan ingatan lama, yang akhirnya membantu detektif Hercule Poirot memecahkan kasus masa lalu.
Keduanya, film dan novel, menyampaikan pesan serupa: ingatan adalah bagian penting dari identitas dan kebenaran.
Tragedi yang menimpa anak gajah itu menunjukkan konflik manusia dan gajah. Konflik manusia dan gajah yang paling sering menghiasi media, yakni gajah dan manusia harus berbagi ruang hidup atau gajah berada di permukiman warga.
Tragedi yang menimpa gajah mendorong kita sebagai manusia untuk menunjukkan upaya yang lebih dari sekadar empati sesaat di media sosial. Hal yang paling penting, yakni memiliki wawasan tentang konservasi satwa.
Dalam konteks konservasi gajah dan pembangunan, Pemerintah Indonesia memang sudah membangun terowongan satwa di bawah jalan tol di Sumatra. Sumatra merupakan wilayah yang paling intens untuk urusan konflik manusia dan gajah.
Namun, kita juga tidak boleh melupakan bahwa hutan-hutan yang menjadi tempat tinggal bagi gajah sudah mengalami kerusakan atau deforestrasi. Jangan sampai, ketika gajah mengenang masa lalu, mengenang anaknya yang mati, kita melupakan pembangunan yang berpihak kepada mereka, sehingga gajah tidak hanya kehilangan habitat, tetapi juga harus berpisah dengan kawanannya.(*)