REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Pemerintah dan BUMN sektor energi mendorong generasi muda terlibat aktif dalam penguatan ketahanan energi nasional melalui percepatan hilirisasi migas dan mineral. Hilirisasi dinilai menjadi kunci agar Indonesia bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah dan mencapai target Indonesia Emas 2045, sekaligus menekan emisi dan menjaga keberlanjutan lingkungan.
Hal itu mengemuka dalam acara Rembuk Energi dan Hilirisasi 2025 di Jakarta, Rabu (10/12/2025), yang menghadirkan Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) Mirza Mahendra, Wakil Koordinator Bidang Pengembangan Model Bisnis Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional Imaduddin, Kepala Pusat Kebijakan Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian ESDM Etnawati Prihandayani, serta Department Head of Downstream & Mineral Ecosystem MIND ID Novi Muharram.
Imaduddin menjelaskan, hilirisasi dan industrialisasi adalah syarat mutlak jika Indonesia ingin naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi di 2045. Untuk itu, perekonomian harus tumbuh di atas 6–7% secara berkelanjutan, jauh di atas rata-rata pertumbuhan sekitar 5% saat ini.
“Kalau kita ingin menjadi negara maju seperti Korea Selatan atau Jepang, kata kuncinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan basis industri yang kuat. Salah satu cara yang realistis bagi Indonesia adalah membangun industri berbasis sumber daya alam yang kita miliki, tetapi tidak lagi menjual tanah dan air, melainkan produk hilir bernilai tambah,” ujar Imaduddin.
Ia mencontohkan keberhasilan hilirisasi nikel yang mampu mengubah peta investasi nasional dan mendorong provinsi seperti Maluku Utara dan Sulawesi Tengah masuk jajaran tertinggi penerima investasi. Satgas Hilirisasi, kata dia, kini mengidentifikasi 18 proyek prioritas dengan potensi investasi ratusan triliun rupiah dan penyerapan hampir 300.000 tenaga kerja.
“Teman-teman yang sekarang berusia 20-an tahun kelak akan berada di puncak karier di usia 40–50 tahun. Pekerjaan yang akan kalian nikmati nanti sangat ditentukan dari keberhasilan hilirisasi hari ini. Karena itu, hilirisasi bukan hanya agenda pemerintah, tapi mimpi kolektif generasi muda,” tegasnya.
Dari sisi kebijakan energi, Etnawati menekankan bahwa Pasal 33 UUD 1945 menjadi landasan ideologis tata kelola energi dan sumber daya mineral. Kementerian ESDM, ujarnya, bekerja untuk memastikan empat aspek terpenuhi, yakni availability, affordability, accessibility, dan acceptability energi di seluruh Indonesia.
“Energi harus tersedia, terjangkau, dapat diakses, dan dapat diterima masyarakat. Kita negara kepulauan dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote. Tantangannya besar, mulai dari jaringan listrik yang terputus akibat bencana sampai daerah yang masih mengandalkan minyak tanah karena LPG belum tersedia,” jelas Etnawati.
Ia mengakui cadangan energi fosil Indonesia terus menurun, sementara teknologi pengeboran migas laut dalam masih terbatas. Karena itu, transisi menuju energi baru terbarukan (EBT) dan pengelolaan batu bara yang lebih bersih tidak bisa ditunda. Di sisi lain, pemerintah tetap harus menjaga keterjangkauan harga energi agar tidak mengguncang daya beli masyarakat dan APBN.
“Net Zero Emission 2060 bukan berarti batu bara hilang total. Yang kita lakukan adalah menggeser teknologi dan perilaku. PLTU dikembangkan ke teknologi ultra super critical, biofuel seperti B40 dimajukan, dan yang paling sederhana adalah konservasi energi di level rumah tangga: mematikan lampu dan AC saat tidak digunakan. Di sini peran anak muda sangat menentukan,” kata Etnawati.
Ia juga menyebut berbagai inisiatif seperti Patriot Energi dan penguatan regulasi untuk sumur minyak rakyat serta tambang rakyat, yang diarahkan bukan untuk mematikan ekonomi warga, melainkan merangkul mereka ke dalam tata kelola yang lebih aman dan berkelanjutan.
Dari sisi gas, Mirza Mahendra memaparkan peran PGN sebagai subholding Pertamina yang bertugas menjaga pasokan gas bumi nasional sekaligus membangun infrastruktur hilir. Ia memperkenalkan konsep “rumah ketahanan energi” yang terdiri dari lima pilar: accessibility, availability, acceptability, affordability, dan sustainability.
“Gas bumi sering dipandang sebatas bahan bakar yang dibakar lalu habis. Padahal, dari gas bisa dihasilkan rantai produk panjang seperti amonia, metanol, urea, hingga bahan baku plastik dan kimia lain yang bernilai ekonomi tinggi. Inilah esensi hilirisasi: mengubah molekul yang sama menjadi nilai tambah berlapis,” ujar Mirza.
PGN saat ini mengelola sekitar 823.000 pelanggan dengan pangsa pasar gas pipa sekitar 91% di Indonesia, didukung jaringan pipa transmisi dan distribusi lebih dari 33.000 km, fasilitas regasifikasi LNG, FSRU offshore dan land based, hingga SPBG dan LPG processing plant. Untuk mengatasi tantangan geografi kepulauan, PGN menerapkan dua skema distribusi, yakni jaringan pipa di Indonesia bagian barat dan skema beyond pipeline di Indonesia timur melalui pengiriman LNG dan CNG dengan kapal.
“Konstitusi mengamanatkan energi untuk seluruh rakyat Indonesia. Karena itu kami mengembangkan berbagai skema agar gas bumi, sebagai bahan bakar fosil dengan emisi karbon paling rendah, bisa menjadi jembatan transisi menuju Net Zero Emission 2060,” kata Mirza.
PGN, lanjut dia, menjalankan tiga inisiatif utama untuk mendukung target tersebut: pengembangan BioCNG dari limbah sawit dan sampah, penerapan teknologi carbon capture and storage/use, serta digitalisasi jaringan untuk efisiensi energi. Ke depan, perusahaan juga mulai mengembangkan hidrogen rendah karbon yang bersumber dari biomassa dan limbah.
Sementara itu, Novi Muharram mengajak mahasiswa melihat bahwa hampir seluruh perangkat yang akrab dengan kehidupan generasi muda—dari ponsel, kacamata, kendaraan, sampai pusat data (data center)—tidak lepas dari produk tambang. Karena itu, debat mengenai tambang dan hilirisasi, menurutnya, tidak bisa dipisahkan dari gaya hidup digital Gen Z.
“Handphone yang teman-teman pegang itu isinya nikel, kobalt, litium, timah, alumunium, silika, silikon. Crown kontes kecantikan, cincin lamaran, pelek motor, rangka mobil, sampai kabel data center itu semua hasil hilirisasi mineral. Pertanyaannya bukan lagi perlu atau tidak, tapi bagaimana tambang dan hilirisasi dijalankan dengan tata kelola yang baik dan bertanggung jawab,” ujar Novi.
Ia merinci, grup MIND ID mengelola sejumlah perusahaan strategis seperti Antam (nikel, bauksit, emas), Bukit Asam (batubara), Freeport Indonesia (tembaga dan emas), Inalum (aluminium berbasis PLTA), PT Timah, hingga PT Vale Indonesia (nikel). Seluruhnya kini diarahkan untuk memperdalam hilirisasi.
“Di batubara, riset kami sudah menghasilkan synthetic graphite untuk bahan anoda baterai dan asam humat untuk pupuk. Di bauksit, kami bangun pabrik chemical grade alumina dan smelter grade alumina yang jadi bahan baku aluminium domestik. Di tembaga, smelter baru di Manyar sudah siap mengolah 800.000 ton katoda per tahun. Di timah, kami kembangkan tin chemical dan solder yang dipakai di industri kabel, plastik kemasan, elektronik sampai advanced material untuk gadget tipis,” papar Novi.
Ia menambahkan, hilirisasi yang dijalankan MIND ID bukan hanya menyumbang lebih dari Rp130 triliun ke negara dalam bentuk pajak, PNBP, dan dividen, tetapi juga membuka ruang kolaborasi luas dengan perguruan tinggi dan peneliti muda. MIND ID tengah mengembangkan ekosistem baterai di Karawang yang ditargetkan mulai memproduksi baterai kendaraan listrik di dalam negeri tahun depan, serta bersiap menyuplai material untuk kebutuhan data center dan industri teknologi canggih lainnya.
“Tidak ada tambang yang tidak membuka lahan. Yang membedakan adalah apakah pembukaan lahan itu mengikuti kaidah lingkungan, reklamasi, dan regulasi, atau tidak. Di titik ini, suara kritis dan partisipasi teman-teman muda sangat penting agar tambang dan hilirisasi benar-benar ‘mining for Indonesia and the world’, bukan sekadar mengejar keuntungan jangka pendek,” tegas Novi.
Diskusi diakhiri dengan sesi tanya jawab yang diwarnai antusiasme mahasiswa. Sejumlah peserta menyoroti bagaimana memastikan hilirisasi tidak mengorbankan lingkungan, sekaligus tetap memberi ruang keadilan bagi masyarakat lokal dan generasi mendatang. Para narasumber sepakat, kolaborasi antara pemerintah, BUMN, pelaku industri, akademisi, dan generasi muda menjadi syarat mutlak agar ketahanan energi dan hilirisasi benar-benar menjadi jalan menuju Indonesia Emas 2045 yang berkelanjutan.

1 day ago
4






































