Habis Baim Wong, Terbitlah Dedi Mulyadi

5 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad E. Fuady, Dosen Fikom Unisba

Beberapa tahun terakhir, jagatmayantara media sosial Indonesia sempat dipenuhi konten-konten human interest yang menggugah air mata. Sosok Baim Wong, yang kala itu tengah berada di puncak popularitas sebagai content creator, sukses memadukan citra selebritas dengan “kesalehan sosial” melalui kanal YouTube-nya. Ia mengetuk empati publik lewat aksi berbagi dengan rakyat kecil, membantu pedagang asongan, tukang becak, hingga orang-orang yang dilabeli ‘tidak beruntung’.

Namun, seiring waktu dan dinamika konten digital yang begitu cepat, pamor Baim Wong dalam lanskap “konten berbasis kemanusiaan” mulai meredup. Kekosongan ini kemudian, tanpa banyak gegap gempita, diisi oleh sosok lain yang justru sudah terlebih dahulu menjalani praktik serupa secara konsisten, Dedi Mulyadi.

Dedi bukanlah selebritas, melainkan mantan bupati Purwakarta. Namun dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah kalah di Pilkada Jabar pada 2017, Dedi menjelma menjadi fenomena media sosial. Ia hadir sebagai “warga biasa” yang tetap turun ke masyarakat, mendengarkan, membantu, dan menyuarakan suara-suara yang kerap terpinggirkan.

Dengan gaya tutur khas Sunda kadang halus, kadang meledak-ledak, Dedi mengangkat kisah-kisah rakyat kecil di kanal YouTube dan akun media sosialnya. Ia membenahi rumah warga miskin, menolong orang yang tersandung masalah hukum, hingga menyantuni lansia. Ia berani masuk ke ranah polemik, kontroversi, bersitegang dengan pihak yang ia nilai keliru. Ia tampil apa adanya. Dominan, semua dilakukan dengan pendekatan humanis yang tidak terasa artifisial.

Tak bisa dipungkiri, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sinetronik, penyuka cerita-cerita penuh drama, konflik, emosi, dan sentuhan kemanusiaan. Bertahun-tahun ruang imajinasi publik diisi oleh tokoh-tokoh fiktif dalam layar kaca. Namun kini, pergeseran medium ke media sosial telah mengalihkan perhatian publik pada kisah nyata yang tak kalah menyentuh. Dedi Mulyadi, tanpa naskah dan akting, tampaknya berhasil menghadirkan kenyataan yang lebih menyentuh dari skenario manapun.

Tangisan ibu renta yang rumahnya roboh, senyum anak yang menerima sepatu baru, pelukan spontan dari rakyat jelata, semua itu menjadi potret kehidupan yang langsung menyentuh lubuk hati netizen dan membuat masyarakat larut dalam haru biru. Dalam berbagai komen media sosial, tak sedikit netizen bercerita kalau mereka terenyuh, tersentuh, menangis saat menonton konten Dedi. Seloroh netizen, “konten yang mengandung bawang” di kanal Dedi membuat mereka menangis.

Sempat tanpa jabatan, tanpa kendaraan formal birokrasi, Dedi tetap relevan, bahkan lebih menonjol. Konsistensinya dalam menebar konten berbasis kemanusiaan mengokohkannya sebagai tokoh yang dekat dan nyata. Popularitasnya tak lagi terbatas di Jawa Barat, tetapi merambat ke berbagai penjuru Indonesia. Banyak netizen dari luar daerah yang mengikuti dan mengapresiasi gerak sosialnya, menjadikannya figur yang akrab di mata publik nasional.

Kini, sebagai Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi bukan hanya membawa pengalaman politik, tapi juga membawa kekuatan narasi sosial yang telah ia bangun bertahun-tahun lewat media digital. Kemenangannya dalam kontestasi di Jabar menunjukkan, itu bukan sekadar kekuatan mesin politik, tapi kekuatan personal branding, citra politik, yang telah terbentuk dan mengakar lewat konten media sosial yang otentik dan konsisten.

Euforia publik, histeria netizen, yang terjadi bukan hanya di Jawa Barat terhadap Dedi adalah bukti betapa kekuatan narasi digital bisa menjadi jembatan yang kokoh antara pemimpin dan rakyat. Ia tidak sekadar “viral”, tetapi menjelma menjadi figur yang dipercaya dan dicintai.

Dari seorang pejabat daerah, menjelma content creator rakyat, kini menjadi pemimpin provinsi terbesar di Indonesia. Kisah Dedi Mulyadi adalah contoh nyata bagaimana media sosial hari ini bukan sekadar panggung pencitraan, melainkan ruang otentik untuk membangun kedekatan, membentuk persepsi, dan memobilisasi kepercayaan. Sang Gubernur Konten kini tinggal menuai hasil dari aktivitas panjangnya di media sosial.

Namun demikian, kecintaan publik jangan sampai membuat mereka menutup mata jika ada langkah dan kebijakan Dedi Mulyadi yang perlu dikritisi. Adanya pengamat yang menyampaikan kritik, komika yang me-roasting, atau siapa pun yang mempertanyakan kebijakannya secara terbuka dan berbasis data, itu adalah bagian dari ekosistem demokrasi yang sehat. Nanti akan diuji di ruang publik, argumentasi mana yang memiliki bobot lebih baik, kebijakan mana yang lebih tepat.

Sebagai tokoh publik yang tumbuh dari bawah, Dedi nyatakan terbuka terhadap kritik yang ditujukan padanya. Media sosial boleh jadi telah membentuk panggung transparansi, tetapi itu tidak boleh mengabaikan dialog, kolaborasi, dan harmonisasi dengan mitra kerja, baik legislatif, birokrasi, maupun masyarakat sipil. Jangan sampai ada “orang dekat” yang merasa ditinggalkan.

Masyarakat pun perlu memberi ruang bagi siapa pun yang menyuarakan kritik, karena “bapak aing” pun butuh masukan demi kebijakan yang lebih berkualitas. Justru dari kritik dan evaluasi yang konstruktif, kepemimpinan dapat bertumbuh menjadi lebih matang dan visioner. Dukungan publik harus disertai kewaspadaan kritis agar pemerintah tidak terjebak pada ilusi popularitas.

Semua itu penting dilakukan agar pemerintahan Provinsi Jawa Barat yang kini dipimpin Dedi Mulyadi benar-benar menjadi pemerintahan yang paripurna dalam berbagai dimensi: sosial, politik, budaya, ekonomi, dan tata kelola. Keberhasilan sejati seorang pemimpin tidak hanya diukur dari banyaknya penonton, tetapi dari kedalaman dampak dan keberlanjutan perubahan yang ia ciptakan.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |