REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana polemik Bitcoin sebagai opsi salah satu aset cadangan nasional kembali mencuat dan menjadi sorotan publik setelah komunitas Bitcoin Indonesia diundang ke kantor Wakil Presiden Indonesia. Undangan tersebut memicu spekulasi bahwa pemerintah tengah mengeksplorasi integrasi aset digital ke dalam kerangka cadangan strategis negara, meski kenyataannya belum sama sekali mengarah ke sana.
"Wacana ini tidak lepas dari tren adopsi Bitcoin sebagai penyimpan nilai jangka panjang yang dilakukan oleh beberapa negara, salah satunya El Salvador," ujar Vice President INDODAX, Antony Kusuma dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (9/8/2025).
Tak cuma itu, pemerintah di Amerika Serikat juga mulai mengusulkan integrasi Bitcoin dalam kerangka cadangan nasional. Antony mengatakan Indonesia sebagai salah satu negara dengan basis pengguna kripto yang terus tumbuh, memiliki peluang untuk mengkaji kebijakan serupa secara adaptif.
Antony menilai wacana ini sebagai momentum strategis yang patut dikaji dengan serius. Antony menyampaikan potensi Bitcoin sebagai bagian dari aset negara memang menjanjikan, terutama jika dilihat dari sifatnya yang desentralistik dan tahan inflasi.
"Namun, hal ini bukan keputusan yang bisa diambil dalam semalam. Diperlukan studi jangka panjang, pendekatan data-driven, serta keterlibatan lintas sektor agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya progresif, tetapi juga akuntabel dan selaras dengan kepentingan nasional dan stabilitas ekonomi," ucap Antony.
Dalam konteks ini, Antony melihat pentingnya sinergi antara pelaku industri, otoritas pengawas, dan lembaga pengelola kekayaan negara seperti Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Jika dilakukan secara terbuka dan kolaboratif, kajian ini akan menghasilkan arah kebijakan yang adaptif dan selaras dengan kepentingan nasional jangka panjang.
"Kami juga mengapresiasi klarifikasi dari pihak komunitas Bitcoin Indonesia yang menyampaikan diskusi di kantor Wapres bersifat eksploratif dan tahap awal serta belum sampai pada tahap kebijakan," lanjut Antony.
Antony mengatakan hal ini penting agar publik memahami posisi diskusi secara akurat dan tidak menimbulkan kesalahpahaman lebih lanjut. Antony menyampaikan pembahasan ini bersifat konseptual dan belum menjadi keputusan resmi pemerintah, sehingga tidak semestinya dijadikan dasar spekulasi investasi dalam bentuk apa pun.
"Sebagai bagian dari industri kripto nasional, kami mendorong agar hal ini tidak berhenti di tahap wacana, melainkan ditindaklanjuti melalui dialog terbuka berbasis kajian akademik dan strategi ekonomi nasional," sambung dia.
Hal ini juga sejalan dengan semangat transparansi dan keterlibatan multipihak dalam pembangunan ekonomi digital Indonesia. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan nilai transaksi kripto di Indonesia hingga pertengahan 2025 telah menembus Rp 224,11 triliun, dengan pengguna mencapai 15,85 juta.
"Ini mencerminkan adopsi yang terus berkembang dan menjadi indikator aset digital memiliki posisi yang semakin penting dalam lanskap keuangan nasional," ucap Antony.
Antony memandang aset digital tidak hanya akan berperan sebagai instrumen investasi publik, tetapi juga memiliki potensi strategis di ranah kebijakan fiskal negara. Namun, semua itu perlu dikaji secara komprehensif, inklusif, dan progresif.
Sebagai entitas yang telah lama berkontribusi dalam pengembangan industri aset digital di Indonesia, Indodax siap untuk terus memberikan masukan, literasi publik, serta dukungan terhadap proses pengambilan kebijakan berbasis inovasi dan kehati-hatian.
"Kami percaya dengan pendekatan yang tepat, Indonesia memiliki peluang untuk mengambil posisi strategis di tengah transformasi ekonomi global yang semakin terdigitalisasi," lanjut Antony.
Antony menyampaikan cadangan nasional yang sering disamakan dengan cadangan devisa pada dasarnya adalah aset strategis yang dimiliki negara untuk menjaga stabilitas ekonomi makro. Umumnya, bentuknya berupa valuta asing, surat utang luar negeri, dan emas. Namun dalam perkembangan global terkini, beberapa negara mulai mempertimbangkan perluasan definisi tersebut, termasuk melalui aset digital seperti Bitcoin. Antony menyampaikan aset digital tersebut merupakan aset yang terdesentralisasi, tahan terhadap inflasi, dan tidak dikendalikan oleh otoritas manapun.
"Kami menilai Bitcoin memiliki karakteristik fundamental yang dapat mendukung agenda diversifikasi cadangan negara," kata Antony.