Oleh : Anggota Badan Pengkajian MPR RI Fraksi PDI-Perjuangan pada Uji Sahih Substansi PPHN
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Rumusan asli UUD 1945 hanya mengatakan, "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat" (Pasal 1 ayat (2) pra-amandemen).
Ada tiga hal penting yang tak dapat dileburkan begitu saja: substansi faham kerakyatan (demokrasi), institusi yang menjalankan kedaulatan rakyat, dan kekuasaan institusi.
Secara sekilas rumusan ini sudah jelas, bahwa kedaulatan Indonesia ada di tangan rakyat. Untuk menjalankannya dibentuk MPR (baca: demokrasi perwakilan). Rumusan demikian sejalan dengan dasar "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan."
Namun, merupakan pandangan yang amat menyesatkan bila dasar kerakyatan dan rumusan kelembagaannya diartikan senapas, bahwa yang merupakan prinsip adalah MPR, bukan paham kerakyatan itu sendiri.
Para pendiri Indonesia merumuskan kerangka institusi berdemokrasi dalam "konstitusi perang" (revolutie grondwet) tahun 1945, yaitu dengan memilih sistem perwakilan berbentuk parlemen dan lembaga legislatif.
Lembaga-lembaga itu disebut sebagai "penyelenggara negara" (bandingkan dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 dan UUD Sementara tahun 1950 yang menyebut "alat-alat perlengkapan negara").
Soepomo menafsirkan, MPR merupakan lembaga pemegang kekuasaan negara tertinggi, karena dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes).
Artinya, argumen tentang negara dan lembaga negara sebagai puncak pengejawantahan akal budi dan aktualisasi manusia (baca: bangsa), seperti diteorikan Hegel, telah dipinjam untuk mengemas suatu faham religio-kultural Jawa tentang manunggaling kawulo lan gusti yang dirujuk dalam pidato Soepomo di depan Sidang BPUPK tahun 1945.
Pemahaman MPR sebagai lembaga negara tertinggi juga termaktub dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen), pada bagian III, dijabarkan sebagai berikut:
“Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama "Majelis Permusyawaratan Rakyat", sebagai penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia (vertretungsorgan des Willens der Staatsvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-undang dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden).
Majelis inilah yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Ia ialah "mandataris" dari Majelis, ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak "neben" akan tetapi "untergeordnet" kepada Majelis.
Cara pandang ini amat berbeda dengan perspektif yang "membiarkan" faham kedaulatan rakyat sebagai konsep abstrak sehingga dapat ditransfer ke berbagai kerangka institusional seperti lembaga perwakilan, kekuasaan kehakiman, atau konstitusi. Kedaulatan rakyat yang abstrak tidak berarti terbagi habis karena distribusi itu, tetapi hanya mengalami desentralisasi ke lembaga-lembaga negara.
BACA JUGA: Berkat Kecerdasan Ilmuwan Iran, Program Nuklir tak Dapat Diserang atau Dibom Sekalipun
Hasilnya, memunculkan ketegangan paradigmatik dalam konstitusi, apakah yang dianut adalah faham kedaulatan rakyat atau kedaulatan (lembaga) negara. Persoalan ini makin menkerucut ketika konsep pendisiplinan peraturan perundang-undangan dibaitkan dalam ketatanegaraan Indonesia.
Dalam rumusan hierarki hukum menurut Ketetapan (Tap) MPRS No XX/MPRS/1966. Dalam perspektif Kelsen, dasar pamungkas hidup bernegara adalah sebuah grundnorm yang diisi dengan Pancasila. Padahal, grundnorm juga bermakna proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, yaitu self-determination of people, kemerdekaan bangsa, atau faham kerakyatan.