Oleh : Fadhly Azhar*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di balik meja kerja yang penuh tumpukan berkas, layar komputer yang tak pernah padam, dan rapat-rapat yang datang silih berganti, ada kehidupan yang sering terlupakan: kehidupan batin para Aparatur Sipil Negara (ASN).
Mereka adalah wajah negara di mata rakyat. Mereka menerima keluhan, mengurus izin, menyalurkan bantuan, hingga mengawal program-program strategis yang menentukan arah pembangunan bangsa. Namun, di antara senyum ramah dan salam sopan yang kita lihat, ada sebagian dari mereka yang sedang berjuang melawan letih, cemas, bahkan perasaan hampa.
Dalam dunia birokrasi, tekanan adalah hal yang tak bisa dihindari. Target yang harus dicapai, perubahan kebijakan yang mendadak, tuntutan pelayanan prima, dan ekspektasi masyarakat yang kian tinggi—semua itu bisa menjadi beban yang perlahan menggerus ketenangan hati. Tidak sedikit ASN yang mengaku merasa kelelahan secara emosional, mudah tersulut emosi, atau kehilangan motivasi.
Angka Perenungan
Data bukan sekadar angka tapi juga embrio perenungan; Survei tahun 2025 terhadap ASN Kota Depok mengungkap 9,1% aparatur terindikasi memiliki masalah kesehatan mental dengan model screening PHQ-2/GAD-7.
Faktor penyebabnya beragam: beban kerja berlebih, kurangnya pengakuan atas prestasi, konflik peran, hingga tekanan dari ekspektasi publik. Studi kasus yang dipublikasikan melalui Advances in Social Humanities Research pada tahun 2024 meneliti pengaruh kemacetan lalu-lintas terhadap kesehatan mental pegawai Kementerian Perhubungan yang akhirnya menemukan 51.20% mengalami gejala gangguan mental berat; 39.21% moderat; 8.82% ringan.
Penelitian kuantitatif pada 95 PNS wanita di pemerintahan Kota Makassar menunjukkan work–life balance berpengaruh positif signifikan pada psychological well-being; koefisien determinasi untuk variabel work–life balance terhadap kesejahteraan psikologis adalah 0.120 (12%). Ini angka kuantitatif yang menunjukkan besaran efek variabel organisasi terhadap well-being ASN. Survei Indonesia Business Coalition for Women Empowerment pada tahun 2020 menunjukkan bahwa rata-rata 38% pekerja mengalami penurunan kondisi kesehatan mental; 40% pekerja wanita melaporkan kondisi kesehatan mental yang buruk.
Al-Qawiyyu Al-Amin: Dimana dirimu?
Islam sebenarnya sudah memberi kita sebuah pedoman yang indah, sebuah cita-cita karakter yang telah teruji zaman: al-Qowiyyu al-Amin. Istilah ini lahir dari kisah Nabi Musa ‘alaihissalam, ketika seorang ayah menerima rekomendasi dari putrinya: "Wahai Ayah, ambillah dia sebagai pekerja, karena sesungguhnya yang paling baik yang engkau ambil bekerja adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya" (QS. Al-Qashash: 26). Dua sifat ini—kuat (quwwah) dan amanah (amanah)—menjadi pilar yang saling melengkapi.
Bagi ASN, quwwah berarti memiliki kompetensi yang tajam, mental yang tangguh, dan kemampuan beradaptasi dengan cepat. Sedangkan amanah adalah integritas yang tidak bisa digadaikan, komitmen untuk melayani tanpa pamrih, dan keberanian menolak segala bentuk despotisme di dunia kerja. Tetapi, bagaimana mungkin seorang ASN bisa menjadi al-Qowiyyu al-Amin jika kesehatan mentalnya rapuh? Kekuatan fisik dan kecerdasan akademis saja tidak cukup bila hati dipenuhi kegelisahan yang tak terkelola karena desakan pekerjaan yang kadang tidak diimbangi dengan work-life balance.
Kesehatan mental adalah pondasi. ASN yang tertekan tanpa dukungan dari kepemimpinan yang empatik akan mudah kelelahan, kehilangan arah, bahkan mengambil keputusan yang merugikan. Sebaliknya, Adanya kepemimpinan yang empatik mampu melahirkan ASN yang sehat jiwanya berpikir jernih meski di tengah badai masalah. Ia bisa mengendalikan emosi saat menghadapi ekspektasi perfeksionis dan kebijakan yang berubah tiba-tiba. Ia tetap fokus pada tugas, menjaga hubungan harmonis dengan rekan kerja, dan punya daya juang untuk bangkit ketika rencana gagal karena diback-up penuh dengan kepemimpinan yang memahami dan tidak diskriminatif.
Maka, membangun ASN yang sehat mentalnya bukan sekadar program kesehatan, tapi sebuah investasi moral dan strategis bagi negara. Bayangkan bila setiap kantor pemerintahan memiliki ruang konseling yang ramah dan rahasia, hotline psikologis yang siap mendengar keluh kesah, dan pimpinan yang tidak hanya memerintah tapi juga memahami empati dan juga mendampingi.
Bayangkan bila beban kerja diatur realistis, penghargaan diberikan secara tulus, dan ada ruang bagi ASN untuk menyeimbangkan kerja dengan kehidupan pribadi. Dalam atmosfer seperti ini, quwwah akan tumbuh, amanah akan terjaga.
Menjadi ASN al-Qowiyyu al-Amin bukanlah sekadar slogan utopia, melainkan perjalanan yang harus diwujudkan. Perjalanan yang menuntut negara, pimpinan, dan ASN itu sendiri untuk peduli pada hal-hal yang tak terlihat mata: rasa aman, ketenangan hati, dan semangat yang terus menyala. Karena pada akhirnya, ASN yang kuat dan amanah akan membalas kepercayaan rakyat dengan pelayanan yang terbaik—bukan hanya karena tugas, tetapi karena hati yang sehat dan niat yang tulus.
*Alumnus doktoral UIN Syarif Hidayatullah