Oleh : Muhammad Yusuf, kepala PPATK 2011-2016, Irjen Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012-2017 dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak lama masyarakat memimpikan Indonesia mempunyai Undang-undang Perampasan Aset, sejak tahun 2014 draft Rancangan Undang-undang tersebut telah diajukan ke Sekretariat Negara oleh PPATK yang menginisiasi pembuatan RUU terebut untuk dibahas lintas kementerian, namun sayangnya hingga saat ini mimpi tersebut belum juga terwujud.
Urgensi regulasi tentang Perampasan Aset hasil kejahatan, khususnya dari Tindak Pidana Korupsi berawal dari keprihatinan masyarakat dunia terhadap dampak dan ancaman yang ditimbulkan oleh sifat korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, termasuk juga melemahkan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan yang pada akhirnya membahayakan keberlanjutan pembangunan dan supremasi hukum. Karena desakan dan tuntutan atas dasar keprihatinan tersebut terbitlah resolusi Majelis Umum PBB No 55/61 tanggal 4 Desember 2000 yang menjadi dasar dibentuknya komisi ad hoc yang tugasnya merundingkan suatu instrumen hukum internasional yang efektif untuk melawan korupsi dan meminta Sekretaris Jenderal untuk mengumpulkan kelompok ahli yang berasal dari negara-negara anggota PBB dan bersifat terbuka “open ended” guna merumuskan instrumen hukum internasional tersebut.
Resolusi Majelis Umum No 55/61 tanggal 4 Desember 2000 tersebut ditindaklanjuti dengan resolusi Majelis Umum no 56/186 dan 57/244 tanggal 20 Desember 2002 mengenai pencegahan dan pemberantasan praktik-praktik korupsi dan pemindahan dana-dana dari sumber yang tidak sah dan mengembalikannya ke negara asalnya, akhirnya Mexico menawarkan kota Mirada menjadi tuan rumah untuk merumuskan dan melahirkan Resolusi No 57/169 Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Convention Against Corruption) yang disepakati pada tanggal 18 Desember 2003 dan mulai berlaku pada 29 September 2003.
Indonesia meratifikasi konvensi ini dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006, sayangnya sejak tahun 2006 Indonesia masih belum mengatur setidaknya 4 hal penting yang ada dalam konvensi tersebut, yaitu tentang kriminalisasi Illicit Enrichment yang diatur dalam pasal 20, Suap di sektor Swasta yang tercantum dalam pasal 21 konvensi, Memperdagangkan Pengaruh (Trading in Influence) yang tercantum dalam pasal 18 konvensi dan Perampasan Aset Koruptor tanpa hukuman pidana ( Non Conviction Based Asset Forfeiture) sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat 1 huruf c Konvensi.
Dalam pasal 53 konvensi tersebut, Pengembalian aset-aset hasil kejahatan merupakan suatu prinsip yang mendasar dari konvensi ini. Bagi Indonesia yang sudah meratifikasi konvensi tersebut dan konvensi ini menegaskan bahwa pengembalian aset merupakan suatu prinsip yang mendasar ditambah lagi dengan kebutuhan dalam negeri yang memerlukan banyak dana untuk mewujudkan program yang telah diputuskan dan harus dilaksanakan pemerintah, apalagi di era kondisi ekonomi dunia/ global yang sedang tidak baik-baik saja, maka membuat dan mengundangkan Undang-undang Perampasan Aset hasil kejahatan merupakan suatu keniscayaan dan bersifat mendesak.
Dalam pasal 54 ayat 1 konvensi melawan korupsi tersebut disebutkan beberapa objek perampasan yang harus dipertimbangkan untuk dimuat dalam regulasi negara penandatangan konvensi, termasuk Indonesia, yaitu memungkinkan perampasan aset tanpa penghukuman pidana dalam hal pelakunya tidak dapat dituntut karena meninggal dunia, melarikan diri, tidak diketahui keberadaannya atau karena alasan-alasan yang sepadan dengan kejadian tersebut (or in other appropriate cases)
Hal-hal yang harus diatur dalam RUU Perampasan Aset
Saat ini perhatian dan harapan masyarakat terhadap Undang-undang perampasan aset semakin kuat dan menjadi topik pembicaraan hangat di hampir semua lapisan masyarakat, Merespon keinginan masyarakat tersebut Presiden ke 7 RI Joko Widodo mengirim surat no R-22/Pres/05/2023 berikut naskah RUU Perampasan Aset kepada Ketua DPR RI dengan permintaan agar dilakukan pembahasan dan menjadikannya prioritas utama. Disamping sebagai respon memenuhi tuntutan masyarakat, permintaan Presiden ke 7 RI tersebut menggambarkan bahwa masyarakat memandang Undang-undang Perampasan Aset menjadi solusi dan sarana efektif untuk mengembalikan kekayaan negara yang telah diambil secara tidak sah oleh para pelaku kejahatan yang karena sesuatu dan lain hal mereka para pelaku kejahatan tersebut tidak dapat diproses secara hukum pidana, sedangkan aset hasil kejahatan mereka berserakan di sana sini.
Sangat disayangkan sampai saat ini permintaan presiden ke-7 tersebut tidak mendapat sambutan dan respon positif dari DPR, namun kesan yang nampak justru diabaikan dan tidak diacukan. Saat ini tuntutan pembahasan dan pengundangan RUU Perampasan Aset kembali menggeliat dan dituntut masyarakat, bahkan ada yang mengusulkan agar diterbitkan perpu tentang Perampasan Aset, namun ternyata menurut Menko Hukum Pemerintah belum memandang perlu menerbitkan perpu dimaksud dengan alasan belum ada kepentingan dan kegentingan yang memaksa.
Efektifitas RUU perampasan Aset ini sangat tergantung pada faktor-faktor kandungan/muatan yang menjadi objek RUU Perampasan Aset tersebut, yang harusnya berisikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat 1 c Konvensi PBB melawan Korupsi ditambah dengan kondisi-kondisi di Indonesia yang sepadan dengan alasan diaturnya ketentuan pasal 54 ayat 1 huruf c, antara lain:
Perkara pidananya sudah diputus inkracht, namun masih ada aset yang belum disita, ketentuan ini untuk mengakomodir perkara-perkara yang nilai kerugian negaranya besar, namun aset yang berhasil diselamatkan /dirampas untuk negara masih sangat sedikit, seperti kasus korupsi Jiwasraya yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 16,8 triliun, kasus korupsi Asabri sebesar 22, 8 triliun, kasus korupsi pengelolaan kondensat di Tuban sebesar Rp 35 triliun, kasus korupsi ekspor CPO dengan kerugian sebesar Rp 6,05 triliun, kasus korupsi BTS dengan nilai kerugian Rp 8 triliun dan kasus impor dan pengolahan BBM oleh PT. Patra Niaga yang menimbulkan kerugian sebesar Rp 198 triliun per tahun. Semua kasus tersebut diatas jumlah kerugian negara yang berhasil diselamatkan (recovery sangat jauh atau sedikit jika dibandingkan dengan nilai kerugian yang terjadi)
Kemudian perkara pidananya sudah kadaluarsa, sedangkan asetnya belum disita sama sekali,
Perkara pidananya tidak dapat disidangkan karena tersangkanya sakit permanen dan tidak mungkin untuk disidangkan, sedangkan aset hasil korupsinya berserakan di sana-sini
Selanjutnya kekayaan dari penyelenggara negara atau pejabat publik atau yang tidak dilaporkan dalam LHKPN,atau dilaporkan, namun tidak dapat dijelaskan asal-usulnya.
Selain daripada itu di dalam RUU Perampasan Aset ini juga harus diatur ketentuan Pembalikan Beban Pembuktian (Reversed Burden of Proof) berikut hukum acaranya. Selanjutnya perlu juga diatur tentang sistem pembuktian yang dianut, hendaknya tidak sesulit sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Secara Negatif (Negative Wettelijk Bewijstheorie/Beyond Reasonable Doubt) seperti sistem pembuktian yang dianut KUHAP. Juga tidak seformal sistem pembuktian dalam hukum perdata yang mengedepankan bukti formal seperti kepemilikan sertifikat atas tanah atau lahan, melainkan menggunakan sistem pembuktian Balance Probability Principle (pembuktian secara seimbang berdasarkan kemungkinan/prinsiip Kesimbangan Probabalitas). Yaitu sistem pembuktian yang pada dasarnya menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya peristiwa tersebut lebih besar daripada kemungkinan tidak terjadinya atau dengan kata lain lebih mungkin terjadinya daripada tidak terjadi; atau bisa juga menggunakan sistem Preponderance of evidence, yaitu standar pembuktian yang digunakan dalam analisis beban pembuktian, dengan standar ini beban pembuktian terpenuhi ketika pihak yang memiliki beban pembuktian meyakinkan pencari fakta bahwa ada peluang lebih dari 50 persen bahwa klaim tersebut benar.
Selain daripada itu perlu juga diatur lembaga yang mempunyai kewenangan mengelola aset-aset yang menjadi objek RUU Perampasan Aset ini mulai dari penyimpanan, pengelolaan, termasuk menyewakan atau menjadikannya objek kerjasama dengan pihak ketiga, melelang dan memanfaatkan aset tersebut untuk kepentingan negara. Penunjukan Lembaga Pengelola Aset dengan kewenangan yang jelas seperti diatas sangatlah diperlukan dalam rangka menjaga nilai ekonomis dan manfaat aset-aset tersebut, bayangkan jika aset yang dirampas tersebut berupa perkebunan, pabrik, kapal yang memerlukan biaya perawatan dan pengelolaan dengan dana yang besar, tidak dikelolah dengan baik tentu akan menimbulkan kerugian dan tujuan dirampasnya aset-aset hasil kejahatan tersebut tidak akan tercapai.
Hal lain yang tak kalah pentingnya hal lain yang perlu diatur dalam RUU Perampasan Aset tersebut yaitu dijadikannya aset-aset yang akan dirampas tersebut merupakan subjek hukum, dalam hal ini yang digunakan adalah pendekatan perampasan aset dengan model in Rem (tindakan hukum dimana Jaksa Pengacara Negara melawan aset itu sendiri sebagaimana yang berlaku di Amerika, bukan terhadap individu (in personam).
Tanpa mengakomodir hal-hal tersebut sebagai bagian dari hal or in other appropriate (atau terhadap kasus-kasus yang sepadan) seperti yang tercantum pada pasal 54 ayat 1 huruf c konvensi PBB melawan Korupsi, maka dikhawatirkan Undang-undang Perampasan Aset tersebut tidak akan efektif.