Pasar Nikel Bergejolak Usai Indonesia Tutup Tambang di Raja Ampat

9 hours ago 6

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Dalam laporannya, perusahaan keuangan EBC Financial Group menyebut keputusan pemerintah Indonesia mencabut izin tambang di Raja Ampat menjadi sorotan global. Bukan hanya soal komitmen lingkungan, tetapi juga dampaknya terhadap pasar nikel dunia.

Sebagai penghasil nikel terbesar, Indonesia menguasai sekitar 51 persen pasokan nikel global. Namun, pencabutan empat izin tambang di kawasan konservasi laut yang dilindungi UNESCO memicu ketidakpastian baru. EBC mencatat, langkah ini mendapat dukungan luas dari kelompok lingkungan yang menilai Raja Ampat harus bebas dari ancaman eksploitasi tambang.

Meski demikian, di luar zona perlindungan, satu proyek besar tetap berjalan. Sementara itu, perusahaan yang izinnya dicabut mulai menempuh jalur hukum demi membatalkan keputusan tersebut. Para pelaku pasar kini mencermati potensi efek berantai terhadap pasokan dan harga nikel, komoditas krusial dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik dunia.

“Kasus Raja Ampat menunjukkan semakin kuatnya keterkaitan antara faktor ESG, kepentingan masyarakat lokal, dan dinamika pasar global,” kata CEO EBC Financial Group (UK) Ltd, David Barrett, dalam pernyataannya, Selasa (3/7/2025).

Barrett mengatakan, bagi pelaku pasar dan investor, pencabutan izin tambang nikel ini menjadi peringatan bahwa pasar komoditas, terutama di sektor strategis seperti nikel, sangat rentan terhadap tekanan kebijakan lingkungan. Ia menilai, kebijakan ini mencerminkan pergeseran Indonesia menuju tata kelola lingkungan yang lebih ketat.

Menurut Barrett, sinyal ini penting bagi investor yang mencermati arah kebijakan jangka panjang di sektor komoditas. “Trader perlu waspada, bukan hanya terhadap volatilitas harga komoditas, tetapi juga dampaknya terhadap rupiah, pasar saham, dan profil risiko ESG Indonesia secara keseluruhan,” katanya.

Ia menilai, reli harga nikel belakangan ini dapat menutupi risiko volatilitas yang lebih dalam, terutama jika ketidakpastian hukum dan kebijakan terus bergulir dan mengganggu ekspektasi pasokan. Sebagai penyumbang sekitar 6,8 persen dari total ekspor nasional pada 2024, nikel memainkan peran penting dalam surplus dagang Indonesia.

Penurunan produksi akibat pencabutan izin dapat menekan pendapatan ekspor, memberi tekanan tambahan pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan memperlebar defisit transaksi berjalan. Bagi trader, kondisi ini berarti menghadapi dua sisi risiko: gejolak jangka pendek di pasar valuta asing, serta potensi perubahan asumsi kebijakan moneter dalam jangka menengah.

EBC mencatat, berdasarkan data Investing News Network, harga nikel sempat menyentuh titik terendah dalam lima tahun pada kuartal I 2025—turun hingga di bawah 15.000 dolar AS per metrik ton, dipicu kelebihan pasokan dari Indonesia dan kekhawatiran atas tarif dari Amerika Serikat. Meski kini harga kembali naik ke kisaran 16.700 dolar AS per ton, pergerakan ini mencerminkan betapa sensitifnya pasar terhadap guncangan pasokan dan kebijakan pemerintah.

Langkah Indonesia menutup tambang di Raja Ampat menambah lapisan ketidakpastian, bukan sekadar soal volume produksi, tetapi juga soal kepercayaan investor dan kejelasan arah regulasi. Jika sengketa hukum meluas atau terjadi pengurangan pasokan lebih lanjut, pasar bisa merespons secara agresif dan memicu lonjakan harga berikutnya.

Dengan meningkatnya pengawasan dari dana global berbasis ESG terhadap sumber nikel, EBC menekankan pentingnya trader memantau perkembangan pasar sekaligus sinyal politik, karena keduanya akan menjadi penentu utama arah harga ke depan.

EBC mengungkapkan, sepanjang 2024, Indonesia memproduksi sekitar 2,2 juta metrik ton nikel olahan—lebih dari separuh total pasokan global. Dominasi ini menempatkan Indonesia sebagai pemain paling berpengaruh di pasar nikel dunia.

Artinya, setiap gangguan pasokan dari Indonesia berdampak langsung terhadap rantai pasok global, terutama untuk industri baterai kendaraan listrik dan manufaktur baja nirkarat, yang hingga kini masih menyerap lebih dari dua pertiga permintaan nikel global.

Meski permintaan jangka panjang terus didorong oleh produksi baterai, kebutuhan terbesar terhadap nikel saat ini tetap berasal dari sektor baja nirkarat. Sekitar 75 persen jenis baja nirkarat membutuhkan nikel untuk menjaga struktur alloy-nya tetap stabil.

Nikel menjadi bahan vital bagi industri berat, mulai dari otomotif, konstruksi, makanan dan minuman, alat kesehatan, minyak dan gas, hingga kedirgantaraan dan infrastruktur energi.

Gangguan pasokan yang berkepanjangan dari Indonesia berpotensi memperketat ketersediaan global, meningkatkan biaya produksi, memperlambat laju industri, dan memicu tekanan inflasi di sektor komoditas industri secara lebih luas.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |