Peneliti Dorong Pelibatan Masyarakat untuk Percepat Transisi Energi

4 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Para peneliti mendesak pemerintah melibatkan masyarakat dalam pengambilan kebijakan dan implementasi transisi energi berkeadilan. Desakan ini didorong semakin seringnya konflik yang terjadi, baik antara pemerintah dengan masyarakat maupun antar masyarakat, ketika terjadi pengembangan proyek energi terbarukan di wilayah mereka.

Menurut para peneliti, konflik semakin rentan terjadi lantaran menguatnya polarisasi di negara-negara Global South. Polarisasi merujuk pada perpecahan kelompok masyarakat karena perbedaan yang mendalam terutama dalam hal kepercayaan, agama, dan etnis, akibat dari pewacanaan dan kebijakan transisi energi yang tidak melibatkan masyarakat secara bermakna.

Para peneliti menilai kondisi ini menciptakan tantangan baru dalam perumusan dan implementasi kebijakan lingkungan dan transisi energi. Hal ini menjadi sorotan utama di salah satu sesi forum bertajuk “Polarization and Its Discontents in the Global South: Mitigation Measures, Strategies, and Policies”, yang membahas akar dan dampak perpecahan di masyarakat, serta pihak yang diuntungkan dari polarisasi yang terjadi.

Diskusi yang digelar Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) pada 25-26 April 2025 di Universitas Gajah Mada (UGM) ini menghadirkan pakar dari Kolombia, Brasil, Inggris, Malaysia, Indonesia, dan Afrika Selatan.

“Wacana elit dan kebijakan transisi energi lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan energi listrik, serta transisi dari energi kotor dan mematikan ke energi terbarukan," kata Anggota Majelis Konsorsium ICRS Samsul Maarif, dalam pernyataannya, Senin (28/4/2025).

Samsul menjelaskan, bagi masyarakat lokal yang berpotensi terdampak pembangunan proyek energi terbarukan, energi mencakup seluruh dimensi kehidupan, seperti kebutuhan lahan pertanian, air, udara bersih, hingga harmoni sosial.

Ia menegaskan pendekatan holistik yang melibatkan  dan memperlakukan masyarakat sebagai subyek transisi energi, adalah syarat mutlak jika gagasan transisi energi adalah untuk keadilan.

Polarisasi tidak hanya terjadi pada proyek energi fosil, tetapi juga energi terbarukan. Salah satunya proyek panas bumi di Gunung Tampomas, Sumedang, Jawa Barat yang diangkat melalui film berjudul “Di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor”.

Film tersebut memperlihatkan bagaimana penetapan Gunung Tampomas sebagai Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP), justru menimbulkan konflik sosial bagi masyarakat sekitar. Dalam kasus ini, polarisasi terjadi lantaran masyarakat menemukan bukti sebaliknya dari klaim panas bumi sebagai energi bersih yang digaungkan pemerintah.

“Pemerintah menyebutnya energi bersih, tapi bagi masyarakat di kaki gunung yang kehilangan sumber air, sawah, dan hutan adatnya, ini tetap bentuk perampasan ruang hidup,” kata warga Desa Cilangkap, Buahdua, Sumedang, Eme.

Perwakilan masyarakat dari berbagai daerah, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Sumatera, Sulawesi Selatan, dan lain-lainnya juga bersatu menolak proyek panas bumi. Mereka merasa proyek ini justru menyebabkan krisis air, pencemaran lingkungan, hingga risiko kesehatan serius akibat kebocoran gas hidrogen sulfida (H₂S).

Menurut policy strategist CERAH Al Ayubi, transisi energi setidaknya harus memenuhi tiga aspek, yakni bersih, adil, dan inklusif. Proyek energi terbarukan tidak akan berkelanjutan jika mengabaikan suara masyarakat adat dan lokal. Ia menekankan tanpa keadilan sosial, transisi energi hanya akan menjadi alat baru bagi ketimpangan sosial.

“Tak hanya itu, konflik yang terus terjadi lantaran tidak adanya pelibatan masyarakat dalam pengembangan energi terbarukan, justru akan menghambat konstruksi proyek, baik dari aspek waktu maupun biaya, bahkan membuat proyek batal dilaksanakan. Hal ini, lagi-lagi justru akan membuat transisi energi Indonesia jalan di tempat,” kata Ayubi.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |