Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Sejarah | 2025-02-25 07:02:21

Pendahuluan
Kebijakan politik Kaisar Yung Lo dari Dinasti Ming (1363–1644 M) yang mengutus Laksamana Laut Cheng Ho (Zheng He) dalam misi diplomatik besar ke luar negeri menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah hubungan antara Cina dan dunia Islam. Dalam perjalanan panjangnya, Cheng Ho tidak hanya dikenal sebagai seorang diplomat dan jenderal, tetapi juga sebagai simbol perdamaian, pertukaran kebudayaan, dan penyebaran agama Islam.[1]
Salah satu pertanyaan yang muncul adalah:
1. Mengapa Kaisar Yung Lo, yang memimpin Dinasti Ming, memilih Cheng Ho, seorang Muslim, untuk memimpin ekspedisi besar ini?
2. Apa pengaruhnya terhadap penyebaran Islam di Nusantara?
3. Apakah hal ini menandakan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui jalur Cina?
Pembahasan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan menelusuri kebijakan politik Kaisar Yung Lo, peran Cheng Ho dalam penyebaran Islam, serta dampaknya terhadap komunitas Muslim di Nusantara.
Biografi dan Latar Belakang Cheng Ho
Laksamana Cheng Ho lahir pada tahun 1371 di Yunnan, Tiongkok, dalam keluarga Muslim yang berasal dari etnis Hui. Keluarga Cheng Ho memiliki silsilah yang dapat ditelusuri hingga keturunan Mongol, Arab, dan Persia.[2]
Ayah dan kakeknya adalah Muslim yang taat dan telah menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kondisi keluarganya yang taat ini mempengaruhi Cheng Ho sejak masa kecil untuk tertarik pada perjalanan lintas budaya dan dunia luar.
Namun, hidup Cheng Ho berubah drastis ketika kampung halamannya diserang oleh pasukan Dinasti Ming. Ia pun ditawan oleh pasukan Ming, dikebiri, dan dijadikan pelayan di keluarga Zhu Di, yang kelak menjadi Kaisar Ming.
Kendati ia mengalami penderitaan di masa kecilnya, Cheng Ho tidak hanya bertahan, tetapi justru berkembang pesat dalam seni kemiliteran. Setelah Zhu Di berhasil merebut takhta pada tahun 1402, Cheng Ho diangkat sebagai kepala pelayan istana dan kemudian menjadi utusan utama dari Dinasti Ming.
Posisi ini memberikan kesempatan bagi Cheng Ho untuk memimpin pelayaran-pelayaran besar. Dalam pelayaran inilah, ia dapat menjelajahi berbagai belahan dunia, termasuk Nusantara, yang kelak membawa dampak besar dalam penyebaran Islam di kawasan ini.
Kebijakan Politik Kaisar Yung Lo terhadap Islam
Kaisar Yung Lo, yang memerintah Dinasti Ming pada abad ke-15, terkenal dengan kebijakan diplomatiknya yang mengutamakan hubungan baik dengan negara-negara di luar Cina, terutama dunia Muslim. Salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah penunjukkan Cheng Ho yang beragama Islam untuk memimpin ekspedisi maritim besar yang dikenal sebagai kunjungan muhibah (1405–1431 M).
Dalam ekspedisi ini, Cheng Ho membawa armada besar yang terdiri dari 62 kapal dan sekitar 27.000 pasukan Muslim Cina. Misi diplomatik ini bukan hanya bertujuan untuk memperkenalkan kekuatan dan kebesaran Dinasti Ming, melainkan juga untuk menunjukkan kepada dunia Islam bahwasanya Cina memiliki komunitas Muslim yang besar dan dihormati oleh pemerintahannya.
Kebijakan ini mencerminkan rasa simpati dan toleransi besar Kaisar Yung Lo terhadap Islam. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa Cina mengakui keberagaman agama yang ada di wilayahnya dan memberikan kebebasan beragama pada masa itu, termasuk bagi umat Islam.
Tindakan ini sangat kontras dengan kebijakan penjajahan Portugis dan Spanyol pada abad ke-16, yang sering kali melibatkan pemaksaan agama melalui penaklukan dan penindasan. Sebaliknya, Cheng Ho tidak datang dengan tujuan imperialisme atau penjajahan, tetapi dengan semangat perdamaian dan kerja sama antarbangsa, yang memberi dampak positif terhadap perkembangan Islam di berbagai wilayah yang ia kunjungi, termasuk Nusantara.
Pelayaran Besar dan Diplomasi Cheng Ho
Cheng Ho melaksanakan tujuh pelayaran besar antara tahun 1405 dan 1433. Pelayaran ini tidak hanya bertujuan untuk berdagang, tetapi juga untuk menunjukkan kekuatan dan pengaruh Dinasti Ming, serta membangun hubungan diplomatik dengan berbagai kerajaan di Asia Tenggara, India, dan bahkan Afrika Timur.
Salah satu aspek yang membuat perjalanan Cheng Ho begitu monumental adalah ukuran armadanya yang luar biasa besar. Armadanya terdiri atas lebih dari 200 kapal dan awak yang berjumlah sekitar 27.000 orang.
Pelayaran yang begitu besar ini melibatkan berbagai profesi, seperti ahli pelayaran, penerjemah, tentara, dan tenaga medis, yang memungkinkan interaksi lintas budaya dan pertukaran pengetahuan di berbagai wilayah yang disinggahi.
Sebagai seorang Muslim, Cheng Ho membawa ajaran Islam ke tempat-tempat yang ia singgahi, terutama di kepulauan Nusantara. Dalam perjalanannya, selain berdagang dan membangun hubungan diplomatik, Cheng Ho juga aktif dalam memperkenalkan Islam kepada masyarakat lokal.
Kehadiran Cheng Ho dan rombongannya di kawasan ini turut mempererat hubungan antara masyarakat Muslim Tionghoa dengan masyarakat lokal, baik dalam aspek keagamaan, politik, maupun sosial.
Peran Laksamana Cheng Ho dalam Penyebaran Islam
Laksamana Laut Cheng Ho memainkan peran yang sangat signifikan dalam penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di daerah pesisirnya yang sudah memiliki komunitas Muslim.
Dalam perjalanan ekspedisinya, Cheng Ho mengunjungi berbagai kerajaan di Nusantara, seperti Kesultanan Samudra Pasai, Palembang, Pulau Bangka, Sunda Kalapa (sekarang Jakarta), Cirebon, Tuban, Gresik, dan Surabaya. Di beberapa tempat tersebut, Cheng Ho turut berkontribusi dalam pembangunan infrastruktur yang mendukung perkembangan komunitas Muslim, seperti masjid dan mercusuar.
Di Cirebon, misalnya, Cheng Ho berperan dalam pembangunan mercusuar yang membantu pelayaran kapal-kapal perdagangan di sepanjang pantai utara Jawa. Di Semarang, ia turut mendirikan Masjid Sam Po Kong, yang pada akhirnya menjadi kelenteng.
Kendati pada awalnya Masjid Sam Po Kong dibangun sebagai tempat ibadah umat Islam, pengaruh budaya Cina di masjid ini membentuk sebuah tempat yang juga dihormati oleh masyarakat Cina yang belum memeluk Islam, sehingga membangun hubungan harmonis antara berbagai kelompok agama di kawasan tersebut pada masa itu.
Tidak hanya sebatas pembangunan infrastruktur, kontribusi Cheng Ho terhadap dakwah Islam di Nusantara juga terlihat melalui segala bantuan yang ia berikan dalam mewujudkan keamanan dan stabilitas di wilayah pesisir.
Ia membantu menumpas perompak Cina yang sering mengganggu jalur pelayaran di perairan Indonesia, sehingga mempermudah jalur perdagangan dan komunikasi antarkerajaan di Nusantara dengan dunia luar, terutama dengan Cina dan dunia Muslim.
Islam Masuk ke Nusantara Melalui Cina?
Salah satu pertanyaan penting yang muncul adalah apakah kedatangan Laksamana Cheng Ho, dengan pasukan Muslim Cina yang besar, dapat dianggap sebagai bukti bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui Cina?
Beberapa sejarawan berpendapat bahwa kedatangan Cheng Ho dengan pasukan Muslim dapat dilihat sebagai salah satu jalur masuknya Islam ke Nusantara, selain jalur perdagangan dan dakwah dari India dan Timur Tengah. Namun, perlu dicatat bahwa, meskipun Cheng Ho dan pasukannya beragama Islam, misi mereka di Nusantara lebih banyak berfokus pada tujuan diplomatik, perdagangan, dan pembentukan hubungan baik antarkerajaan. Mereka tidak datang dengan tujuan invasi atau penjajahan, tetapi dengan semangat untuk menjaga keamanan dan mempromosikan perdamaian.
Selain itu, meskipun Cheng Ho memiliki pengaruh besar dalam mendirikan berbagai masjid dan mercusuar, kontribusinya terhadap dakwah Islam di Nusantara lebih terlihat sebagai bagian dari proses integrasi kebudayaan dan keagamaan antara Cina dan Nusantara. Islam yang dibawa oleh Cheng Ho lebih bersifat organik, tumbuh dari akar-akarnya di masyarakat pesisir Nusantara yang sudah mulai terhubung dengan dunia Islam melalui jalur perdagangan.
Salah satu pelabuhan penting yang disinggahi oleh Cheng Ho adalah Pelabuhan Muara Jati di Cirebon. Cirebon pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Singhapura, yang masih merupakan bagian dari Kerajaan Galuh. Berdasarkan catatan sejarah yang dipaparkan oleh Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran (Unpad), Nina Herlina, dinukil dari Republika Online, Cheng Ho singgah di Muara Jati selama tujuh hari tujuh malam pada salah satu pelayaran besarnya dengan membawa armada yang sangat besar berjumlah 73 kapal, masing-masing dengan panjang 120 meter dan lebar 50 meter. Dalam perjalanan ini, Cheng Ho tidak hanya mengisi perbekalan dan air bersih, tetapi juga membawa dua mubalig yang kelak memiliki pengaruh besar dalam penyebaran Islam di Jawa Barat.
Di antara para mubalig yang dibawa oleh Cheng Ho dalam ekspedisi ini, terdapat dua tokoh yang sangat berpengaruh di Jawa Barat adalah Syekh Quro dan Syekh Nurjati.[3]
Syekh Quro, yang ditempatkan di Cirebon, kemudian melanjutkan perjalanan ke Karawang dan mendirikan pesantren pertama di Jawa Barat, yang dikenal dengan nama Pesantren Syekh Quro. Pesantren ini menjadi pusat pendidikan Islam yang sangat penting di wilayah tersebut.
Di sisi lain, Syekh Nurjati menetap di Cirebon dan mulai mengembangkan dakwah Islam secara lebih luas. Beliau juga menjadi guru dari tokoh penting dalam sejarah Islam di Indonesia, yaitu Raden Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran. Raden Walangsungsang kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, merupakan salah satu anggota Wali Songo, sekelompok wali yang sangat berpengaruh dalam proses Islamisasi di Jawa.
Islam di Cina dan Dampaknya terhadap Komunitas Muslim di Nusantara
Peran Cheng Ho dalam membangun masjid dan mercusuar, serta membantu menstabilkan jalur perdagangan, tidak hanya memperkuat pengaruh Islam di Nusantara tetapi juga memberi dampak positif terhadap komunitas Muslim di Cina pada masa itu.
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, seorang wirausahawan Muslim, Sayyid Ali Akbar, yang tinggal di Peking, melaporkan bahwa di kota Kenyafu saja terdapat sekitar 30.000 keluarga Muslim. Di seluruh Cina, tercatat sekitar 90 masjid yang dibangun dengan dana dari Kaisar, yang menunjukkan perhatian besar pemerintah Dinasti Ming terhadap umat Islam.
Kebijakan ini memungkinkan umat Islam di Cina untuk berkembang dan memperoleh kemakmuran, serta mereka tidak dibatasi dalam menjalankan ibadah atau dalam aspek sosial lainnya.[4]
Islam di Cina pada masa itu memiliki posisi yang sangat kuat, baik dalam hal jumlah umat maupun pengaruh sosial-politiknya. Hal ini tentu saja turut mempengaruhi perkembangan Islam di wilayah-wilayah yang dijelajahi oleh Cheng Ho, termasuk Nusantara, yang merupakan tempat tujuan utama dari ekspedisi tersebut.
Kendati ada sementara pendapat sejarawan yang menyatakan bahwa Cheng Ho tidak terlibat langsung dalam penyebaran Islam, Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, menyatakan bahwa beberapa anggota pasukannya, seperti Wang Jinghong, kemungkinan besar berperan aktif, bahkan langsung, dalam dakwah Islam di Nusantara.
Asvi juga menambahkan bahwa keberadaan komunitas Tionghoa Muslim di Tuban, yang disebutkan oleh catatan sejarah Ma Huan, menunjukkan bahwa sudah ada orang Islam di Nusantara sebelum kedatangan armada Cheng Ho. Oleh karena itu, penyebaran Islam di Nusantara mungkin merupakan hasil dari berbagai faktor dan tidak dapat sepenuhnya dipertanggungjawabkan pada satu individu atau peristiwa.[5]
Perbandingan dengan Misi Katolik Portugis dan Spanyol
Kunjungan Laksamana Laut Cheng Ho sangat berbeda dengan motivasi kedatangan Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol di Asia Tenggara pada abad ke-16. Misi Portugis dan Spanyol lebih berfokus pada penaklukan, penjajahan, dan usaha reconquista atau penaklukan kembali wilayah-wilayah yang telah dikuasai umat Islam.
Mereka berusaha untuk menggantikan Islam dengan agama Katolik melalui pemaksaan dan kekerasan. Sebaliknya, misi Cheng Ho adalah murni untuk diplomasi dan kerja sama, dengan tujuan untuk mengembangkan hubungan yang damai, terutama di wilayah pesisir Nusantara, yang menjadi pintu gerbang penting bagi perdagangan antara Cina dan dunia Islam.
Cheng Ho dan pasukannya tidak melakukan penaklukan, tetapi lebih berfokus pada membangun hubungan yang harmonis, membantu perkembangan ekonomi, serta memfasilitasi penyebaran Islam melalui jalur yang lebih damai dan kooperatif. Hal ini membedakan misi Cheng Ho dengan ekspansi kolonial Eropa yang sering disertai dengan eksploitasi dan pemaksaan agama.
Prinsip Penyebaran Islam dengan Damai
Salah satu aspek yang sangat ditekankan oleh Yuanda Zara—sejarawan Muhammadiyah—terhadap penjelajahan dan penyebaran Islam yang dilakukan oleh Cheng Ho adalah prinsip-prinsip perdamaiannya. Sebagai utusan Dinasti Ming, Cheng Ho memiliki misi diplomatik yang kuat untuk membangun hubungan yang harmonis antara Cina dan negeri-negeri lain, termasuk di Asia Tenggara.
Dalam hal ini, penyebaran Islam yang dilakukan oleh Cheng Ho sangat berbeda dengan pendekatan kekerasan atau konfrontatif yang sering terjadi dalam sejarah penyebaran agama.
Zara mengutip pandangan Kong Yuanzhi, seorang sejarawan dari Universitas Peking, yang menyatakan bahwasanya penyebaran Islam yang dilaksanakan oleh Cheng Ho adalah dilakukan secara damai dan tanpa paksaan. Hal ini terbukti dari cara para utusan Cheng Ho menyebarkan agama di tempat-tempat yang mereka kunjungi dengan memfasilitasi pembangunan masjid dan mendukung aktivitas keagamaan Islam.
Penyebaran Islam yang dilakukan dengan pendekatan damai ini memungkinkan Islam diterima dengan baik oleh masyarakat lokal. Kondisi demikian ini, di kemudian hari memperkuat hubungan antara komunitas Muslim Tionghoa dan masyarakat setempat.
Referensi
[1] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, ed. oleh Nia Kurniawati, Anni Rosmayani, dan Rakhmat Gumilar, Rev., Api Sejarah (Bandung: Suryadinasti, 2014), https://books.google.co.id/books?id=0AMxDwAAQBAJ.
[2] Muhammad Yuanda Zara, “Laksamana Cheng Ho: Menjelajah Dunia, Menyebarkan Islam,” Suara Muhammadiyah, 2017, https://web.suaramuhammadiyah.id/2019/10/02/laksamana-cheng-ho-menjelajah-dunia-menyebarkan-islam/.
[3] Lilis Srihandayani, “Laksamana Cheng Ho, Cina Pertama Sebarkan Islam di Jabar,” Republika Online, 27 November 2018, https://www.republika.co.id/berita/pit9zy366/laksamana-cheng-ho-cina-pertama-sebarkan-islam-di-jabar.
[4] Nurhadi Sucahyo, “Menjadi Nama Sejumlah Masjid, Benarkah Cheng Ho Seorang Muslim?,” VOA Indonesia, 2 Juni 2021, https://www.voaindonesia.com/a/menjadi-nama-sejumlah-masjid-benarkah-cheng-ho-seorang-muslim-/5913473.html.
[5] Aryono, “Islamisasi ala Cheng Ho,” Historia, 20 November 2017, https://historia.id/agama/articles/islamisasi-ala-cheng-ho-vxGa5/.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.