Penghinaan Kiai dan Hilangnya Kepekaan Kultural

20 hours ago 8

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Trans7 menyentuh sisi paling sensitif dalam dunia pesantren. Yang diusik adalah kehormatan kiai. Sangat berani, terlepas dari semua itu dengan atau tanpa kalkulasi. Apalagi bahan konten tayangan diambil dari potongan-potongan video amatir entah dari mana, kemudian dinarasikan secara serampangan dengan intonasi yang menguatkan kesan mengejek dan merendahkan.

Saya tidak tahu apakah produser tahu bahwa video yang dijadikan objek konten itu adalah Pondok Pesantren Lirboyo dan KH Anwar Manshur. Yang pasti, pembuatan konten program seperti itu tentu terencana. Artinya, ada waktu untuk menimbang segala konsekuesi sebelum tampil di layar kaya. Tapi saya tak tahu juga apakah konsekuensi itu dikalkulasi atau paling tidak dipikirkan. Jika tidak, sembrono namanya. Jika sadar dan disengaja, ini bisa beda cerita.

Kini, semua sudah terjadi dan bergulir liar. Para santri di seluruh Nusantara sudah kadung terluka. Luka yang lebar ini tak akan sembuh dalam waktu dekat atau sekejap. Bagi masyarakat pesantren, tayangan Trans7 itu tidak lagi sekadar kekeliruan editorial. Mereka akan melihat produk tersebut sebagai bentuk pelecehan simbolik terhadap pesantren sekaligus kiai.

Dalam dunia pesantren, santri dengan kiai bukan tentang raja dan sahaya, apalagi relasi transaksional seperti narasi 'amplop' dalam tayangan. Santri dan kiainya terikat dalam relasi moral dan spiritual yang amat dalam. Santri memberi penghormatan kepada kiainya karena ilmu. Tapi, haruskah sampai ngesot untuk mencium tangan? Setidaknya, para santri belajar adabul 'alim wal muta'allim, kitab tentang etika orang berilmu dan pencari ilmu, keutamaan ilmu, keutamaan belajar dan mengajarkannya, serta adab untuk mendapatkannya.

Penghormatan terhadap kiai bukanlah ekspresi ketundukan membuta. Ia adalah laku adab, bagian dari tradisi ta’dzim yang menjadi ruh pendidikan Islam klasik. Santri menunduk, mencium tangan, bahkan berjalan jongkok atau bahkan ngesot di hadapan kiai bukan karena kiai dianggap lebih tinggi secara sosial. Itu adalah simbol penghormatan terhadap ilmu.

Ketidakmampuan dalam memahami konteks sosial dan budaya di pesantren inilah yang menjadikan produk tayangan tentang kiai dan pondok pesantren itu menjadi dangkal dan bias. Semua diukur menggunakan logika modernitas dan rasionalitas material. Maka tak jarang dunia modern justru salah kaprah memahami sistem nilai di pesantren bekerja. Penilaian lebih banyak dilihat dari sesuatu yang sekadar tampak mata. Di sini, mereka tergesa-gesa dalam membingkai realitas.

Pesantren berdiri di atas pondasi nilai-nilai adab. Hormat kepada guru atau kiai adalah manifestasi dari relasi spiritual sebagai bentuk pengabdian santri menggapai barokah dalam tholabul ilmi. Dan jangan lupa, santri 24 jam di pesantren. Dalam tidur dan terjaganya, mereka sedang berada dalam 'kurikulum' kehidupan. Jika pesantren hanya dilihat secara parsial, jangan kaget kalau yang terpotret sekadar cerminan rasionalitas kaku. Artinya, kesalahan dalam memahami pesantren bahkan sudah terjadi sejak sebelum memakai kacamata.

Tetapi, permintaan maaf dari Trans7 telah disampaikan secara terbuka. Kita perlu menghormati langkah itu. Tapi, momentum ini harus menjadi sebuah introspeksi bersama. Media kini tak cukup hanya berperan sebagai sumber informasi, apalagi sekadar alat hiburan. Dalam konteks masyarakat multikultural seperti Indonesia, haram hukumnya bagi media sampai merobek kohesi sosial.

Semua perlu memiliki kepekaan kultural dan wawasan kebangsaan. Menyajikan konten tentang pesantren tidak bisa dilakukan dengan logika rating saja. Ia membutuhkan kedalaman dan pemahaman terhadap nilai-nilai di tengah komunitas santri dan pesantren secara umum. Sekali lagi, semata agar tak terulang kegaduhan yang mengoyak dan melukai hati jutaan santri.

Dunia pesantren bukan buntut sapi yang bisa dipotong-potong untuk dijadikan bahan baku perundungan tentang kejumudan, penghambat modernitas, feodalistik, atau narasi minor lainnya. Pesantren harus diselami dari nilai dan tradisi luhur yang terbukti sejak ratusan tahun lalu masih relevan hingga kini, baik sebagai lembaga pendidikan maupun lembaga keagamaan.

Kesalahan dalam memahami tradisi bisa menimbulkan luka sosial yang dalam. Pesantren adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa ini. Dari dinding-dinding surau dan langgar, dari kesederhanaan para kiai dan santri, lahir semangat cinta Tanah Air yang tulus. Maka, menjaga marwah pesantren berarti menjaga ruh keindonesiaan itu sendiri.

Di balik kesederhanaan santri yang lahir dari rahim pesantren-pesantren di nusantara, kita semua bisa belajar tentang makna hormat, keikhlasan, pengabdian, dan welas asih. Nilai-nilai itu yang kini semakin langka di tengah riuhnya modernisasi. Dan diam-diam, kita ternyata merindukannya di relung paling dalam.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |