
REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – DPRD Kabupaten Pati telah menyetujui hak angket dan pembentukan pansus soal pemakzulan Bupati Pati, Sudewo.
Keputusan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Pati yang digelar usai aksi demonstrasi menuntut pengunduran diri Sudewo berlangsung ricuh, Rabu.
"Mencermati kondisi di masyarakat dan banyaknya warga yang terluka, kami sepakat mengambil hak angket dan membentuk pansus," kata Ketua DPRD Kabupaten Pati Ali Badrudin, dilansir Republika.
Usulan hak angket dan pansus soal pemakzulan Sudewo disepakati seluruh fraksi di DPRD Kabupaten Pati, mulai PDI Perjuangan, PPP, PKB, PKS, Partai Demokrat, hingga Partai Golkar.
Bahkan Partai Gerindra, partainya Sudewo, juga menyetujui usulan tersebut. Perwakilan demonstran yang mengikuti rapat paripurna menyambut gembira keputusan itu.
Lalu, bagaimana mekanisme pemakzulan atau pemberhentian kepala daerah?
Proses pemakzulan kepala daerah, mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Dalam UU Pemda, di Pasal 78 ayat (1), ada tiga hal yang bisa menjadikan kepala daerah berhenti. Yaitu, meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan.
Adapun di Pasal 78 ayat 2 UU Pemda, kepala daerah dapat diberhentikan karena sembilan hal, berikut ini:
Berakhir masa jabatannya.
Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan.
Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah.
Tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b;
Melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j.
Melakukan perbuatan tercela.
Diberi tugas jabatan tertentu oleh Presiden yang dilarang untuk dirangkap oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menggunakan dokumen dan/atau keterangan palsu sebagai persyaratan saat pencalonan kepala daerah/wakil kepala daerah berdasar pembuktian dari lembaga yang berwenang menerbitkan dokumen;
Dan/atau mendapatkan sanksi pemberhentian.
Selanjutnya di Pasal 79 UU Pemda, diatur juga tentang pemakzulan kepala daerah. Yang dimulai dari usulan DPRD, lalu diputuskan di rapat paripurna.
Pada Pasal 80 UU Pemda, DPRD harus menggelar rapat paripurna yang dihadiri 3/4 dari total anggota DPRD. Lalu, 2/3 dari peserta rapat paripurna harus menyetujui pemakzulan untuk memberhentikan kepala daerah.
Setelah itu, keputusan rapat paripurna diperiksa dan diadili Mahkamah Agung. Keputusan MA ini bersifat final dan mengikat.
Kalau kepala daerah terbukti melanggar sumpahnya dan telah diputus MA, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepada Menteri.
Sesuai Pasal 80 ayat (1)f UU Pemda: Menteri wajib memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota paling lambat 30 hari sejak Menteri menerima usul pemberhentian tersebut dari pimpinan DPRD.
Proses pemakzulan, jika tidak ada inisiatif dari DPRD untuk melakukan mekanisme pemberhentian, maka pemerintah pusat bisa ikut mendalami perkara tersebut.
Dalam UU Pemda, mekanisme tersebut harus melalui sidang di MA dan dapat berujung pemberhentian, jika kepala daerah terbukti melanggar. Namun, mekanisme pengambilalihan perkara pemakzulan oleh pemerintah pusat kurang pas dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi.
Puluhan Warga Terluka
Dalam konteks desakan pemakzulan Bupati Sudewo, seratusan ribu massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu memenuhi jalanan di depan Kantor Bupati Pati, Pati, Jawa Tengah, Rabu.
Mereka berunjuk rasa menuntut Sudewo mundur. Aksi itu berujung ricuh terutama saat Bupati Sudewo muncul di tengah-tengah massa dan hendak mendengarkan aspirasi demonstran.
Tapi, kehadiran Sudewo justru memicu kemarahan publik saat muncul aksi lemparan sandal dan botol plastik air minum kemasan ke arah Sudewo.
Kepolisian kemudian membubarkan aksi unjuk rasa, dan menangkap 11 demonstran yang diyakini berlaku sebagai provokator.
Dalam aksi menuntut pemakzulan Sudewo, lima peserta aksi menjadi korban gas air mata yang dilepaskan aparat Kepolisian.
Kelima warga itu menjalani perawatan di RSUD Soewondo.
Mereka dirawat karena mengalami sesak napas akibat terpapar gas air mata yang ditembakkan aparat kepolisian ketika demonstrasi berubah ricuh.
Dinkes Pati mencatat ada 64 korban luka, yang sebagian besar menjalani rawat jalan. Untuk yang rawat inap enam orang, selebihnya rawat jalan dan observasi.
Adapun korban dari pihak Kepolisian, tercatat ada tujuh hingga delapan orang. Luka yang dialami aparat seperti lebam, robek pada kulit, hingga luka di kepala.
Dari semua korban dalam aksi itu, tak ada korban jiwa yang meninggal dunia.
Taufik Hidayat