Ayu Desi Permatasari
Eduaksi | 2025-10-24 19:27:35
Sumber: https://pixabay.com/id/
Banyak orang bilang cinta itu buta. Tapi tahukah kamu bahwa kebutaan itu sebenarnya terjadi di otak kita sendiri? Saat jatuh cinta, otak melepaskan berbagai zat kimia yang membuat kita bahagia sekaligus kehilangan logika. Dalam pandangan biopsikologi, perilaku itu bukan lemah, melainkan efek alami dari cara kerja otak saat jatuh cinta.
Biopsikologi mempelajari hubungan antara otak dan perilaku. Dalam korteks cinta, otak bekerja dengan campuran kimia yang sangat kuat seperti: dopamin, oksitosin, serotonin, dan norepinefrin. Saat kita jatuh cinta, kadar dopamin meningkat dengan cepat, menciptakan rasa bahagia dan euforia. Penelitian Seshadri dkk.(2016) di Indian Journal of Endocrinology and Metabolism menjelaskan bahwa dopamin mengaktifkan sistem penghargaan otak (reward system), yang juga terlibat saat seseorang mengonsumsi makanan lezat atau obat adiktif. Maka tak heran kalau cinta bisa membuat kita “ketagihan” terhadap seseorang.
Namun cinta juga menonaktifkan sebagian wilayah otak yang bertugas untuk berpikir logis. Studi Song dkk.(2015) dalam Frontiers in Human Neuroscience menemukan bahwa orang yang sedang jatuh cinta mengalami penurunan aktivitas di korteks prefrontal, bagian otak yang berperan dalam penilaian rasional dan moral. Karena itu kita sering memandang pasangan dengan bias positif, menutup mata terhadap kekurangan, dan menilai keputusan berdasarkan emosi, bukan fakta. Otak sengaja "mengatur ulang" prioritas agar hubungan terasa aman dan menyenangkan.
Selain dopamin, hormon oksitosin juga memainkan peran besar. Hormon yang sering disebut hormon cinta ini memperkuat kepercayaan dan kedekatan emosional antarindividu. Menurut penelitian terbaru jurnal Biomedicines oleh Petersson dan Uvnäs-Moberg (2024), oksitosin bekerja sama dengan dopamin untuk mendorong perilaku kasih sayang, empati, dan komitmen. Maka, ketika kita tetap percaya pada pasangan meski sering dikecewakan, itu bukan karena bodoh melainkan karena otak sedang memproduksi oksitosin dalam jumlah tinggi.
Dari perspektif neurobiologi cinta, otak seseorang yang sedang jatuh cinta menunjukkan pola mirip dengan individu yang mengalami Kecanduan. Meta-analisis Shih dkk. (2022) di Frontiers in Psychology menemukan bahwa sistem dopaminergik mesolimbik, jalur otak yang berpartisipasi dalam sensasi senang dan motivasi yang juga aktif ketika seseorang menggunakan zat adiktif mengalami peningkatan serupa pada individu yang sedang jatuh cinta. Ini menjelaskan mengapa kehilangan pasangan dapat menimbulkan rasa “sakau” emosional; kadar dopamin turun drastis, sementara amigdala yang mengatur stres meningkat aktivitasnya. Akibatnya, patah hati benar-benar bisa terasa menyakitkan secara fisik dan psikologis.
Namun, fenomena ini juga punya sisi positif. Dalam pandangan evolusi biopsikologi, “kebodohan karena cinta” justru membantu manusia membangun jangka panjang. Seperti dijelaskan Helen Fisher (2016) dalam bukunya Anatomy of Love, sistem cinta dalam otak manusia berevolusi untuk menjaga pasangan tetap bersama demi kelangsungan spesies. Jadi, rasa kehilangan logika saat menyelamatkan sebenarnya adalah bentuk adaptasi biologis agar manusia mampu bertahan dalam hubungan sosial yang stabil.
Dengan memahami sisi ilmiah cinta, kita bisa lebih bijak dalam menghadapinya. Menjadi "kehilangan logika karena cinta” ternyata bukan tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa otak sedang bekerja untuk menciptakan koneksi emosional yang dalam. Cinta memang bisa membayangkan logika, tapi justru di sanalah letak keindahannya, perpaduan sempurna antara sains dan rasa. Jadi lain kali saat jatuh cinta, ketenangan bahwa otakmu sedang memainkan orkestra kimia yang luar biasa.
Referensi :
Seshadri, KG, dkk. (2016). Neuroendokrinologi cinta. Jurnal Endokrinologi dan Metabolisme India, 20(4), 554–559. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC4911849/
Song, H., Zou, Z., Kou, J., dkk. (2015). Perubahan otak akibat cinta: Sebuah studi fMRI dalam keadaan istirahat. Frontiers in Human Neuroscience, 9, 71. https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fnhum.2015.00071/full
Petersson, M., & Uvnäs-Moberg, K. (2024). Interaksi Oksitosin dan Dopamin—Efek pada Perilaku dalam Kesehatan dan Penyakit. Biomedicines, 12(11), 2440. https://www.mdpi.com/2227-9059/12/11/2440
Shih, HC, dkk. (2022). Dasar neurobiologis cinta: Sebuah meta-analisis. Frontiers in Psychology, 13, 9313376. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC9313376/
Fisher, H. (2016). Anatomi Cinta: Sejarah Alami Perkawinan, Pernikahan, dan Mengapa Kita Tersesat. WW Norton & Company.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

11 hours ago
6
































