REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Militer Israel memilih sandi “Gideon’s Chariot” untuk agresi militer besar-besaran terkini yang mereka lancarkan ke Gaza sejak akhir pekan lalu. Alasan pemilihan nama itu menunjukkan niatan asli Israel melakukan pembersihan etnis di Gaza.
Pada awal Mei 2025, Kabinet Keamanan Israel menyetujui rencana operasi Kereta Gideon, dengan dalih untuk mencapai kemenangan militer dan politik yang menentukan di Jalur Gaza melalui operasi tiga tahap yang terorganisir. Mereka menggunakan lima titik tekanan terhadap Hamas dalam upaya untuk memaksa mereka menerima perjanjian pertukaran tahanan dan membongkar infrastruktur militernya.
Tentara Israel mulai melaksanakan rencana tersebut dengan memanggil puluhan ribu tentara cadangan. Operasi tersebut bertujuan untuk menduduki seluruh Jalur Gaza, menurut laporan resmi Otoritas Penyiaran Israel pada 5 Mei 2025.
Merujuk Aljazirah, operasi ini disebut "Merkavot Gideon" dalam bahasa Ibrani, yang berarti "Kereta Gideon", dan memiliki konotasi agama, sejarah, dan militer. Israel sebelumnya menyebut salah satu operasinya selama Nakba pada 1948 sebagai “Operasi Gideon”, yang bertujuan untuk menguasai wilayah Beit She’an di Palestina dan mengusir penduduknya.
Penamaan operasi "Kereta Gideon" sebagai perluasan perang di Gaza menunjukkan apa yang ingin diterapkan oleh pendudukan di Jalur Gaza, karena operasi tersebut diperkirakan akan lebih ganas dari pendahulunya, ketika warga Palestina menjadi sasaran genosida di Beit She'an.
Gideon adalah kata Ibrani yang berarti pegulat. Dia adalah tokoh alkitabiah yang disebutkan dalam Kitab Hakim-hakim. Dia berperang melawan orang Midian, yang diutus Tuhan untuk melawan orang Israel karena perbuatan jahat mereka. Tuhan memerintahkan Gideon untuk menyelamatkan bangsa Israel dan memintanya untuk menghancurkan mezbah Baal. Rakyatnya memberontak melawannya, dan hanya sedikit dari mereka yang mendukungnya.
Menurut Taurat, Gideon berangkat dengan 30.000 tentara, dan hanya 300 dari mereka yang selamat. Namun, mereka mampu mengalahkan tentara Midian - suku Badui dari Hijaz - dan memaksa mereka mundur ke luar Sungai Yordan, melenyapkan raja-raja mereka dan sisa-sisa tentara mereka.
Gideon disebut dalam pers Israel sebagai pahlawan nasional yang menyelamatkan bangsa Israel dari tentara Midian yang sudah maju, yang terampil mengendarai unta dan dikenal karena "kekerasan, kecepatan, dan serangan yang tiba-tiba". Gideon mampu mengalahkan mereka "dengan pasukan kecil dan perlengkapan sederhana, termasuk kereta, dan dengan rencana militer yang matang".
Operasi Gideon adalah salah satu operasi terakhir yang dilakukan Haganah sebelum berakhirnya Mandat Inggris, dalam konteks perang saudara Palestina tahun 1947 dan 1948. Operasi tersebut bertujuan untuk merebut kota Beit She’an, membersihkan desa dan kamp Badui di sekitarnya, dan menutup pintu masuk potensial bagi pasukan Transyordania.
Operasi tersebut dilakukan oleh Brigade Golani antara 10 dan 15 Mei 1948. Ia merupakan bagian dari apa yang dikenal sebagai "Rencana Dalet", rencana pembersihan etnis yang dikembangkan Haganah untuk menguasai sebanyak mungkin wilayah Palestina sebelum deklarasi berdirinya Israel.
Menurut Otoritas Penyiaran Israel, operasi tersebut bertujuan untuk memperluas cakupan perang pada tahap pertama, yang diperkirakan akan berlangsung beberapa bulan, dengan “evakuasi menyeluruh seluruh penduduk Gaza dari zona pertempuran, termasuk Gaza utara, ke wilayah di Jalur Gaza selatan,” sementara tentara Israel tetap berada dan menduduki wilayah tersebut.
Israel akan mempekerjakan perusahaan sipil untuk membatasi wilayah yang ditetapkan oleh militer, termasuk wilayah di Rafah yang diklaim Israel “aman”, dan wilayah lain di belakang poros Morag. Mereka yang masuk akan diperiksa untuk memastikan ketidakhadiran anggota Hamas.
“Rencana kemanusiaan” tersebut akan dilaksanakan setelah operasi lapangan dan evakuasi warga Gaza ke selatan, seperti yang ditunjukkan pada tahap kedua, yang akan mencakup operasi udara di samping operasi darat, dan pemindahan warga sipil ke “tempat perlindungan yang aman” di Rafah.
Pada fase ketiga, pasukan militer Israel akan menyerang Gaza melalui darat untuk secara bertahap menduduki sebagian besar wilayah tersebut, dengan tujuan membangun kehadiran militer jangka panjang di Jalur Gaza untuk “menghilangkan Hamas dan menghancurkan semua terowongan.”