Sungai Hitam, Panggung Putih: Kota (Solo) Ini Pandai Berpura-pura

1 day ago 9

Image Alfin Nur Ridwan

Kebijakan | 2025-06-04 14:09:02

Foto: AI

Kota Solo adalah harmoni yang lahir dari masa lalu. Setiap jalanannya berbisik sejarah, setiap sudutnya menyimpan kenangan tentang tatanan yang anggun dan bersahaja. Namun di balik wibawa budaya dan romantisme masa lampau, kota ini tengah bergulat dalam kesenyapan: krisis lingkungan yang kian merayap namun jarang disebut namanya.

Sungai-sungai yang dahulu menjadi urat nadi kehidupan kini menjadi saluran limbah. Kali Jenes dan anak-anak sungai lainnya yang membelah kota sudah lama kehilangan kejernihannya. Warna airnya hitam legam, mengalir lambat bersama busa dan sampah rumah tangga, menjadi lanskap kelam yang nyaris tak lagi mengejutkan siapa pun. Kota yang dahulu hidup dalam ritme air–terkenal dengan Sungai Bengawan Solonya–kini menyaksikan kematian perlahan dari sumber-sumbernya.

Menurut kajian dari Universitas Sebelas Maret (UNS), pencemaran air di Kali Jenes didominasi oleh limbah rumah tangga dan industri batik. Laweyan, sentra batik yang selama ini menjadi kebanggaan budaya Solo, menyumbang limbah cair berwarna, dengan kadar Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) yang jauh melebihi ambang batas baku mutu air sungai. Pemerintah, sejak kepemimpinan Gibran memang telah mengimbau penggunaan pewarna alami dan mendorong pengolahan limbah, namun langkah tersebut bersifat seremonial, tanpa pengawasan ketat atau sanksi yang efektif. Pencemaran pun terus berlanjut, menjelma menjadi ‘normal baru’ yang diam-diam diterima.

Bukan hanya air yang sakit. Udara kota pun tak lagi bersih. Asap kendaraan bermotor memadat di ruas-ruas jalan utama seperti Slamet Riyadi, Adi Sucipto, dan kawasan Gilingan. Data dari IQAir tahun 2023 menunjukkan bahwa kualitas udara Solo beberapa kali masuk kategori “tidak sehat untuk kelompok sensitif.” Penyebab utamanya adalah tingginya emisi dari kendaraan pribadi, ditambah praktik pembakaran sampah terbuka yang masih terjadi di banyak permukiman padat. Transportasi umum seperti Batik Solo Trans belum mampu menjadi tulang punggung mobilitas warga, baik dari segi kuantitas armada maupun cakupan wilayah.

Pada saat yang sama, pengelolaan sampah di tingkat masyarakat juga belum menunjukkan kemajuan signifikan. Banyak Tempat Pembuangan Sementara (TPS) yang terbatas kapasitasnya, sementara edukasi dan pendampingan terhadap pemilahan sampah masih minim. Program ambisius seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Putri Cempo kerap dijadikan wajah modernisasi pengelolaan sampah.

Namun, di balik angka dan presentasi, realitasnya masih menyisakan tanya: sejauh mana PLTSa benar-benar mengurangi sampah dan bukan sekadar memindahkan masalah ke bentuk lain? Sedangkan di sisi lain, sebagaimana observasi langsung bulan lalu di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo saya dihadapkan pada kenyataan akan sampah yang kian menggunung. Bahkan di beberapa titik gunungan sampah itu–yang umurnya mungkin telah puluhan hingga ratusan tahun–telah menjadi bak sebuah bukit yang rindang dengan tumbuh-tumbuhan beralaskan sampah.

Jika air dan udara telah teracuni, satu-satunya harapan seharusnya berada pada tanah dan ruang hijau. Tapi harapan itu pun makin merunduk. Data dari Sistem Informasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Surakarta mencatat bahwa hingga saat ini luas RTH masih jauh dari target ideal 30% dari luas wilayah kota. Di sisi lain, pembangunan fisik terus menggerus ruang-ruang resapan air dan vegetasi alami. Banyak kawasan hijau berubah menjadi lahan beton, dan pohon-pohon tua kerap dibiarkan tumbang tanpa pengganti.

Krisis ini mencapai puncaknya setiap musim hujan tiba. Banjir, walaupun tak seekstrem Jakarta, menjadi siklus tahunan yang menghantam kawasan-kawasan langganan genangan seperti Semanggi, Joyotakan, dan Sangkrah. Kali-kali yang tersumbat sampah dan sedimentasi tak mampu lagi menampung debit air. Air menggenang, kehidupan terhenti sementara. Namun sesudahnya, tak ada yang berubah. Kesalahan yang sama diulang, solusi disimpan dalam map kebijakan, bukan dalam tindakan nyata.

Dan pada sore yang syahdu di pelataran Taman Balekambang, saat seharusnya refleksi lahir dari ketulusan mendengar dan menyusun ulang prioritas kota, ironi justru mengemuka. Dalam acara bertajuk “Wedangan Bareng Mas Respati dan Mbak Astrid: Refleksi 100 Hari Kinerja Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surakarta”, tak satu pun dari mereka menyentuh persoalan lingkungan secara substantif.

Di hadapan publik yang haus akan arah dan komitmen, pembicaraan berputar pada digitalisasi layanan, optimalisasi kaum muda untuk menjadi pekerja, dan rekomendasi kuliner populer. Kata-kata seperti “sungai,” “sampah,” “polusi,” atau “ruang hijau” tidak pernah muncul. Seolah lingkungan bukan bagian dari visi mereka. Seolah air yang tercemar, udara yang kotor, dan sampah yang menggunung tidak cukup penting untuk menjadi bagian dari refleksi kepemimpinan. Padahal, di tengah kemajuan, justru lingkunganlah yang menjadi tolok ukur kematangan suatu pemerintahan.

Sikap abai ini bukan sekadar kelemahan retoris, melainkan cerminan dari tata kelola yang tidak menjadikan “keberlanjutan” sebagai landasan pembangunan. Walaupun mereka sendiri memakai tagline “melanjutkan”, tapi nampaknya diksi itu hanya bermakna politik untuk memuji pemimpin sebelumnya. Tidak cukup dengan membangun taman atau meresmikan PLTSa, jika secara struktural kesadaran ekologis tak pernah benar-benar menjadi pilar dalam perencanaan kota.

Namun, tanggung jawab atas kerusakan ini tak bisa sepenuhnya ditimpakan pada pemerintah. Di banyak sudut kota, masyarakat pun masih memandang isu lingkungan sebagai urusan yang jauh dari keseharian mereka. Sampah dibuang ke sungai dengan ringan hati, pembakaran limbah rumah tangga dianggap hal biasa, dan penggunaan plastik sekali pakai tetap menjadi kebiasaan yang tak kunjung ditinggalkan.

Di pasar tradisional, di warung-warung pinggir jalan, bahkan di sekolah dasar, kesadaran ekologis masih sebatas slogan yang mengawang. Banyak warga belum melihat hubungan langsung antara polusi udara dengan batuk anak-anak mereka, atau antara limbah cair batik dengan air sumur yang menguning. Kampanye lingkungan, jika ada, sering berhenti pada ajakan tempel stiker, bukan transformasi cara berpikir.

Ketiadaan literasi lingkungan di ruang-ruang keluarga dan komunitas membuat banyak orang bersikap masa bodoh, atau lebih parah: menyalahkan pihak lain tanpa mau mengubah kebiasaan sendiri. Di sinilah krisis itu menjadi lengkap–ketika pemerintah lalai membuat kebijakan ekologis, dan masyarakat gagal menumbuhkan kesadaran ekologis.

Dalam kota yang semakin panas, semakin padat, dan semakin bising ini, kesadaran bersama menjadi nyala terakhir yang masih mungkin disulut. Sebab jika tidak, Solo akan menjadi kota yang indah dalam cerita, tapi sakit dalam kenyataan. Dan pada akhirnya, bukan hanya pemerintah yang berdosa, tetapi kita semua, yang membiarkan kota ini kehilangan napasnya perlahan-lahan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |