
Sebuah studi nasional baru mengungkapkan bahwa semakin banyak orang Amerika meninggal di rumah akibat stroke iskemik, sebuah tren yang mencerminkan perubahan preferensi dalam perawatan akhir hayat dan kesenjangan yang terus berlanjut dalam akses ke layanan medis khusus.
Diterbitkan di PLOS One oleh para peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Georgetown dan Universitas Washington, studi tersebut juga menyoroti pembalikan yang meresahkan dalam tingkat kematian stroke secara keseluruhan setelah satu dekade penurunan yang stabil.
Stroke iskemik, yang terjadi ketika aliran darah ke otak tersumbat—paling sering oleh bekuan darah—adalah jenis stroke yang paling umum.
Stroke ini cenderung menyerang orang dewasa yang lebih tua tetapi sekarang semakin banyak terlihat pada orang yang lebih muda juga.
Para peneliti menekankan bahwa seiring bertambahnya usia populasi, dan meningkatnya faktor risiko stroke seperti obesitas, memastikan akses ke perawatan stroke yang tepat waktu dan efektif menjadi lebih mendesak dari sebelumnya.
Untuk memeriksa tren jangka panjang, tim peneliti menganalisis data lebih dari dua dekade dari basis data WONDER milik CDC, yang menyusun informasi kesehatan masyarakat AS.
Mereka berfokus pada catatan orang-orang yang sertifikat kematiannya mencantumkan stroke sebagai penyebab utama kematian, dengan melihat berapa banyak yang meninggal, di mana mereka meninggal, dan bagaimana tren bervariasi menurut usia, ras, jenis kelamin, dan apakah mereka tinggal di daerah perkotaan atau pedesaan.
Salah satu temuan yang paling mencolok: jumlah orang yang meninggal karena stroke di rumah meningkat lebih dari tiga kali lipat—dari 8,4% pada tahun 1999 menjadi 29,3% pada tahun 2020.
Pada saat yang sama, kematian di rumah sakit turun dari 46,4% menjadi 29,6%.
Penulis utama Jason Lim, seorang mahasiswa kedokteran di Georgetown, percaya bahwa perubahan ini sebagian didorong oleh pergeseran budaya menuju otonomi dan kenyamanan pasien, dengan banyak orang lebih suka menghabiskan hari-hari terakhir mereka di rumah daripada di rumah sakit.
Perubahan ini mungkin juga mencerminkan peningkatan layanan perawatan paliatif dan rumah perawatan akhir hayat, yang semakin banyak ditawarkan di rumah pasien.
Lim menjelaskan bahwa hal ini tidak berarti orang-orang mendapatkan perawatan yang lebih sedikit—dalam banyak kasus, mereka mungkin mendapatkan perawatan berkualitas lebih baik yang lebih sesuai dengan keinginan mereka.
Namun, para peneliti juga mengidentifikasi beberapa pola yang mengkhawatirkan.
Penduduk pedesaan dan warga Amerika kulit hitam lebih mungkin meninggal di lingkungan yang kurang terspesialisasi, seperti panti jompo atau unit gawat darurat, daripada di pusat stroke.
Warga Amerika kulit hitam memiliki tingkat kematian stroke tertinggi di lingkungan rumah sakit, termasuk kasus di mana pasien dinyatakan meninggal saat tiba di rumah.
Sebaliknya, warga Amerika kulit putih lebih mungkin meninggal dalam perawatan rumah sakit atau fasilitas perawatan jangka panjang, dan memiliki tingkat kematian fasilitas gawat darurat terendah.
Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan tentang akses ke perawatan stroke dan apakah semua kelompok menerima kualitas perawatan yang sama.
Lokasi geografis, cakupan asuransi, transportasi, dan hambatan finansial semuanya dapat berperan dalam menentukan di mana orang menerima perawatan—dan akhirnya di mana mereka meninggal.
Lim menekankan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan kematian di rumah mana yang merupakan pilihan dan mana yang merupakan akibat dari kurangnya akses.
"Penting untuk memahami apakah kematian ini mencerminkan perawatan yang lebih baik atau hilangnya kesempatan untuk perawatan," katanya. “Tidak semua orang mungkin memiliki kemampuan untuk memilih.”
Penulis senior Dr. Michael Levitt dari Universitas Washington mencatat bahwa setelah bertahun-tahun mengalami kemajuan, angka kematian akibat stroke kini kembali meningkat.
Kemungkinan penyebabnya termasuk meningkatnya angka obesitas, populasi yang menua, dan berkurangnya efektivitas kampanye kesehatan masyarakat yang lebih tua.
Kemungkinan lain adalah bahwa teknologi yang lebih baik kini memungkinkan pelaporan dan diagnosis kematian akibat stroke yang lebih akurat.
Levitt juga menunjukkan bahwa berbagai daerah di negara ini membutuhkan solusi yang berbeda.
Misalnya, unit stroke bergerak dapat membantu di kota besar, sementara pendidikan stroke dan dukungan transportasi mungkin lebih penting di masyarakat pedesaan.
“Pendekatan yang sama untuk semua orang tidak akan berhasil,” katanya. “Kita membutuhkan strategi yang mencerminkan kebutuhan lokal.”
Salah satu keterbatasan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini menggunakan data agregat, yang berarti peneliti tidak dapat mempelajari latar belakang pribadi setiap pasien.
Hal ini mempersulit pemahaman dampak penuh dari faktor-faktor individual seperti asuransi, pendapatan, atau riwayat medis.
Namun, penelitian ini menawarkan wawasan berharga tentang bagaimana orang Amerika mengalami kematian terkait stroke secara berbeda tergantung pada tempat tinggal dan siapa mereka.
Hal ini juga menyoroti perlunya terus meningkatkan perawatan stroke—dan memastikan bahwa setiap orang, terlepas dari lokasi atau latar belakangnya, memiliki akses ke perawatan yang mereka butuhkan saat dibutuhkan.