
Oleh : Dr Salahuddin El Ayyubi, dosen dan Peneliti Ekonomi Syariah di IPB University
REPUBLIKA.CO.ID, Pergantian pucuk pimpinan di sebuah perguruan tinggi besar sekelas IPB University biasanya berjalan dengan ritme yang terukur. Namun, pelantikan Dr Alim Setiawan Slamet sebagai Rektor Pengganti Antar Waktu (PAW) menggantikan Prof Arif Satria yang kini memimpin BRIN, menyisakan diskursus yang menarik di ruang publik, khususnya di kalangan civitas akademika. Ada satu perasaan kolektif yang sulit disembunyikan: perasaan "jomplang" atau ketimpangan persepsi.
Bagaimana tidak? Prof Arif Satria telah menetapkan standar yang begitu tinggi. Di tangannya, IPB melesat ke jajaran Top 300 dunia, konsep Agromaritim 4.0 menjadi wacana nasional, dan lobi-lobi tingkat tinggi berhasil mengamankan triliunan rupiah untuk pengembangan kampus. Sosoknya dikenal sebagai pemimpin dengan visi global dan kemampuan komunikasi publik yang ulung.
Kini, tongkat estafet itu beralih kepada Dr Alim Setiawan Slamet. Seorang figur yang selama ini dikenal tekun dalam pembenahan tata kelola dan sangat dekat dengan dinamika kemahasiswaan.
At’abta Man Ba’daka
Situasi psikologis di IPB saat ini mengingatkan kita pada kisah masyhur dalam sejarah Islam. Ketika Umar bin Khattab RA. melihat betapa tingginya standar dedikasi yang ditinggalkan oleh pendahulunya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, beliau berkata: "At’abta man ba’daka ya Abu Bakr" (Sungguh engkau telah menyusahkan orang-orang setelahmu, wahai Abu Bakar).
Kalimat ini mewakili beban berat Dr Alim. Menggantikan sosok yang sukses besar adalah tantangan terberat bagi seorang pemimpin. Jika dia berhasil, orang akan berkata "itu karena pondasinya sudah bagus". Jika dia gagal sedikit saja, orang akan berkata "memang beda kelas".
Namun, sejarah juga mencatat bahwa Umar tidak sukses dengan cara meniru Abu Bakar. Umar sukses dengan menjadi dirinya sendiri. Jika Abu Bakar memimpin dengan kelembutan, Umar memimpin dengan ketegasan administrasi dan ekspansi sistem.
Menanti Sang "Hafizhun 'Alim"
Kekhawatiran publik mengenai apakah ritme prestasi tinggi ini dapat terus dijaga oleh kepemimpinan baru adalah hal yang manusiawi. Namun, hal ini bisa dijawab dengan perspektif fiqh siyasah yang memandang kepemimpinan secara dinamis.
Kaidah emas menyebutkan: Tasharruf al-imam 'ala ar-ra'iyyah manuthun bil maslahah (Kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat). Kaidah ini menyiratkan bahwa tipe pemimpin yang dibutuhkan tidaklah statis, melainkan bergantung pada tantangan zamannya.
Setelah pondasi reputasi global terbangun kokoh di era Prof. Arif, kini IPB memiliki momentum emas untuk memperkuat akar yang menghujam ke dalam.
IPB kini membutuhkan sosok yang dalam Alquran (Surat Yusuf: 55) diistilahkan sebagai Hafizhun ‘Alim (penjaga yang terpercaya lagi berpengetahuan). Sosok "Hafizh" yang mampu menjaga stabilitas ritme kerja, memastikan bahwa lonjakan prestasi institusi berjalan beriringan dengan peningkatan kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan, serta menjamin hak-hak mahasiswa tertunaikan dengan baik."
Dr Alim, dengan rekam jejaknya di bidang kemahasiswaan dan sumber daya, memiliki peluang besar untuk mengisi ruang kosong ini. Ia mungkin tidak akan sering tampil di panggung internasional, tapi ia bisa menjadi "bapak" yang hadir menyelesaikan masalah-masalah domestik kampus yang fundamental.
Takdir dan Optimisme
Pada akhirnya, pelantikan hari ini bukan sekadar soal administrasi MWA, melainkan manifestasi dari ayat: "Engkau berikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki" (QS. Ali Imran: 26).
Bagi segenap warga IPB, pergantian ini adalah momentum untuk meneguhkan kembali komitmen kolektif. Kekuatan sebuah institusi besar sejatinya tidak bergantung pada pesona satu sosok semata, melainkan pada kokohnya sistem dan sinergi.
Dr Alim hadir dengan autentisitas kepemimpinannya sendiri. Sejarah sering membuktikan, pemimpin yang bekerja dalam ketenangan dan kecermatan, justru kerap melahirkan pondasi kemajuan yang kokoh dan berkelanjutan.
Selamat bertugas Pak Rektor Alim, Jadikan IPB bukan sekadar menara gading akademik, tapi ladang peradaban yang membumi.

4 hours ago
4
































