Bahan Bakar Pesawat Berkelanjutan Indonesia Diakui Lembaga Internasional

3 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bahan bakar pesawat berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel / SAF) dari limbah kelapa sawit (POME) Indonesia diakui lembaga penerbangan sipil internasional (ICAO). Pengakuan ini dinilai sangat penting mengingat potensi ekonomi dan pemangkasan emisi dari bahan bakar berkelanjutan tersebut.

Lembaga think tank Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS) mencatat permintaan SAF akan mencapai sekitar 500 juta ton pada 2050. Proyeksi ini dilatarbelakangi hasil studi yang menunjukkan penggunaan SAF dapat memangkas emisi sektor penerbangan hingga 65 persen.

“Sehingga di berbagai negara penggunaan SAF ini sudah mulai dicanangkan,” kata peneliti IPOSS, Dimas Haryo Pamungkas, pada Sosialisasi Limbah Cair Sawit sebagai Bahan Bakar Pesawat, Kamis (11/12/2025).

Dimas mencatat Indonesia sudah memandatkan penggunaan SAF sebesar 5 persen dari total avtur fosil yang digunakan di setiap penerbangan pada 2030. Ia mengatakan pentingnya SAF untuk memangkas emisi sektor penerbangan mendorong ICAO memastikan bahan baku yang diperlukan untuk memproduksi SAF.

“Salah satunya yang dibahas ada POME, Palm Oil Mill Effluent,” kata Dimas.

Dimas mencatat Indonesia merupakan penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Dengan POME, Indonesia dapat menjadi pusat produsen SAF dunia.

Ia menambahkan, menurut data dari International Sustainability and Carbon Certification (ISCC), POME memiliki potensi untuk mendapatkan kembali minyak (POME oil) sebesar 0,76 persen hingga 2,8 persen dari total limbah, bergantung pada jenis pabrik.

Dengan potensi produksi Tandan Buah Segar (TBS) di Indonesia mencapai 256 juta ton dan asumsi rata-rata pemulihan POME oil sebesar 1 persen, Indonesia secara potensial dapat memulihkan 2,5 juta ton POME oil.

Jika dikombinasikan dengan bahan baku limbah lainnya seperti minyak jelantah (used cooking oil) dan PFAD (Palm Fatty Acid Distillate), potensi produksi SAF di Indonesia dapat mencapai 2 hingga 3 juta kiloliter.

POME sendiri merupakan residu cair dari proses pengolahan tandan buah sawit segar menjadi crude palm oil (CPO) yang masih mengandung minyak dan mengapung di permukaan kolam limbah.

Dimas mengatakan pengakuan global ini merupakan hasil kerja keras tim peneliti dari Indonesia, termasuk IPOSS dan perusahaan energi Tripatra, yang bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan. Ia menegaskan proses pengajuan POME sebagai bahan baku SAF untuk Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA) ICAO melalui serangkaian kajian Life Cycle Assessment (LCA) yang ketat.

“Pengusulan sebuah bahan baku untuk SAF itu harus melalui proses-proses itu,” jelas Dimas.

Tim Indonesia, berkolaborasi dengan Universitas Hasselt, Belgia, berhasil mendapatkan nilai LCA rata-rata sebesar 18,1 gram karbon dioksida ekuivalen per megajoule.

Nilai ini menunjukkan SAF berbasis POME dapat menghemat emisi karbon sebesar 79,6 persen dibandingkan emisi bahan bakar jet fosil yang menghasilkan 89 gram karbon dioksida ekuivalen per megajoule. Hasil ini diterima dalam konferensi CAEP ICAO dan akan dipublikasikan dalam buku ICAO pada November 2025.

Nilai emisi POME yang rendah ini menempatkannya di antara bahan baku SAF yang paling berkelanjutan. “POME akan jauh lebih rendah [emisinya] karena dia bukan produk utama, tetapi residu. Sehingga tidak ada beban emisi dari indirect land use change,” tambah Dimas.

Untuk memaksimalkan potensi POME sebagai bahan baku SAF, Dimas menggarisbawahi beberapa langkah strategis mendesak yang perlu diambil. Pertama, diperlukan perbaikan tata kelola melalui pembangunan sistem traceability (keterlacakan) POME yang andal. Sistem ini harus selaras dengan skema sertifikasi berkelanjutan yang diakui ICAO, seperti ISCC, RSB, dan CORSIA.

Kedua, menurut Dimas, penting untuk mengatur alokasi POME bagi kebutuhan domestik dan ekspor. Selain itu, peninjauan kembali terhadap Harmonized System (HS) code POME perlu dilakukan agar klasifikasinya lebih unik dan mencegah potensi kecurangan atau fraud.

Terakhir, Dimas merekomendasikan pemangku kepentingan untuk mendorong permintaan dengan mengimplementasikan mandat SAF sebesar 5 persen pada 2030, atau lebih cepat, untuk penerbangan nasional dan internasional.

Langkah-langkah strategis ini bertujuan menciptakan permintaan berkelanjutan (demand create supply) dan mendorong pengembangan industri SAF nasional, sekaligus memanfaatkan berbagai feedstock kelapa sawit lain dengan dampak indirect land use change (ILUC) nol seperti tandan kosong, cangkang, dan serat sawit.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |