Berpindahnya Tongkat Estafet Perjuangan Menembus Gaza

3 hours ago 4

Oleh jurnalis Bambang Noroyono dan fotografer Thoudy Badai dari Tunis, Tunisia

REPUBLIKA.CO.ID, Usianya terlihat sudah menggerus fisik. Untuk berjalan, perempuan berusia 84 tahun itu kerap bertumpu pada tongkat jalan bergagang merah. Ia sendirian dia berjalan menyusuri trotoar jalanan tua di Kota Tunis menuju General Union of Tunisian Workers (GUTW) pada pagi hari 2 September lalu. Tak ada yang menyapa. 

Tak banyak yang paham siapa perempuan itu sampai anggota delegasi Indonesia Global Peace Convoy (IGPC) Maimoen Herawati menyapa dan memperkenalkannya kepada Republika. Greta Berlin namanya.

Hari itu menandai dimulainya pelatihan dan training Global Sumud Flotilla. Gelaran itu mengundang ribuan delegasi dari kalangan aktivis dan relawan kemanusian, termasuk wartawan. Mereka datang dari 45 negara masing-masing untuk bergabung dalam misi pelayaran akbar mengarungi Laut Mediterania. Konvoi laut itu untuk membuka blokade Gaza yang sudah 24 bulan dijajah Zionis Israel. 

“Itu Ibu Greta,” kata Maimoen kepada Republika saat bersama-sama berjalan kaki menuju Gedung GUTW yang berada di Jalan Rue Mohamed, kawasan Bab el-Bahr Kota Tunis. “Dia saksi hidup Mavi Marmara,” ujar Maimoen. Maimoen anggota delegasi IGPC paling senior dalam misi Global Sumud Flotilla. Maimoen bersama Greta yang membalutkan kafiyeh Palestina di pundaknya saling berpelukan dan berswafoto. Keduanya berbincang-bincang sambil terus berjalan.

Maimoen menerangkan Greta salah satu tokoh internasional paling senior saat ini dalam aktivisme kemerdekaan Palestina. Tiba di Gedung GUTW giliran Republika yang menyempatkan diri berbincang-bincang dengan Greta sebelum Sterring Committee (SC) Global Sumud Flotilla menguber-uber seluruh partisipan untuk masuk aula, memulai kelas training dan pelatihan. Greta antusias meladeni setiap pertanyaan. Tak terkecuali tentang apa maksud dia datang dari Amerika Serikat (AS) ke gelaran Global Sumud Flotilla yang mengambil titik kumpul di Tunisia.

Aktivis pro-Palestina dari AS Greta Berlin bersama aktivis Indonesia Maimon Herawati kala bersua di Tunisia, 2 September 2025.

“Saya sangat senang berada di sini di sisi kalian semua,” kata Greta. Kata dia dengan semangat, selama masih ada umur, dirinya akan terus hadir dalam setiap aksi-aksi untuk mengakhiri penderitaan masyarakat Palestina. “Terutama di Gaza sekarang ini,” kata dia. Greta pun menanyakan kepada Republika apakah akan ikut berlayar? Dalam upaya membersihkan niat hati, Republika menyampaikan bahwa semuanya tergantung kehendak Allah. 

Greta tak puas dengan jawaban mengambang itu. Ia menegaskan tak perlu ada yang ditakuti dalam misi apapun demi mengakhiri penderitaan rakyat di Gaza. “Saya tidak menanyakan anda untuk pergi piknik. Tetapi, apakah anda akan pergi ke Gaza? Katakanlah, ‘ya!’ Apakah anda akan pergi ke Palestina? Katakanlah, ‘ya!’ Tidak ada yang perlu ditakutkan. Anda harus pergi ke Gaza!” Greta menegaskan. “Saya tidak akan pernah mengatakan tidak untuk mengakhiri penderitaan di Gaza. Saya tidak akan pernah mengatakan tidak untuk mengakhiri penjajahan di Palestina,” kata dia.

Greta lahir di Detroit, Michigan, Amerika Serikat (AS) pada 1941 dengan nama asli Greta Anne Hughes. Berlin mengambil nama belakang mendiang suaminya Alvin Jay Berlin. Greta dan Berlin sama-sama aktivis anti-Zionis Israel di AS. Aktivisme kemerdekaan Palestina sudah dia lakoni sejak 1960-an. Bersama suaminya, Greta mengkampanyekan tujuan busuk berdirinya negara Zionis Israel di Tanah Palestina. Ia pun menjadi salah-satu aktivis terkemuka yang menentang perluasan wilayah Zionis Israel di Tanah Palestina pasca-Perang Enam Hari 1967.

Aktivisme awal Greta mendirikan organisasi internasional Pal Aid. Organisasi kemanusian pemasok obat-obatan dan makanan ke Palestina. Selama menjadi aktivis Palestina, Greta bertubi-tubi dalam bahaya pembunuhan. Ia terancam kehilangan nyawa anaknya lantaran aktivismenya itu. 

Pada 2003 ia bersama aktivis kemanusian asal Washington, Rachel Corrie mendirikan Gerakan Solidaritas Internasional (ISM) untuk Palestina. Organisasi itu berbasis di Jenin, Ramallah, Tepi Barat. Maret 2003, Rachel Corrie gugur saat mengadang buldoser Zionis Israel yang merampas tanah dan rumah milik seorang apoteker Palestina.

Aktivis pro-Palestina dari AS Greta Berlin memberikan semangat kepada aktivis-aktivis muda di Tunisia, 2 September 2025.

Greta membuat wadah perjuangan Palestina dengan mendirikan Free Gaza Movement (FGM) pada 2006. Wadah tersebut sebagai bentuk solidaritas penderitaan masyarakat di Jalur Gaza atas apartheid Zionis Israel. Greta salah-satu pemimpin dalam misi mengakhiri penderitaan masyarakat di Gaza dengan rencana pelayaran akbar menembus blokade Gaza melalui laut. Misi tersebut tergabung dalam Freedom Flotilla. Greta berkali-kali kepada internasional menyatakan, blokade Gaza oleh Zionis Israel tindakan ilegal yang tak berprikemanusian. 

Greta juga menegaskan Zionis Israel entitas ilegal di Tanah Palestina. Greta mendesak internasional tak mengakui keberadaan negara Zionis Israel yang didirikan atas dasar terorisme di Tanah Palestina. Misi Freedom Flotilla itu berakhir dengan penyerangan Mavi Marmara. Pada Mei 2010 enam armada kemanusian yang berlayar dari perairan Turki membawa serta hampir 600 aktivis dan relawan dari 30-an negara. Misi kemanusian itu diserang angkatan laut Zionis Israel di wilayah perairan Gaza. Sembilan relawan, aktivis, termasuk wartawan syahid dalam penyerangan.

Dari misi Freedom Flotilla itulah muncul aksi-aksi pelayaran serupa dengan tujuan yang sama: menembus blokade Gaza. Juni 2010 Kapal MV Rachel Corie dihentikan paksa pasukan laut Zionis Israel setelah berada di 30 Kilometer (Km) bibir pantai Gaza. Para partisipan kapal-kapal kemanusian itu ditangkap, dipenjarakan. Juni 2025 misi Freedom Flotilla kembali berlayar dengan Kapal Handala dan Madleen membawa logistik serta obat-obatan untuk menyudahi kelaparan dan kebengisan tentara Zionis Israel di Gaza. Misi 21 aktivis dan relawan ketika itu pun berujung penyerangan dan penculikan para partisipan oleh serdadu laut Zionis Israel ketika armada kemanusian itu sampai pada jarak 40 mil dari bibir pantai Gaza.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |