Bertaruh Harapan di Pagar Desa

7 hours ago 2

Oleh: Dr. Yenrizal, M.Si. (Akademisi Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah)

Pepatah berkata, “Selagi ada usaha di situ akan ada jalan”. Kalimat yang menunjukkan bahwa manusia harus senantiasa berusaha dengan jalan apapun dan tidak boleh menyerah. Hasil terbaik akan didapat selagi usaha dimaksimalkan. Sedikit berjudi dengan nasib, kadang juga harus dilakukan.

Wujud nyata dari pepatah itulah yang agaknya bisa menggambarkan bagaimana perjuangan para pemukim di Desa Pagar Desa, Kecamatan Bayung Lincir, Musi Banyuasin. Desa yang tidak bisa dikatakan dekat dengan segala macam akses, walau realitas kemajuan dan modernisasi selalu melintasinya.

Berjarak sekitar 25 km dari ibukota kecamatan, Bayung Lincir, atau sekitar 20 km dari jalan hitam (jalan raya Lintas Timur Sumatera), Pagar Desa menjadi bukti perjuangan kelompok imigran yang berpindah dari daerah asalnya dengan satu tujuan, memperbaiki kondisi perekonomian keluarga.

Akses jalan mulai dari Desa Simpang Bayat, sudah menunjukkan beratnya perjuangan. Sekitar 10 km pertama, jalan cor beton masih bisa dinikmati. Selebihnya, sejak keluar dari Desa Pangkalan Bayat, kondisi jalan tanah bercampur kerikil, lubang-lubang yang meliukkan kendaraan menjadi santapan pasti. Debu-debu tebal berterbangan, seakan jadi penebal bedak di pipi para wanita desa yang tanpa lelah hilir mudik ke luar desa.

Musim hujan kemudian jadi momok sulitnya berjuang menerobos lumpur dan jalanan licin. Tanah berpasir keputihan, bagai melengketkan segala kendaraan sehingga sulit untuk dipacu.

Pagar Desa, memang adalah sebuah daerah yang banyak dihuni kaum pendatang. Hampir mirip dengan desa lain disekitar, seperti Sako Suban.

Ditilik sejarah, sebetulnya daerah ini adalah kawasannya para penduduk yang terbiasa nomaden. Suku Anak Dalam (SAD), begitu identitas yang diberikan. Orang Rimba versi lainnya dan Suku Kubu sering di-stereotype-kan. Merekalah yang awal membuka lahan, jadi lokasi Meramu, dan beranak pinak di wilayah i

 Yenrizal)Jalan Desa di Pagar Desa, Musi Banyuasin. (FOTO: Yenrizal)

Sejarah desa menyebutkan tahun 1953ac adalah awalnya seorang bernama Masurip yang menelusuri Sungai Lalan untuk mencari kayu dan rotan. Dikarenakan banyaknya pohon Buring disekitar itu, didapuklah nama Soak Buring sebagai sebutan pertama. Perkembangan berikutnyalah ketika warga di daerah tersebut bergabung dengan Marga Bayat, maka digantilah nama menjadi Pagar Desa. Peristiwa itu terjadi tahun 1964, saat Masurip dikukuhkan sebagai Kerio.

Lambat laun, kehadiran para pendatang, masuknya berbagai macam perusahaan berskala besar, menggeser posisi para anggota SAD. Hutan mereka diperjualbelikan, pepohonan berganti karet dan kelapa sawit, rumah-rumah permanenpun mulai didirikan. SAD kemudian harus pula beradaptasi dengan realitas yang tak bisa mereka tolak. Dirumahkan, begitu istilah program dari pemerintah.

Tanpa tahu dan paham soal keberlanjutan (sustainability), para SAD mulai menjual hutan-hutan mereka. Iming-iming rupiah menghampiri, dan secara cepat mereka mulai kehilangan otoritas atas hutan tersebut. Begitulah, kehidupan terus berlanjut, modernitas pun menghampiri. Entah substansinya apa, tapi para SAD sudah mulai familiar dengan segala simbol kemodernan.

Pada lokasi inilah, ekspansi kaum pendatang mulai menyebar. Pendatang ini bukanlah mereka-mereka yang memiliki modal besar atau melakukan penguasaan besar-besaran di Pagar Desa. Hampir semua pendatang, berasal dari realitas kemiskinan dan persoalan hidup di daerah asalnya. Beberapa gelintir memang datang dengan modal yang cukup, tapi kebanyakan serba terbatas. Motivasi merubah perekonomian, itulah yang mendorong mereka ke kawasan SAD.

Memasuki wilayah pedesaan, sebenarnya juga bukanlah daerah subur dengan segala macam tanaman bisa tumbuh. Hamparan tanah berpasir dan warna keputihan menjadi pemandangan pertama. Kondisi yang menjadi penanda bahwa hanya tanaman tertentu yang bisa tumbuh subur di lokasi ini. Jenis padi-padian akan sulit untuk tumbuh, Kelapa Sawit dan Karet adalah yang paling dominan dan inilah yang jadi tanaman andalan. Alhasil, segala kebutuhan pangan warga sudah pasti dipasok dari luar daerah. Beras harus dibeli, sayuran juga sama, terkecuali ikan dan hewan ternak.

Beberapa warga mengaku mereka berasal dari daerah lain di Sumsel. Ada yang dari Belitang, Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, ada yang dari Tugumulyo OKI (Ogan Komering Ilir), Lempuing, Sekayu, Epil, dan ragam lainnya. Umumnya beretnis sama, Jawa. Kehadiran mereka yang semakin banyak, justru makin meminggirkan kelompok SAD. Bukan dengan disengaja, kebiasaan dalam memotivasi hiduplah yang membedakan.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |