Catatan Cak AT: Mata Kita dalam Memori AI

8 hours ago 6
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Mata Kita dalam Memori AI. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Di sebuah desa di Sukabumi, ratusan warga berkumpul bukan untuk menyaksikan konser dangdut atau kampanye caleg, melainkan untuk antre memindai mata mereka dengan alat berbentuk bola perak futuristik bernama Orb.

Usai memindai mata, warga mendapat token kripto, dan kebingungan cara mengubahnya jadi uang seratus ribu.

Memang, di acara tahun 2021 itu, tidak ada yang menjelaskan apa itu Worldcoin, token kripto yang dihadiahkan. Juga tak diceritakan siapa Tools for Humanity (TFH), si pelaksana pemindaian mata pakai alat Orb.

Baca juga: Membangun Pusat Keagamaan dan Wisata Berkelanjutan Melalui Wisatapreneur Masjid Pantai Bali

Atau, kenapa tiba-tiba iris mata jadi lebih laku dari fotokopi KTP. Warga datang, mata dipindai, dapat kripto, lalu pulang.

Saya jelaskan. Orb ini bukan mainan Doraemon. Ia alat pemindai iris mata yang canggih buatan TFH, perusahaan yang dikomandani Sam Altman—tokoh di balik ChatGPT.

Altman mungkin tahu kalau banyak warga Indonesia belum punya NPWP, tapi sudah punya mata. Maka iris pun dijadikan identitas global.

Baca juga: Ini Jadwal Pendaftaran Siswa Baru SMA/SMK/SLB di Jabar

Teknologi Orb tidak sekadar memotret mata. Ia menggunakan biometrik high-res, lalu mengubah peta iris menjadi kode hash terenkripsi. Katanya, tak bisa diretas. Katanya, tak bisa dilacak. Tapi, bukankah semua teknologi katanya begitu sebelum bocor ke dark web?

Anda tahu, "iris mata" adalah bagian berwarna dari mata kita —yang mengelilingi bagian hitam (pupil). Setiap orang punya pola iris yang unik ini, seperti sidik jari. Karena keunikannya ini, iris digunakan untuk identifikasi biometrik, bisa dipakai untuk mengenali seseorang secara pasti.

Dalam konteks AI, alat pemindai iris digunakan untuk memastikan bahwa seseorang adalah manusia yang unik dan belum pernah terdaftar sebelumnya. Jadi, bukannya cukup dengan KTP atau sidik jari, malah iris dipilih karena lebih sulit dipalsukan, lebih permanen, dan lebih bisa membedakan satu individu dari miliaran orang lainnya.

Baca juga: Perayaan Hari Konsumen, Mendag dan Wamendag Ajak Masyarakat Gunakan PLN Mobile

Namun, karena iris sangat sensitif dan menyimpan informasi biologis yang mendalam, penggunaannya juga menimbulkan kekhawatiran privasi dan etika. Dan pemerintah sayangnya belum mengatur soal ini?

Lucunya pula, proyek ini hadir saat pemerintah sedang sibuk membangun Pusat Data Nasional (PDN) dengan anggaran triliunan rupiah. Visi mulianya: satu data, satu identitas, satu platform digital. Tapi belum juga rampung, sistemnya sudah sempat diretas dan dijual murah oleh hacker bernama Bjorka.

Ironisnya, Orb bisa lebih cepat membangun identitas digital warga —dengan biaya jauh lebih murah. Hanya bermodal bola perak dan janji kripto dari Sam Altman, nama yang bukan sembarangan.

Baca juga: Mengambar Bersama di Bulan Menggambar Nasional

Sam ini CEO OpenAI, perusahaan AI yang katanya “demokratis,” tapi di baliknya ada modal ventura, lisensi eksklusif, dan perusahaan raksasa seperti Microsoft. Maka tak heran, ketika ia mendirikan Tools for Humanity (TFH), kita perlu bertanya: apakah ini sungguh alat untuk kemanusiaan, atau alat untuk memetakan manusia demi kebutuhan AI?

TFH mengklaim ingin menciptakan sistem identitas global untuk membedakan manusia dari AI. Kedengarannya mulia. Tapi mari jujur: semakin banyak data biometrik yang dikumpulkan, semakin cerdas sistem AI yang dilatih dengan data tersebut.

Maka, World ID dari Orb ini bukan cuma soal “siapa Anda” di internet, tapi juga siapa yang mengontrol jaringan data biologis kita di era kecerdasan buatan. Nama “Tools for Humanity” terdengar seperti nama LSM, padahal lebih mirip nama departemen baru Silicon Valley —yang sedang berebut hak untuk tahu siapa Anda, sampai ke iris mata Anda.

Baca juga: MPR Dorong Bali Terapkan Pariwisata Berkelanjutan

Kabarnya, sudah lebih dari 500 ribu mata telah dipindai oleh TFH di Indonesia. Tanpa banyak gembar-gembor, tanpa stempel resmi dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), dan tanpa perdebatan publik. Bahkan ia baru terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) pada tahun 2025 —empat tahun setelah mereka mulai beroperasi. Ibarat nikah dulu, ngurus KUA belakangan.

Yang mengherankan, dalam negeri yang hobi seminar tentang keamanan data, tak ada satu pun alarm publik yang berbunyi keras soal ini. Apakah karena bentuk alat pindai matanya bulat mengilap, kita jadi lupa bertanya? Atau karena tersihir pemindaian yang berlangsung kilat.

Tak aneh jika para pejabat pun tertarik mencicipi sensasi dipindai. Menteri Muhaimin Iskandar datang ke kantor TFH, dan memindai irisnya secara sukarela. Wakil Presiden Gibran juga tampak akrab dengan Orb. Tak perlu ribet-ribet debat etika, cukup senyum dan jepret.

Baca juga: Catatan Cak AT: 'Conclave': Ketika Politik Masuk Surga di Kapel Sistina

Tentu, kehadiran para elite memberi semacam “fatwa tak resmi” bahwa ini aman dan keren. Tapi, siapa yang mengaudit keamanan teknologi ini? Siapa yang menjamin bahwa data iris pejabat (dan rakyat) kita tidak nongol di server luar negeri, dijual bareng akun email dan password tokopedia dan shopee?

Sementara TFH menawarkan satu identitas global melalui World ID, pemerintah Indonesia juga sedang sibuk dengan IKD —Identitas Kependudukan Digital, dan proyek Satu Data Indonesia. Bedanya, TFH datang dengan bola dan kripto, sedangkan pemerintah datang dengan aplikasi yang sering error.

Apa bedanya World ID dan IKD? Yang satu dibuat startup luar negeri dan bisa langsung jalan. Yang satu lagi dikelola negara sendiri, tapi tak lepas dari drama klasik: tender, proyek mangkrak, dan backup Excel. Padahal, esensinya sama: ingin menyatukan identitas kita —dari KTP sampai data vaksin, bansos, dan PBB. Tapi siapa yang lebih dulu menguasai mata kita?

Jika dicermati, yang dilakukan TFH bukan semata revolusi digital, tapi eksploitasi kapitalistik yang dibungkus filantropi futuristik. Data iris, yang seharusnya jadi hak eksklusif diri kita, ditukar dengan recehan kripto. “Insentif partisipatif,” kata mereka. “Pemaksaan halus dengan gula-gula digital,” kata yang lebih kritis.

Baca juga: Gunakan Visa Kerja untuk Berhaji, 117 WNI Ditolak Masuk Arab Saudi

Sementara itu, kita masih sibuk menyusun kerangka hukum Perlindungan Data Pribadi (PDP), padahal data sudah dikumpulkan sejak dulu. Kita sibuk menyiapkan PDN yang megah, tapi belum bisa menjawab: jika warga lebih percaya pada startup global ketimbang pemerintahnya sendiri, apakah kita sedang membangun kedaulatan digital, atau justru menyerahkannya?

Kisah Orb dan mata kita bukan sekadar cerita tentang teknologi baru. Ini adalah refleksi dari kegagapan kita menghadapi masa depan. Di antara janji modernitas dan kecanggihan, kita harus bertanya: siapa yang mengendalikan data kita? Siapa yang menikmati keuntungannya? Dan siapa yang akan bertanggung jawab jika semuanya bocor?

Karena di dunia digital, iris bukan sekadar bola mata, tapi pintu menuju siapa kita sesungguhnya. Dan kalau pintu itu dibuka oleh pihak yang salah, bukan tak mungkin masa depan kita akan dikunci dari luar —dengan mata kita sendiri sebagai kuncinya.. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 20/5/2025

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |