Ekonom Sebut Penjelasan Pemerintah Soal Penurunan Penerimaan Pajak tak Masuk Akal

19 hours ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengkritik pemerintah mengenai alasan penerimaan pajak per Februari 2025 mengalami penurunan drastis. Menurutnya, alasan pemerintah yang disampaikan dalam Konferensi Pers APBNKita 2025 pada Kamis (13/3/2025) tidak cukup kuat.  

“Jika pemerintah menyalahkan faktor teknis dan harga komoditas, itu adalah analisis yang terlalu dangkal. Penurunan ini menunjukkan masalah struktural dalam perekonomian, seperti melemahnya konsumsi domestik, rendahnya profitabilitas perusahaan, dan gangguan dalam administrasi perpajakan akibat implementasi sistem Coretax yang belum matang,” ungkap Syafruddin dalam keterangannya, dikutip Sabtu (15/3/2025). 

Diketahui, penerimaan pajak per Februari 2025 adalah sebesar Rp 187,8 triliun, turun drastis dibandingkan capaian penerimaan pajak pada periode yang sama di 2024 sebesar Rp 269,02 triliun. Defisit APBN 2025 terbilang muncul lebih awal dibandingkan pada tahun lalu yang baru mengalami defisit pada Mei 2024.  

Kementerian Keuangan menyebut ada dua alasan yang menyebabkan penerimaan pajak pada Januari—Februari 2025 menurun. Pertama karena faktor penurunan harga komditi utama seperti batu bara yang anjlok 11,8 persen, minyak 5,2 persen, dan nikel 5,9 persen. Kedua, masalah administrasi, yang bersumber dari dua hal yaitu adanya kebijakan anyar tarif efektif rata-rata (TER) untuk PPh21 dan relaksasi PPN DN. 

Pemerintah juga menyebutkan bahwa penurunan penerimaan pajak pada awal tahun disebut merupakan tren yang biasa. Sebab, pada tahun-tahun sebelumnya, angka penerimaan pajak di Januari dan Februari juga menunjukkan angka penurunan.

“Pemerintah beralasan bahwa penerimaan pajak cenderung lebih rendah pada awal tahun, tetapi penurunan yang terjadi kali ini jauh lebih dalam dari tren sebelumnya. Jika ini sekadar pola musiman, mengapa APBN sudah mengalami defisit sejak Februari, lebih awal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya?” ungkap Syafruddin. 

Syafruddin mengatakan, pemerintah seharusnya menyampaikan kondisi fiskal secara transparan dan real-time agar masyarakat dan para pelaku pasar memahami realitas ekonomi yang terjadi. Bukan justru menciptakan narasi tersendiri. 

“Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang meminta masyarakat tidak mendramatisir penurunan penerimaan pajak hingga Februari 2025 justru mengesankan adanya upaya menutupi fakta penting yang bisa berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi. Ketika penerimaan pajak turun drastis sebesar 30,1 persen dibandingkan tahun lalu, pemerintah seharusnya mengakui tantangan yang dihadapi alih-alih menyepelekan dampaknya,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menilai pandangan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut defisit saat ini masih dalam batas aman dan tidak perlu dikhawatirkan, berbeda atau berseberangan dengan cara pandang pasar keuangan. Goldman Sachs diketahui telah menurunkan peringkat aset investasi Indonesia, memproyeksikan defisit APBN 2025 bisa melebar menjadi 2,9 persen dari PDB, lebih tinggi dari target 2,53 persen.

“Jika pemerintah terus menutup-nutupi masalah fundamental ekonomi, Indonesia berisiko terjebak dalam siklus defisit yang makin lebar, utang yang membengkak, dan daya beli masyarakat yang semakin melemah. Jika ini bukan sinyal krisis, maka pemerintah harus menjelaskan rencana reformasi fiskal yang konkret untuk mengatasi tantangan ini,” tegasnya. 

Menurut Syafruddin, pemerintah memiliki dua pilihan dalam menyikapi persoalan tersebut. Pertama, mengakui krisis dan mengambil langkah reformasi yang nyata. Itu termasuk transparansi fiskal, reformasi perpajakan yang lebih efisien, dan kebijakan yang mendorong investasi serta konsumsi. Kedua, menutup-nutupi masalah dan mempertahankan kebijakan yang tidak efektif. Namun hal itu hanya akan memperburuk kondisi ekonomi dan menurunkan kepercayaan investor serta masyarakat terhadap pemerintah.

“Keengganan pemerintah untuk mengungkapkan kondisi fiskal yang sebenarnya hanya akan menciptakan ketidakpastian lebih besar. Jika masyarakat dan pelaku usaha memahami kondisi ekonomi secara transparan, mereka dapat mengantisipasi dan beradaptasi dengan kebijakan ekonomi yang diterapkan,” kata Syafruddin. 

Sehingga, menurutnya, pemerintah seharusnya melakukan tiga hal. Pertama, pemerintah harus menyampaikan data fiskal secara real-time, termasuk dampak dari gangguan Coretax dan tekanan pada konsumsi domestik. Kedua, pemerintah harus menyesuaikan kebijakan fiskal dengan kondisi ekonomi yang sebenarnya, bukan hanya berdasarkan asumsi yang terlalu optimistis. Ketiga, belanja negara harus lebih produktif, bukan hanya terserap ke subsidi atau birokrasi yang tidak efisien.

“Jika pemerintah masih menganggap masyarakat tidak perlu mengetahui kondisi ekonomi secara transparan, maka kepercayaan terhadap kebijakan fiskal akan semakin luntur. Saatnya pemerintah memanfaatkan momentum ini untuk reformasi fiskal yang lebih nyata dan berkelanjutan,” ujarnya.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |