Ekonomi Indonesia: Dari Pertumbuhan PDB ke Kesejahteraan Nyata

2 hours ago 3

Oleh : Teuku Suryadarma, mahasiswa Program Doktor Fakulti Sains Sosial di Universiti Sains Malaysia (USM)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekarang ini, ukuran kesuksesan ekonomi nggak cuma dilihat dari seberapa besar pertumbuhan PDB-nya aja, lho. Banyak negara mulai sadar kalau angka PDB yang tinggi belum tentu bikin hidup masyarakatnya makin baik. Kadang, pertumbuhan ekonomi cuma nambahin angka tanpa menyentuh langsung ke lapangan kerja, pendapatan, dan kesejahteraan rakyat banyak.

Nah, biar lebih “nendang”, beberapa negara sudah mulai pakai cara lain untuk ukur kesehatan ekonomi mereka. Misalnya, New Zealand dengan pendekatan “Wellbeing Budget”-nya. Mereka nggak cuma fokus ke pertumbuhan ekonomi, tapi juga ke indikator lain kayak lapangan kerja, kesehatan mental, pendidikan, dan kesetaraan sosial. Hasilnya? Pemerintah bisa bikin kebijakan yang lebih pas sasaran dan masyarakat juga dapat manfaat yang nyata.

Begitu juga dengan Bhutan, yang terkenal dengan Indeks Kebahagiaan Nasional Bruto (Gross National Happiness). Mereka melihat ekonomi sebagai bagian dari kesejahteraan masyarakat, bukan cuma angka produksi barang dan jasa. Fokusnya di kebahagiaan, lingkungan hidup, dan budaya, yang semuanya saling terkait.

Kalau kita di Indonesia, sebenarnya punya potensi besar buat pakai pendekatan serupa. Kita punya sumber daya manusia yang besar dan beragam, serta potensi investasi yang terus tumbuh. Kalau kita ukur ekonomi gak cuma dari PDB, tapi juga dari kesempatan kerja yang semakin banyak, pendapatan yang meningkat, konsumsi masyarakat yang sehat, dan stabilitas harga yang terjaga, itu bakal lebih nyambung sama kondisi riil masyarakat.

Bayangkan, kalau kesempatan kerja semakin luas, banyak orang bisa punya penghasilan lebih, otomatis konsumsi juga naik dan ekonomi jadi bergerak. Investasi yang terus tumbuh juga akan mendukung sektor produksi, yang artinya lapangan kerja juga bertambah. Dan kalau harga-harga stabil, daya beli masyarakat nggak gampang goyah.

Nah, sebagai solusi agar pendekatan ini bisa diterapkan dengan baik, kita bisa pakai rumusan dari fungsi komposit yang menggabungkan beberapa indikator utama, seperti  kesempatan kerja, pendapatan masyarakat, konsumsi, produksi, investasi, stabilitas harga, dan kesejahteraan sosial.

Fungsi  ini nantinya bisa jadi indikator utama untuk memantau “sehat tidaknya” perekonomian secara lebih menyeluruh. Jadi, pemerintah dan pemangku kebijakan bisa ambil keputusan berdasar gambaran yang lengkap, bukan cuma angka PDB.

Kita juga harus sadar bahwa langkah konkret seperti rencana Menteri Keuangan Pak Purbaya yang akan memindahkan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun dari Bank Indonesia ke perbankan HIMBARA punya potensi besar untuk menggerakkan ekonomi riil. Dengan dana tersebut di perbankan, likuiditas bisa mengalir ke sektor usaha, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Tapi, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada seberapa baik pengelolaan dan penyaluran dana agar tepat sasaran dan tidak menimbulkan risiko seperti inflasi berlebih atau penyaluran kredit ke sektor nonproduktif.

Selain itu, agar rumusan indikator dan kebijakan berjalan efektif, kualitas dan konsistensi data harus dijaga dengan ketat. Tanpa data yang akurat dan terintegrasi antar lembaga, gambaran ekonomi yang kita dapat bisa meleset jauh dari kenyataan. Koordinasi antar institusi seperti BPS, BI, dan Kemenkeu sangat penting supaya pemantauan indikator dapat dilakukan secara real-time dan responsif terhadap perubahan kondisi.

Transparansi dan pengawasan juga jadi kunci supaya dana pemerintah yang dikelola HIMBARA tidak disalahgunakan dan benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Karena pada akhirnya, ekonomi yang sehat bukan hanya soal angka besar, tapi juga soal kepercayaan masyarakat dan kesejahteraan yang dirasakan sehari-hari.

Dengan pendekatan yang komprehensif dan pengelolaan yang hati-hati, Indonesia punya kesempatan besar untuk membangun ekonomi yang tidak hanya bergerak tapi juga sejahtera, dengan ukuran yang lebih manusiawi dan relevan dari sekadar PDB semata.

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |