REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Hamas menandai peringatan tahun kedua serangan 7 Oktober 2023 dengan menantang ‘Israel’ untuk mengizinkan “penyelidikan internasional yang tidak memihak” terhadap peristiwa pada hari itu. Mereka menyangkal klaim bahwa para pejuangnya secara sistematis menargetkan warga sipil.
Dokumen setebal 35 halaman tersebut membingkai operasi "Topan al-Aqsa" sebagai respons alami terhadap 77 tahun pendudukan. Mereka juga mengusulkan "pemerintahan teknokratis" yang dipimpin Palestina di masa depan untuk Gaza yang menolak segala bentuk perwalian asing.
Dalam dokumen yang baru dirilis menandai dua tahun sejak peristiwa 7 Oktober 2023, Hamas telah mengeluarkan tantangan langsung kepada ‘Israel’ untuk mengizinkan “penyelidikan internasional yang tidak memihak” terhadap peristiwa 7 Oktober 2023. Dokumen tersebut, yang diberi judul “Narasi Kami… Operasi Topan Aqsa: Dua Tahun Ketabahan dan Keinginan untuk Pembebasan,” menguraikan catatan resmi gerakan tersebut mengenai asal muasal operasi pada tanggal 7 Oktober, peristiwa pada hari itu, dan penyerangan selama dua tahun berikutnya.
Dilansir Roya News, inti dari laporan ini adalah penolakan terhadap narasi ‘Israel’ mengenai serangan awal. Pada bagian yang didedikasikan untuk penyelidikan pada hari itu, Hamas secara eksplisit menyatakan: "Kami menantang Israel untuk memberikan jalan bagi penyelidikan internasional yang tidak memihak terhadap tuduhan kematian warga sipil Israel pada tanggal 7 Oktober".
Gerakan ini semakin memperluas tantangan ini, menyerukan ‘Israel’ untuk menyetujui “penyelidikan internasional yang netral terhadap kejahatan yang mereka lakukan terhadap rakyat Palestina,” khususnya selama serangan militer berikutnya di Gaza.
Hamas menggunakan dokumen tersebut untuk membantah tuduhan bahwa pasukannya secara sistematis menargetkan warga sipil. Kelompok ini menegaskan bahwa menghindari jatuhnya korban sipil adalah sebuah keharusan agama dan moral bagi mereka.
Laporan tersebut mengatakan bahwa operasi tanggal 7 Oktober menargetkan Divisi Gaza milik militer ‘Israel’ dan pejuang Hamas tidak menargetkan rumah sakit, sekolah, atau tempat ibadah. Sebaliknya, dokumen tersebut mengatakan bahwa banyak korban sipil ‘Israel’ adalah akibat dari tindakan militer ‘Israel’ sendiri, mengutip “Petunjuk Hannibal” dan pemboman di wilayah di mana tawanan dan pejuang bercampur.
Hamas mengklaim bahwa penyelidikan menunjukkan banyak warga sipil yang mengaku sebenarnya adalah tentara cadangan atau personel keamanan.
Laporan setebal 35 halaman tersebut menggambarkan serangan tersebut bukan sebagai sebuah insiden yang terisolasi namun sebagai sebuah “akibat alami” dari 77 tahun pendudukan dan kegagalan lembaga-lembaga internasional untuk mengatasi keluhan-keluhan warga Palestina.
Laporan tersebut menyebutkan perluasan permukiman, blokade terhadap Gaza, dan perlakuan terhadap tahanan Palestina sebagai pendorong utama operasi tersebut. Dokumen tersebut memberikan statistik suram mengenai jumlah korban perang di Gaza, yang menyatakan bahwa lebih dari 70.000 warga Palestina telah terbunuh, dan hampir 20.000 di antaranya adalah anak-anak.
Laporan juga juga mencatat bahwa 95 persen sekolah di Gaza telah rusak. Ke depan, Hamas menegaskan kembali penolakannya untuk disingkirkan dari lanskap politik Palestina.
Laporan tersebut menolak upaya untuk “mengisolasi” gerakan tersebut dan menyebutnya sebagai sebuah delusi, dengan alasan dukungan jajak pendapat yang terus berlanjut. Perjanjian ini mengusulkan model pemerintahan masa depan untuk Gaza yang dipimpin oleh “pemerintahan teknokratis” Palestina yang disepakati berdasarkan konsensus nasional, dan menolak perwalian asing.
Laporan ini menyimpulkan dengan menggambarkan dua tahun terakhir ini sebagai sebuah “kelahiran gemilang” dari perlawanan baru, bukan sebuah kekalahan, dan menegaskan bahwa perjuangan Palestina telah kembali ke garis depan kesadaran global.

8 hours ago
7





































