REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya hilirisasi mineral strategis Indonesia kian konkret. PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM), yang selama hampir setengah abad menjadi pemain utama dalam industri aluminium nasional, kini memperluas peran sebagai motor utama integrasi rantai nilai bauksit–alumina–aluminium
Direktur Pengembangan Usaha Inalum Arif Haendra menjelaskan bahwa percepatan proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah menjadi tonggak penting menuju swasembada aluminium Indonesia.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.“Dengan beroperasinya SGAR 1 di PT Borneo Alumina Indonesia (BAI), kami akan menyerap sekitar 550 ribu ton alumina per tahun. Ke depan, Inalum menargetkan total kapasitas alumina nasional mencapai 2 juta ton per tahun dan aluminium 900 ribu ton per tahun,” ujar Arif kepada Republika, Jumat (31/10/2025).
Proyek SGAR Fase 1 kini telah memasuki tahap produksi dengan ekspor perdana curah 30 ribu ton alumina ke China. Menurut Arif, kualitas produk BAI memenuhi standar ekspor global. “Ini menjadi bagian penting dalam membangun value chain yang kuat dari hulu ke hilir,” imbuhnya.
Keberadaan BAI juga disebut menjadi kunci strategi mitigasi risiko bisnis Inalum. Saat harga alumina sempat mencapai 800–900 dolar AS per ton pada awal 2025, proyek BAI membantu INALUM mengamankan pasokan bahan baku dengan skema harga formula, bukan lagi harga pasar.
“BAI satu-satunya pembeli bauksit ANTAM dengan HPM (Harga Patokan Mineral). Ini memastikan rantai pasok stabil dan terintegrasi,” ujar Arif.
Secara ekonomi, hilirisasi memberikan loncatan nilai luar biasa. Harga bauksit mentah di pasar global hanya sekitar 30 dolar AS per ton, sementara alumina mencapai 800–900 dolar AS, dan aluminium tembus 2.500 dolar AS per ton. Arif menyebut transformasi nilai tambah ini bisa mencapai 80–100 kali lipat.
“Inilah mengapa kami menyebut formula 6–2–1: dari modal 120 bisa menjadi 400, dan dari modal 800 bisa bernilai 2.600,” jelasnya.
Tidak semua aluminium yang beredar di dunia dapat disebut sebagai produk hijau. Namun bagi INALUM, status itu sah melekat karena seluruh proses peleburan aluminiumnya ditopang oleh sumber energi terbarukan dari PLTA Siguragura dan PLTA Tangga di Sumatera Utara. Dua pembangkit ini memanfaatkan aliran air dari Danau Toba dan menghasilkan listrik sebesar 603 megawatt untuk kebutuhan pabrik peleburan aluminium di Kuala Tanjung.
“Produk aluminium INALUM disebut green aluminium karena kami menggunakan tenaga listrik yang bersumber dari energi terbarukan, yaitu PLTA. Jadi bukan sekadar istilah hijau, tapi benar-benar berasal dari proses yang rendah emisi,” jelas Arif.
Saat ini, produksi aluminium INALUM menghasilkan sekitar 3,8 ton CO₂ per ton aluminium, dan ditargetkan turun menjadi 2,8 ton per ton aluminium seiring peningkatan efisiensi energi dan modernisasi smelter. Upaya ini menempatkan INALUM sebagai salah satu produsen aluminium beremisi rendah di kawasan Asia Tenggara.
Lebih jauh, penguatan hilirisasi ini memiliki dampak ekologis tidak langsung. Dengan meningkatnya konsumsi aluminium nasional, penggunaan material berbasis kayu dan baja dapat dikurangi. “Kalau konsumsi aluminium meningkat, substitusi material non-ramah lingkungan makin besar. Artinya, deforestasi juga bisa ditekan,” kata Arif.
Konsumsi aluminium Indonesia sendiri baru mencapai 1,5 kilogram per kapita per tahun, jauh di bawah China yang mencapai 24 kilogram. Padahal, setiap kendaraan listrik rata-rata menggunakan 300–400 kilogram aluminium, atau sekitar 30 persen dari total bahan baku komponennya. “Kalau kita ingin mendorong industri kendaraan listrik dan infrastruktur energi baru terbarukan, maka industri aluminium nasional harus tumbuh,” tambah Arif.
Dalam lima tahun mendatang, Inalum bersama swasta nasional lainnya akan massif menambah kapasitas terpasang pabrik alumina. Total produksi alumina nasional bisa mencapai 4,5 juta ton.
“Kalau konsumsi domestik naik, maka ekspor bisa ditekan dan nilai tambah tinggal di dalam negeri,” kata Arif.
Dalam konteks global, visi hilirisasi yang dikembangkan Inalum sejalan dengan visi misi Presiden Prabowo Subianto. Kepala Dewan Energi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan dalam acara Singapore International Energy Week (SIEW) 2025 menjelaskan lewat hilirisasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 8 persen pada tahun 2028.
Hilirisasi mineral seperti yang dilakukan Inalum menjadi kunci. Luhut menegaskan, hilirisasi bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan untuk membawa ekonomi Indonesia naik kelas.
“Hilirisasi adalah kunci. Indonesia tidak bisa lagi hanya mengekspor bahan mentah. Dengan hilirisasi, kita memastikan nilai tambah dan lapangan kerja tetap di dalam negeri,” ujar Luhut, Rabu (28/10/2025).
Luhut juga menekankan pentingnya collaboration dan technology sharing lintas generasi. “Kita harus berbagi hasil besar ini kepada generasi berikutnya, dengan kebijakan energi yang seimbang dan berkelanjutan,” ucapnya.
Pandangan senada disampaikan Direktur Eksekutif International Energy Agency (IEA) Fatih Birol dalam kesempatan yang sama. Ia menilai strategi hilirisasi Indonesia sebagai langkah cerdas.
“Negara seperti Indonesia, yang memiliki nikel, kobalt, dan logam tanah jarang, seharusnya tidak hanya menambangnya, tapi juga memurnikan dan memprosesnya. Itu bukan pendekatan malas, itu strategi energi yang cerdas,” tegas Birol.
Hilirisasi alumina–aluminium Inalum menjadi representasi konkret dari visi tersebut. Dengan basis energi hijau, rantai pasok terintegrasi, dan keberanian investasi jangka panjang, Indonesia bukan hanya menambang, tetapi memimpin transformasi nilai tambah mineral dunia.
Aluminium sebagai “Green Metal” Transisi Energi
Selain memperkuat hilirisasi dan perekonomian nasional, aluminum juga berperan penting dalam mendukung target transisi energi Indonesia. Arif menegaskan bahwa aluminium memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi hijau nasional. Aluminium merupakan logam ringan yang paling banyak digunakan di dunia dan menjadi komponen kunci dalam sektor otomotif, konstruksi, hingga energi baru terbarukan (EBT).
“Dengan mengembangkan hilirisasi aluminium berbasis pembangkit energi ramah lingkungan, Indonesia dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hijau nasional secara signifikan,” ujar Arif.
Ia menambahkan, seluruh smelter INALUM menggunakan PLTA Asahan (603 MW) yang bersumber dari Danau Toba, sehingga aluminium yang dihasilkan tergolong green aluminium. Produk ini berperan dalam rantai pasok EV (Electric Vehicle) dan panel surya, dua sektor yang menjadi tulang punggung transisi energi global.
Arif juga menyebutkan bahwa dengan hilirisasi dan penggunaan energi bersih, Indonesia tidak hanya menekan impor, tapi juga memperkuat fondasi low-carbon manufacturing. “Produksi aluminium berbasis energi bersih meningkatkan nilai tambah industri nasional, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan impor,” jelasnya.
Dalam pidatonya di Singapore International Energy Week (SIEW) 2025, Luhut menekankan bahwa hilirisasi, termasuk pada rantai bauksit, alumina, aluminium adalah kunci menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berdaya saing.
Ia menegaskan bahwa hilirisasi logam strategis seperti aluminium akan memperkuat green industry base Indonesia karena logam ini menjadi bahan utama untuk infrastruktur transisi energi, seperti kabel transmisi, kendaraan listrik, dan turbin angin. “Dengan teknologi yang semakin efisien, Indonesia dapat mencapai pertumbuhan 8 persen pada 2028 tanpa meninggalkan agenda transisi energi,” kata Luhut.
Aluminium, hasil akhir dari pemurnian alumina, termasuk dalam kelompok logam transisi energi karena penggunaannya yang luas pada mobil listrik (sekitar 300–400 kg per kendaraan), panel surya, serta jaringan transmisi energi bersih. Dengan meningkatkan kapasitas produksi alumina hingga 2 juta ton dan aluminium hingga 900 ribu ton per tahun, Indonesia menempatkan diri sebagai pemain strategis dalam rantai pasok global energi bersih.

15 hours ago
5







































