REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Hujan deras yang turun sepanjang akhir pekan ini telah memperburuk penderitaan ribuan pengungsi di Jalur Gaza, membanjiri tenda-tenda mereka yang rapuh. Hal ini terjadi di tengah kondisi kemanusiaan yang buruk akibat agresi pendudukan Israel terhadap Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2013.
Jurnalis Muhammad Rabah dari Gaza melaporkan, Di Deir al-Balah, di Jalur Gaza tengah, hujan mengguyur tenda-tenda, menyebabkan kerusakan parah pada pakaian dan selimut mereka. Pemandangan ini dengan jelas menggambarkan besarnya tragedi dan meningkatnya krisis kemanusiaan yang dihadapi warga Jalur Gaza.
"Saya tiba di Deir al-Balah dari Rafah setelah tujuh kali mengungsi selama perang." Ia menambahkan, “Hujan tiba-tiba membanjiri tenda kami, dan angin menumbangkan tenda-tenda lain di kamp pengungsi,” kata pengungsi Abdul Rahim Hamid mengatakan.
“Cuaca badai ini memerlukan penyediaan tenda segera bagi para pengungsi untuk melindungi mereka.” Ia menambahkan, “Hidup menjadi sangat sulit, dan hujan telah memperburuk penderitaan para pengungsi.”
Serangan Israel telah menghancurkan seluruh atau sebagian sekitar 92 persen bangunan tempat tinggal di Gaza, memaksa sebagian besar penduduk mengungsi ke tenda-tenda yang tidak memberikan perlindungan, atau kembali ke rumah mereka yang rusak meskipun ada risiko runtuh akibat banjir.
Sementara Aljazirah Arabia melansir, pengungsi di Jalur Gaza memasuki musim dingin tanpa mendapatkan kebutuhan hidup yang paling mendasar: tempat tinggal yang aman, kehangatan, makanan, dan perawatan medis. Jika tidak ada intervensi yang mendesak dan berskala besar, musim dingin akan menjadi ujian berat yang dapat merenggut banyak nyawa dan menuntut tindakan segera untuk melindungi kemampuan mereka dalam menanggung kesulitan dalam jangka panjang.
“Setelah air hujan membanjiri tenda kami, saya menemukan diri saya, istri saya, dan anak-anak saya mengambang di genangan air. Saya tidak tahu apa yang harus saya selamatkan terlebih dahulu, tenda atau anak-anak saya. Segala sesuatu di sekitar kami basah: kasur, pakaian, dan sedikit makanan yang kami miliki,” pengungsi Samir Khater mengatakan kepada Aljazirah.
“Kami mencoba membuat saluran air dengan tangan kami, namun hujan berubah menjadi musuh dan tenda tidak cukup kuat untuk melindungi kami. Satu-satunya kekhawatiran kami adalah melindungi anak-anak kami dari hawa dingin."
Tenda-tenda yang tersebar di seluruh wilayah pengungsian lebih seperti tempat penampungan sementara yang tidak dapat dihuni, terbuat dari kain compang-camping yang tidak melindungi dari fluktuasi cuaca atau hujan musim dingin. Seemntara infrastruktur sama sekali tidak ada; tidak ada listrik, tidak ada air bersih, dan tidak ada fasilitas sanitasi yang memadai, sementara keluarga-keluarga berdesakan di ruang-ruang sempit yang tidak menyediakan privasi dan keamanan.
Kondisi pascahujan deras di Deir Balah, Jalur Gaza, Sabtu (15/11/2025). (Muhammad Rabah/Dok Republika)
Saat hujan pertama turun, lumpur membuat tenda-tenda menjadi tidak bisa dihuni, dan air merembes ke dalam tenda, merendam beberapa kasur dan selimut. Malam yang dingin menjadi cobaan ganda, karena para pengungsi menghabiskan waktu berjam-jam dengan sia-sia untuk mengeringkan apa yang mereka bisa atau mengangkat barang-barang mereka dari tanah basah.
Setiap kali hujan semakin deras, warga khawatir tenda mereka akan roboh atau terendam banjir, sehingga tidur menjadi sebuah kemewahan yang langka. Tekanan psikologis terhadap keluarga semakin meningkat karena kurangnya alternatif yang aman, karena mereka terus-menerus mengantisipasi perubahan cuaca sambil berusaha mengamankan tiang tenda yang compang-camping dengan potongan kain dan tali sederhana.
Saat matahari terbit, pertempuran baru dimulai: membersihkan dan mengeringkan tenda, sebuah cobaan yang tidak kalah beratnya dengan sebelumnya.

10 hours ago
4


































