Kasus-Kasus Korupsi 'Kakap' yang Terungkap di Era Pemerintahan Prabowo

4 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah memasuki waktu satu tahun memerintah Republik Indonesia. Sepanjang kurun waktu itu tercatat, sebanyak 43 kasus korupsi ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan potensi kerugian negara yang ditekan hingga Rp320,4 triliun.

Ada delapan kasus korupsi besar dengan nilai kerugian negara fantastis dan menyita perhatian publik yang dibongkar sepanjang kurun waktu pemerintahan Prabowo-Gibran tersebut. 

1. Kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang

Kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) serta sub-holding-nya merupakan salah satu kasus korupsi dengan kerugian negara terbesar dalam sejarah Indonesia, yakni Rp285,18 triliun. Terjadi selama periode 2018 hingga 2023, perbuatan melawan hukum dalam kasus itu dilakukan melalui dua cara utama, yang secara keseluruhan menyebabkan harga bahan bakar minyak (BBM) di masyarakat menjadi tinggi dan merugikan keuangan negara.

Dua cara dimaksud, yakni dengan penolakan minyak domestik dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan impor BBM dengan harga tinggi. Dalam modus penolakan minyak domestik, pejabat di Pertamina, khususnya sub-holding kilang, diduga secara sengaja menolak minyak mentah bagian negara dari KKKS dengan alasan spesifikasi tidak sesuai, padahal minyak tersebut masih layak diolah.

Sementara pada modus impor BBM dengan harga tinggi, Pertamina Patra Niaga melakukan impor minyak mentah dan BBM dari broker atau pihak ketiga (termasuk perusahaan asing) dengan harga yang lebih tinggi (harga spot) serta membeli produk BBM di bawah standar.

Kasus korupsi tata kelola minyak mentah melibatkan pejabat tinggi di lingkungan Pertamina dan pihak swasta (broker). Pada pejabat Pertamina, melibatkan beberapa Direktur Utama dan Direktur Sub-holding Pertamina, termasuk Riva Siahaan (eks Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga) dan Sani Dinar Saifuddin (eks Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional).

Sementara pihak swasta atau broker melibatkan pengusaha besar yang dikenal sebagai "mafia migas", seperti Muhammad Riza Chalid dan anaknya, Muhammad Kerry Adrianto Riza, yang bertindak sebagai pemilik manfaat dari perusahaan broker yang diuntungkan.

Riza Chalid dilaporkan masih buron. Sementara kasus tersebut masih dalam proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan menyidangkan sembilan terdakwa.

2. Kasus suap putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO

Kasus ini merupakan skandal suap yang terkait langsung dengan putusan kontroversial "lepas dari segala tuntutan hukum" (ontslag van alle rechtsvervolging) yang dijatuhkan oleh majelis hakim tingkat pertama kepada terdakwa korporasi dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO). Adapun pemberian fasilitas ekspor CPO dan produk turunannya diberikan oleh pemerintah kepada tiga korporasi besar, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group, pada periode 2021-2022.

Pada Maret 2025, majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus menjatuhkan vonis lepas (ontslag) kepada ketiga korporasi terdakwa itu. Majelis menyatakan perbuatan para terdakwa terbukti, tetapi bukan merupakan tindak pidana, sehingga memicu kontroversi.

Kejagung kemudian mengusut dugaan suap di balik putusan lepas tersebut. Suap diduga diberikan oleh pihak yang mewakili kepentingan korporasi, yaitu advokat atau pengacara, kepada oknum hakim dan pejabat pengadilan.

Jumlah total uang suap yang diduga diterima untuk memuluskan vonis lepas ini mencapai Rp40 miliar, yang diberikan dalam beberapa tahapan. Sejumlah pihak pun ditetapkan sebagai tersangka suap oleh Kejagung, yang terdiri atas advokat atau pihak yang mewakili korporasi, seperti Marcella Santoso dan Ariyanto sebagai pemberi suap, oknum pejabat pengadilan meliputi mantan Ketua PN Jakarta Selatan Arif Nuryanta, panitera muda Wahyu Gunawan, serta tiga hakim yang memutus perkara (Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Syarif Baharudin).

Atas kasus korupsi fasilitas ekspor CPO, Kejagung mengajukan kasasi. Pada September 2025, Mahkamah Agung (MA) menganulir putusan lepas tersebut, membatalkannya, dan menghukum korporasi untuk membayar uang pengganti kerugian negara yang totalnya mencapai Rp 17,7 triliun.

Sementara itu, proses hukum terhadap para tersangka suap juga terus berlanjut di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus.

3. Kasus korupsi pengadaan laptop Chromebook

Dalam kasus dugaan korupsi pada program digitalisasi pendidikan berupa pengadaan laptop Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2019–2022, Kejagung menduga adanya pemufakatan jahat dalam penyusunan kajian teknis pengadaan. Mendikbudristek periode 2019–2024 Nadiem Anwar Makarim menjadi salah satu tersangka di kasus ini.

Adapun pada pengadaan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) berupa laptop Chromebook dan perangkat pendukung (modem, proyektor) untuk sekolah jenjang PAUD, SD, SMP, dan SMA, terdapat anggaran proyek yang mencapai Rp9,98 triliun untuk periode 2020 hingga 2022 yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Dana Alokasi Khusus (DAK)

Kajian yang disusun diduga diarahkan dan dimanipulasi untuk mendukung spesifikasi yang hanya menguntungkan vendor tertentu, yaitu perangkat dengan sistem operasi Chrome OS (Chromebook), meskipun hasil uji coba sebelumnya menunjukkan sebaliknya.

Kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh dugaan korupsi ini diperkirakan mencapai Rp 1,98 triliun, yang berasal dari dugaan mark-up (penambahan) harga dan ketidaksesuaian spesifikasi.

Kejagung telah menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, termasuk Nadiem Anwar Makarim, mantan Direktur Sekolah Dasar dan Direktur SMP Kemendikbudristek Sri Wahyuningsih dan Mulyatsyah, mantan Staf Khusus Mendikbudristek Jurist Tan, serta konsultan teknologi, Ibrahim Arief.

Para tersangka diduga menyalahgunakan wewenang dan jabatan untuk memaksakan penggunaan spesifikasi teknis tertentu (Chrome OS) melalui penerbitan petunjuk teknis (juknis) yang tidak sesuai dengan kebutuhan riil pendidikan, yang pada akhirnya mengarahkan tender kepada penyedia (vendor) tertentu. Adapun kasus tersebut kini telah memasuki sidang praperadilan di PN Jaksel.

sumber : Antara

Read Entire Article
Berita Republika | International | Finance | Health | Koran republica |