REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ratna Puspita, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya (UPJ)
Keluarga Cemara. Semua orang memimpikan memiliki keluarga yang harmonis. Seperti daun cemara yang tetap hijau sepanjang musim, keluarga cemara menjadi simbol keluarga ideal, yakni penuh cinta, saling mendukung, dan tetap kuat meski diterpa cobaan.
Namun, hidup tak selalu tunduk pada ekspektasi manusia. Realitanya, banyak orang tumbuh dalam keluarga yang jauh dari gambaran ideal itu, yakni keluarga yang retak, penuh konflik, atau bahkan melukai.
Kita menyebutnya: keluarga disfungsional.
Dalam lima tahun terakhir, layar lebar dipenuhi film-film tentang keluarga bermasalah. Gara-Gara Warisan, Noktah Merah Perkawinan, The Whale dan Ngeri-Ngeri Sedap bukan hanya menyuguhkan drama keluarga, tetapi juga menjadi cermin atas kenyataan yang sering disembunyikan, yakni cinta dalam keluarga dapat menyakitkan, orang tua tidak selalu benar, dan anak-anak dapat terluka tanpa pernah tahu cara menyuarakannya.
Film-film tentang keluarga menghadirkan kompleksitas relasi dalam keluarga seperti warisan trauma antargenerasi, fantasi permintaan maaf dari orang tua (parental apology fantasy), hingga pencarian kehangatan dalam chosen family atau keluarga yang dipilih seperti Ali & Ratu Ratu Queens.
Tahun 2022 tampaknya menjadi periode puncak untuk tema warisan trauma antargenerasi dengan kehadiran Everything Everywhere All at Once, dan Umma, dan Turning Red. Bahkan, Everything Everywhere All at Once dan Turning Red disebut sebagai millennial parental apology fantasy, yaitu fantasi generasi milenial di mana orang tua menyadari kesalahan mereka dan secara tulus meminta maaf kepada anak-anak mereka. Sementara itu, film Umma menggambarkan fantasi permintaan maaf yang tidak pernah datang.
Fenomena ini bukan sekadar tren kreatif, melainkan gejala dari perubahan sosial. Film-film tersebut merupakan bentuk kritik terhadap mitos keluarga ideal. Generasi muda semakin kritis terhadap konstruksi keluarga “sempurna” yang selama ini ditanamkan, tetapi kerap menutupi ekspektasi toksik seperti anak yang harus patuh demi balas budi, istri yang harus sabar demi menjaga keutuhan rumah tangga, atau anggapan bahwa orang tua tidak boleh salah.
Film-film itu juga menunjukkan adanya peningkatan kesadaran tentang trauma psikologis. Film seperti Turning Red atau Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini memperlihatkan bahwa luka batin dapat diwariskan dari orang tua ke anak. Selanjutnya, generasi baru–generasi milenial–pada industri perfilman lebih berani menuntut kejelasan emosional dari orang tua mereka meski hanya dapat diwujudkan dalam bentuk parental apology fantasy, karena permintaan maaf semacam itu jarang terjadi di dunia nyata.
Lebih jauh, film-film tersebut juga menunjukkan ada perubahan bentuk keluarga dalam masyarakat. Jika sebelumnya narasi berpusat pada keluarga inti, yakni ayah, ibu, dan anak, kini muncul representasi beragam formasi keluarga yang lebih sesuai dengan kondisi sosial saat ini.
Menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang dikutip oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), hanya 61,7 persen keluarga di Indonesia yang terdiri atas pasangan suami-istri dan anak. Bahkan, hanya 13,3 persen yang terdiri dari hanya ayah dan ibu tanpa anak.
Statistik ini menunjukkan bentuk keluarga sesungguhnya jauh lebih cair dan beragam daripada gambaran normatif yang sering kita temui. Dalam konteks ini, kehadiran film-film seperti Ali & Ratu Ratu Queens atau 1 Kakak 7 Ponakan yang menampilkan chosen family tidak hanya relevan, tetapi juga merefleksikan dinamika sosial yang sedang berlangsung.
Tren ini sebetulnya menyimpan nilai yang penting seperti validasi terhadap mereka yang merasa terasing dari keluarga sendiri. Namun, narasi tentang rekonsiliasi instan atau fantasi pengampunan dapat menyederhanakan kompleksitas konflik antara anak dan orang tua.
Penyederhanaan konflik ini memunculkan pertanyaan: Apakah anak perlu berdamai dengan orang tua yang sudah menyakiti mereka?
Dalam konteks tersebut, film Umma menawarkan perspektif bahwa anak dapat memilih untuk menyembuhkan diri tanpa harus kembali ke sumber luka. Penyembuhan tidak selalu berarti rekonsiliasi, melainkan memutus siklus kekerasan, atau menciptakan keluarga baru, baik melalui pernikahan atau melalui orang-orang baru yang kemudian dipilih menjadi keluarga.
Karena itu, sinema keluarga yang kompleks seharusnya bukan hanya menyuguhkan hiburan, tetapi juga membuka ruang diskusi yang penting: bagaimana generasi baru dapat tumbuh tanpa harus mengulangi pola-pola yang menyakitkan.