REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Masifnya perkembangan teknologi juga membawa perubahan besar pada industri musik Indonesia, mulai dari proses produksi, distribusi hingga pemasaran musik. Adanya digitalisasi ini memungkinkan musisi untuk lebih mudah berkarya, berkolaborasi, dan memperkenalkan karyanya di ranah global.
Melihat kondisi ini, industri musik lokal terus berbenah agar siap bersaing di kancah global meskipun di tengah gelombang budaya Korea Selatan atau K-Pop yang terus menarik pusat para pencinta musik. Salah satu langkah strategis yang kini tengah dikembangkan adalah pemanfaatan teknologi blockchain untuk meningkatkan transparansi dalam monitoring dan distribusi royalti kepada para kreator musik lewat kolaborasi antara Happy Music (Happymusic.ai) dan Aetherium (ATVM.ai).
Kolaborasi yang juga menjadi diplomasi antar budaya ini diyakini akan memberikan pengalaman yang berbeda baik bagi penikmat musik maupun para musisinya.
"Semakin banyak di digital platform di Indonesia semakin senang pastinya senimannya dan penikmatnya, tinggal mau ke mana mereka menikmati musik. Karena memang disrupsi digital ini berubah bagaimana teman-teman menikmati musik," kata Founder PT Nusantara Creative House, Anang Hermansyah, Rabu (24/4/2025).
Sementara itu, CEO Happy Music, Dara Ninggarwati menjelaskan bahwa platform musik ini memiliki cita-cita agar seluruh stakeholder termasuk para musisi yang berkarya di dalamnya menerima haknya dengan baik dan ada transparasi dalam hal royalti. Oleh karenya, mereka menggandeng Aetherium sebagai upaya memperkenalkan teknologi AI canggih yang siap mengguncang industri hiburan di tanah air.
Di sisi lain, Happy Music ingin berkompetisi di industri digital, apalagi Indonesia menjadi salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia. Sehingga melalui platform ini diharapkan, tidak hanya hadir lagu-lagu modern namun juga menampilkan keragaman budaya Indonesia, melalui lagu-lagu tradisionalnya.
"Teknologi berbasis blockchain ini akan memperbolehkan atau memperkenankan monitoring secara transparan dan real time akan streaming yang dilakukan secara digital. Kelak kami juga akan bekerja sama dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional atau LMKN di bawah payung Kementerian Kumham untuk dapat memonitor streaming yang dilakukan secara digital,"ucapnya.
Selain penguatan dari sisi teknologi, kolaborasi ini juga mencakup pengembangan konsep AI idol sebagai bagian dari strategi diplomasi budaya, dengan tetap menekankan bahwa karya seni yang dihasilkan harus berasal dari manusia. Dia tak menampik ada potensi yang besar untuk menggaet pasar mengingat, Korea Selatan selama ini dikenal sebagai pelopor soft power berbasis musik melalui K-Pop. Harapannya dapat mengemas produk budaya lokal dengan cara yang menarik dan relevan untuk generasi muda, khususnya Gen Alpha yang sangat akrab dengan teknologi.
"Tujuan akhirnya adalah menciptakan ekosistem budaya yang kuat dan kompetitif, sekaligus membuka jalan bagi musisi Indonesia untuk tampil sejajar dengan artis-artis internasional," ungkap Dara.
Perwakilan dari Aetherium, Vickie Lee juga mengungkapkan, budaya K-Pop saat ini banyak dikenal masyarakat dunia. Banyak artis-artis dari negara tersebut yang tak hanya debut di Asia namun juga di industri musik Amerika Serikat dan Eropa. Oleh karena itu, mereka juga ingin mencoba memperluas jangkauan kerjasama di sektor industri musik di tingkat Asia, salah satunya dengan Indonesia melalui teknologi AI idol sebagai bagian dari strategi diplomasi budaya antarnegara dalam platform mereka.
"Diharapkan kerja sama antarnegara ini akan semakin meningkatkan perkembangan musik di tingkat global," ujarnya.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam sambutannya yang dibacakan Kabid Aplikasi Informatika, Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) DIY Sayuri Egaravanda menyampaikan bahwa kerja sama yang dihadirkan ini menjadi warna baru bagi industri musik Indonesia.
Kerja sama ini tidak hanya mempertemukan dua bangsa, Indonesia dan Korea Selatan, tetapi juga mempertemukan kreativitas dan kecanggihan teknologi dalam satu simphoni bernama Masa Depan.
"Kita tidak hanya berbicara tentang musik sebagai seni, tetapi juga sebagai inovasi digital. Hari ini kita menyaksikan bagaimana art berpadu dengan algoritme, bagaimana nada dan nada-nada baru diproduksi oleh kecerdasan buatan dan dilindungi oleh teknologi blockchain. Kita diperkenalkan pada teknologi yang bukan hanya mengubah cara mendengarkan musik, tetapi juga cara musisi memiliki, melindungi, dan mengedarkan karya mereka. Sekaligus memberikan jaminan transparansi dan keadilan," ujarnya.